Advertisement

NU Versus Muhammadiyah (dari segi Istimbath)


CARA ISTIMBĀTH  NU DAN MUHAMMADIYAH


PENDAHULUAN
            Hukum Islam memiliki sumber utama, yaitu berupa wahyu dari Allah al-Qur’an dan Al-Sunnah yang membedakan nya dengan sistem perundang-undangan yang dibuat oleh manusia, kecuali itu hukum Islam juga tidak bisa dipisahkan dengan tujuan diturunkannya agama, Maqāsid al-Shāri’ah itu sendiri yakni untuk kemaslahatan bagi manusia dalam rangka mengangkat harkat dan martabat manusia.
            Menengok perjalanan sejarah, pada masa nabi masih hidup beliaulah yang bertindak sebagai pemutus perkara dan pelerai pertikaian yang terjadi dalam masyarakat baik baik keputusan itu berupa wahyu dalam arti al-Qur’an dan al-Sunnah. Kebijaksanaan nabi, maupun hasil musyawarah dengan para sahabat, kemudian setelah nabi wafat, kaum muslimin mulai disibukkan dengan persoalan penetapan hukum, sementara mereka juga dihadapkan dengan permasalahan sosial, budaya, adat dan kebiasaan umat dikawasan wilayah  Islam yang kian lama kian melebar keberbagai bangsa yang memiliki latar belakang budaya beragam.
            Sejak awal kemunculan dan perkembangannya, kaum muslimin bersepakat bahwa dalam segala perkara mereka harus berpegang kepada kitab suci, sementara kitab tersebut memberikan garis-garis besar  aturan saja dan beberapa permasalahan dengan memberikan deskripsi konkrit dan tidak menerangkan rincian secara menyeluruh, maka desakan kepada perlu adanya sistem pemikiran dan penjabaran hukum telah mendorong lahirnya gerakan pemikiran keagamaan.
            Dalam perkembangan berikutnya, hukum Islam harus berhadapan dengan kualitas tuntutan umat Islam sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek hukum tersebut. Disini timbul problem terutama ketika hukum Islam tidak lagi mampu berpacu terhadap tuntutan baru dalam  masyarakat, bahkan dalam bentuk yang sangat ekstrim hukum Islam mengalami dilema, keampuhannya dipertanyakan dan sangat bergantung kepada bagaimana ia merespon tuntutan perkembangan tersebut dan juga menghadapi perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan para fuqaha’.
            Berangkat dari persoalan-persoalan tersebut para cendikiawan muslim di tantang untuk berfikir secara mendalam guna menciptakan sistem, pemikiran dan metodologi penetapan hukum Islam yang mumpuni dan mampu menjawab tuntutan masa.
            Dari sinilah kemudian muncul Ijtihad dikalangan para ulama untuk beristimbath terhadap permasalahan hukum-hukum Islam masa kini. Ijtihad merupakan penetapan hukum Islam yang timbul dari kebutuhan tersebut. Sedangkan istinbath adalah  mengelurkan suatu hukum yang tersembunyi melalui ijtihad dan pemahamannya terhadap hukum.[1] Wadah musyawarah penetapan hukum Islam yang lahir dan dibesarkan  oleh para ulama, kini telah banyak membuahkan hasil keputusan hukum yang memang dibutuhkan masyarakat. Di Indonesia NU memiliki forum kajian keagamaan dan lembaga fatwa yang disebut lajnah Bahthul Masa’il al-Diniyyah, di Muhammadiyah juga berdiri Majlis Tarjih yaitu lembaga pencari pendapat yang kuat yang bertugas untuk mempelajari pendapat berbagai fuqaha’ dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, lalu mengambil perdapat yang arjah (dipandang lebih kuat sesuai dengan cara berpikir dan kondisi sekarang), begitu juga terdapat lembaga Hisbah yang didirikan oleh Persis (persatuan Islam).
            Dalam makalah  ini akan menfokuskan pembahasan mengenahi cara Istimbath yang dilakukan oleh lembaga keagamaan NU dan Muhammadiyah serta analisa terhadap keduanya.

PEMBAHASAN
A.    Lajnah Bahthul Masā’il Dīniyah Nahdhatul Ulama
1.      Latar Belakang Berdirinya Lajnah Bahthul Masā’il al-Dīniyah
Butir 7, pasal 16, ART NU menyebutkan Lajnah Bahthul Masa’il bertugas menghimpun, membahas, dan memecahkan masalah-masalah yang mauquf dan waqi’ah yang harus segera mendapatkan kepastian hukum. Tugas menghimpun, membahasan, dan memecahkan tersebut telah dilaksanakan sejak Muktamar I NU di Surabaya pada tahun 1926 hingga sekarang.[2]
Masalah yang dihimpun, dibahas, dan dipecahkan adalah masalah mauquf dan waqi’ah. Yang pertama adalah masalah “terhenti” yang belum jelas ketentuan hukumnya, dan yang kedua adalah masalah “kenyataan” yang terjadi dalam kehidupan masa sekarang.[3]
      Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat keinginan dari kalangan alim ulama NU untuk memunculkan kembali ketentuan hukum Islam yang telah diputuskan oleh para fuqaha di masa lalu dan keinginan untuk memutuskan masalah-masalah hukum baru yang ditemukan dimasa sekarang. Segi pertama menyangkut pendapat para imam madhab, khususnya Syafi’I, yang telah memutuskan berbagai masalah di masa lalu. Segi kedua menyangkut prospek masa depan, yang suku atau tidak suka melibatkan praktik istinbāth al-Ahkām dari sumber utama al-Qur’an dan Al-Sunnah, juga dari sumber sekunder atau pendapat para imam madhab di masa lalu.
2.      Metodologi Istinbāth al-Ahkām NU
Memperhatikan tradisi NU, sistem pengambilan keputusan hukum yang diputuskan oleh Munas Bandar Lampung  pada tahun 1992 merupakan sebuah langkah maju. Keputusan dibuat dalam rangka bermadhab  kepada salah satu madhab empat yang disepakati dan mengutamakan bermadhab secara qauli.[4] Oleh karena itu, prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
a.       Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan disana terdapat hanya satu qaul atau wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ‘ibarat tersebut.
b.       Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan disana terdapat lebih dari satu qaul/wajah, maka dilakukan taqrir jama’I untuk memilih satu qaul/wajah.
c.       Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhāq al-masā-il bi nadhāiriha secara jama’I oleh para ahlinya.
d.      Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhāq al-masā-il bi nadhāiriha, maka bisa dilakukan istinbath jama’I dengan prosedur bermadhab secara manhaji oleh para ahlinya.[5]
Yang dimaksud dengan kitab adalah al-kutub al-mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan akidah Ahlussunnah wa al- Jama’ah.bermadhab secara qauli dalam kutipan diatas adalah mengambil pendapat yang sudah jadi dalam madhab tertentu,dan bermadhab secara manhaji atau metodologis adalah mengambil jalan pikiran madhab tersebut. Sedangkan Qaul adalah suatu pendapat imam madhab, dan Wajh adalah pendapat ulama madhab. Sementara itu ilhāq al-masā-il bi nadhāiriha adalah menyamakan hukum sutu masalah yang tidak dibahas oleh buku tertentu dengan kasus serupa yang telah dibahas oleh buku lain. Hal ini mirip dengan penentuan hukum melalui qiyas atau analogi, tetapi pada qiyas hukum yang diserupakan adalah kepada hukum yang sudah jelas dalam tesk agama (al-Qur’an dan al-Sunnah).[6] Dalam memutuskan masalah baru, Munas NU meneteapkan dengan menggunakan istinbath jama’I, yaitu memutuskan permasalahan secara bersama-sama dengan metode-metode yang sudah baku dalam usul fiqh atau kaidah-kaidah fiqh menurut madhab-madhab yang ada, terutama madhab Syafi’I. Istinbath jama’I dalam hal ini tidak lain dari pendapat ulama  NU sendiri yang disalurkan melalui forum Bahthul Masa’il.[7]
Dalam AD NU sebenarnya keterikatan pendapat madhab adalah kepada madhab ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah yang empat, akan tetapi dalam praktik yang berlaku hanya merujuk kepada madhab Syafi’i. Perlu dipertegas bahwa keterikatan Lajnah Bahthul Masa’il NU bukanlah kepada karya Syafi’I atau pendapat Syafi’I pribadi sebagai pendiri madhab, tetapi kepada Imam Nawawi atau Rafi’I yang dipandang sebagai pengulas Syafi’i. Buku Syafi’isendiri hampir jarang dikutip dalam sidang-sidang Lajnah Bahthul Masa’il. Madhab Syafi’I yang dikutip hanyalah dalam pengertian dahan, cabang, ranting, dan anak ranting, dan bukan dari Syafi’I sendiri secara langsung.[8]
Rujukan “beranting, bercabang, beranak cabang,” dalam Lajnah Bahthul Masa’il yang digunakan oleh alim ulama NU, terutama di lingkungan pondok pesantren dan madrasah, sebagiannya diterbitkannya dalam bahasa Indonesia. Buku-buku yang sering dikutip antara lain:
I’ānah al-Thālibin, al-Raudhah al-Thālibin, Anwār al-Tanzīl, Bughyāt al-Mustarshidin, Hāshiyah al-Sharwānī ‘alā al-Thuhfah, Hāshiyah al-Bujairīmi ‘alā Fath al-Wahhāb, Hāshiyah al-Bājurī ‘alā Fath al-Qarīib, Hāshiyah al-‘Iwādh ‘alā al-Iqnā’, Hāshiyah al-Kurdi ‘alā Bāfadhal, Radd al-Muhtār ‘alā al-Dār al-Muhtār, Fath al-Mu’īn, Asna al-Mathālib, Tanwīr al-Qulūb. Dan lain-lain yang umum berkisar tentang masalah fiqh madhab Shāfi’i.[9]
Menurut Martin Van Bruinessen, seorang peneliti belanda, sebagaimana dikutib oleh Rifyal Ka’bah, bahwa dia telah menelusuri asal-usul madhab Syafi’I dari kebanyakan buku-buku di atas. Silsilahnya berasal dari kitab Muharrar oleh Abū Qāsim al-Rāfi’I (wafat tahun 623 H/ 1226), diturunkan kepada Minhāj al-Thālibin oleh Muhyid al-Dīn Abu Zakariyyā Yahyā Bin Sharīf al-Nawāwi (Wafat th. 676 H/ 1227), lalu kepada lima buku : 1). Kanz al-Rāghibīn oleh Muhallī (W. Th. 864H/ 1460 M.) 2) Manhāj al-Tullab oleh al-Ansāri, 3) Tuhfah Al-Muhtāj oleh Ibn Hajar ( W. 973 H/ 1565 M.) 4) Mughnī al-Muhtāj oleh Sharbīnī (W. 977 H/ 1569 M) 5) Nihāyah al-Muhtāj oleh al-Ramlī (W. 1004 H./ 1596). Kelima buku tersebut diberi sharh hāshiyah atau anotasi secara berurutan oleh al-Qalyūbī wa ‘Umaira, al-Ansāri, al-Shirwānī, al-Shubramālisī, dan al-Maghrābi. Fath al-Wahhāb oleh al-Ansāri yang merupakan anotasi atau sharh hāshiyah terhadap Manhāj al-Tullab,  diberi anotasi dan dikomentari lagi oleh al-Bujairīmī (W. 1221 H/ 1806 M) dan Jamāl (W. 1204 H/ 1789 M). Beberapa buku diterjemahkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Indonesia. Gagasan utama yang tadinya berasal dari Syafī’I, kemudian dikembangkan oleh al-Rafī’I, kemudian oleh al-Nawawi, kemudian oleh lima orang, kemudian oleh lima orang lagi, dan kemudian oleh dua orang, sehingga madhab ini menjadi bercabang, bercabang lagi, beranting, dan beranting lagi.[10]
Kerangka analisa masalah dalam memecahkan masalah terutama masalah sosial, Lajnah Bahthul Masā’il mempergunakan kerangka sebagai berikut:
1.      Analisa masalah dengan melihat kepada faktor ekonomi, budaya, politik, dan faktor sosial lainnya.
2.      Analisa dampak, dengan melihat dampak positif dan negatif  yang ditimbulkan oleh suatu kasus yang hendak dicari hukumnya ditinjau dari berbagai aspek yaitu: aspek sosial ekonomi, aspek sosial budaya, sosial politik dan sebagainya.
3.      Analisa hukum, fatwa tentang suatu kasus setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya disegala bidang. Disamping putusan fiqh atau yuridis formal, keputusan ini juga memperhatikan pertimbangan Islam dan hukum positif., diantaranya yaitu: status hukum, dasar dari ajaran ahlussunnah Wa al-Jama’ah, serta hukum positif.
4.      Analisa tindakan, peran dan pengawasan, yaitu apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari fatwa diatas, seperti jalur politik, berusaha pada jalur kewenangan negara dengan sasaran mempengarui kebijaksanaan pemerintah, di jalur budaya, berusaha membangkitkan pengertian dan kesadaran masyarakat melalui berbagai media masa dan forum seperti pengajian. Di jalur ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan jalur sosial lainya dengan upaya meningkatkan kesehatan masyarakat, lingkungan dan sebagainya.[11]
Dari sini dapat diketahui akan pentingnya menggali hukum-hukum yang yang tersembunyi dalam mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan baru yang belum ditemukan hukumnya,  baik dengan melalui ijtihad bagi orang muslim yang mampu berijtihad dan bertaqlid bagi orang awam.
Contoh:  tentang transpalntasi mata pada muktamar di Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 30 agustus 1981. Transplantasi kornea atau cangkok mata ialah mengganti selaput mata seseorang dengan selaput mata orang lain atau kalau mungkin dengan selaput mata binatang, jadi yang diganti hanya selaput matanya saja bukan bola mata secara keseluruhan. Adapun untuk mendapatkan kornea atau selaput mata ialah dengan cara mengambil bola mata seluruhnya dari orang yang sudah mati. Bola mata itu kemudian dirawat baik-baik dan mempunyai kekuatan paling lama 72 jam (tiga hari tiga malam ) sangat tipis sekali dapat  dihasilkan cangkok kornea dari binatang. Disini hukumnya ada dua pendapat.
Pertama mengharamkan, dan kedua membolehkan. Pertama mengharamkan walaupun mayit tersebut tidak terhormat seperti orang murtad, demikian pula haram menyambung anggota manusia dengna anggota manusia yang lain, bahaya buta tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayyit. Dengan maraji’ kitab :
1)      Ahkamul fuqaha III/59,
2)      Hasiyah al-Rasidi ala Ibn Imad 26.
Kedua, membolehkan, disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, asalkan memenui 4 syarat; yaitu:
-          karena dibutuhkan,
-          tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia.
-          Mata yang diambil harus yang muhaddaraddam
-          Antara yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama.
Dengan maraji’ kitab: 1) Fath al-Jawad 26, 2) Kanz al-Rāghibīn oleh Muhalli,
3) Bujairomi Iqna’, 4) Muhni al-Muhtaj, 5) Al-Muhaddab 6) Al-Qalyubi wa ‘Umaira 7) Bujairami Wahhab.
            Permasalahan tentang transplantasi jantung dan ginjal juga qiyaskan dengan masalah diatas.[12]
B.     Majlis Tarjih  Muhammadiyah
1. Latar Belakang Pendirian Majlis Tarjih  Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah merupakan suatu lembaga di bawah pimpinan pusat Muhammadiyah. Majlis tarjih mengadakan berbagai kegiatan antara lain lajnah tarjih, yaitu sidang yang membicarakan masalah-masalah yang akan ditarjih.[13] Menurut M. Yunus yang dikutib oleh Rifyal Ka’bah, lajnah tarjih berasal dari gagasan K.H. Mas Mansur pada kongres Muhammadiyah di Pekalongan  tahun 1927. Tokoh ini mengusulkan agar dalam perserikatan Muhammadiyah ada tiga Majelis, yaitu majlis Tashri’, majlis Tanfidh, dan majlis Taftish.[14] Usulan ini diterima secara aklamasi oleh kongres. Untuk tujuan itu dibentuk tim perumus sebanyak tujuh orang yang kemudian pada tahun berikutnya, pada mu’tamar Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta, dibentuk sebuah majlis Tashri’ dengan nama Majlis Tarjih dengan K.H. Mas Mansur sebagai ketuanya.[15]
Pendirian Majlis tarjih tersebut dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran akan timbul perpecahan di kalangan ulama-ulama Muhammadiyah yang disebabkan perbedaan paham hukum agama, sebagai mana yang terjadi dalam sejarah yang disebabkan oleh fanatisme madhab.[16] Besar kemungkinan pada saat itu setelah muncul berbagai persoalan khilafiyah, terutama pada bidang akidah dan ibadah. Selain itu, umat Islam telah dilanda fanatisme madhab, sehingga sikap toleransi  dan saling menghargai  pendapat orang lain masih kurang dibina. Oleh karena itu, Muhammadiyah berinisiatif untuk mencari dalil yang lebih kuat  yang selanjutnya dijadikan nama untuk lembaga yang berwenang menanganinya.[17]
2. Metodologi Istimbath  Muhammadiyah
            Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah al-Shahihat.[18] Dalam memutuskan suatu masalah, Lajnah Tarjih menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbulah atau yang dapat diterima otentisitasnya. Qiyas sebagai suatu metode untuk merangkum ketentuan hukum dan hanya digunakan jika sangat diperlukan, yaitu ketika menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat nash sharih dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, dapat digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan illat.[19] begitu juga metode-metode usul fiqh yang lain. Dengan demikian, selama masih ada dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tidak diperlukan  penggunaan qiyas.[20] Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Muhammadiyah Ijtihad bukan merupakan sumber hukum, melainkan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. dalam hal ini menurutnya Ijtihad adalah metode penemuan hukum, bukan sumber hukum dalam Islam.[21] sebenarnya Muhammadiyah metode ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqh terdahulu, namun tampaknya Muhammadiyah telah banyak merubahnya dengan tujuan untuk menyesuaikan kondisi jaman dan kemaslahatan umat, sebagaimana pendapat Muhammadiyah terhadap beberapa metode ijtihad dibawah ini:
a. Ijma
Ijma yang dibahas dalam ushul fiqh tidak sepenuhnya diterima oleh Muhammadiyah.[22] Ijma’ yang menjadi salah satu sumber hukum Islam, tidak dalam setiap periode diterima oleh Muhammadiyah, lembaga ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi dikalangan sahabat nabi. Hal ini megisyaratkan bahwa menurut Muhammadiyah, ijma tidak mungkin terjadi  lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat dimungkinkan adanya ijma, karena umat Islam ketika itu masih sedikit jumlahnya.[23] Dalam hal ini besar kemungkinan Muhammadiyah mengikuti pendapat imam Ahmad ibn Hambal yang didukung oleh beberapa penganut madhabnya diantaranya yaitu Al-Thufi dan Ibn al-Qayyim. Bahkan menurut Ibn al-Qayyim bahwa pengetahuan seseorang tentang kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai belahan dunia ini, kalau tidak dibilang Mustahil,[24] dapat dikatakan merupakan hal yang sulit terjadi. Kecenderungan Hanabilat ini diterima oleh Muhammadiyah.sebenarnya sikap Muhammadiyah ini tidak hanya sejalan dengan dengan penganut Imam Ahmad, tetapi juga sama dengan  ulama lain yaitu Ibn Al-Hazm dan Al-Syafi’I termasuk yang mempunyai pendapat demikian.[25]
b.      Qiyas
Qiyas sebagai metode penetapan hukum Islam sebenarnya telah diterima oleh muhammadiyah, dengan catatan  tidak menyangkut masalah-masalah ibadah mahdah atau ibadah dalam arti Khashah. Hanya saja mengingat organisasi ini dalam berijtihad lebih cenderung kepada pendapat madhab Hambali, maka kapasitasnya dalam menggunakan metode qiyas kecil sekali, karena bagi penganut Hanabilah, qiyas itu baru dapat digunakan dalam keadaan terpaksa.[26] Dalam perkembangan hukum Islam, qiyas memang lebih banyak digunakan oleh kaum rasionalis, atau disebut dengan ahli ra’yu, dalam hal ini yang banyak berperan adalah imam Abu Hanifah. Dipihak lain ada ulama yang berpegang kepada sunnah  atau hadith, sehingga tidak banyak menggunakan akalnya. Kelompok ini disebut dengan ahli hadith. Imam Malik dan Imam Ahmad Ibn Hambal termasuk dalam kelompok ini. Dan Muhammadiyah dalam kerangka pengelompokan ini dapat digolongkan kepada kelompok kedua, yakni ahli hadith. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah menolak qiyas. Sedangkan untuk metode istihsan, Muhammadiyah tidak menyebutkan secara eksplisit penggunaan metode tersebut, namun dalam rumusan yang terdapat dalam  manhaj Majlis Tarjih dapat dipahami bahwa Muhammadiyah menerima metode istihsan sebagai metode penetapan hukum dalam Islam. metode lain yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam berijtihad adalah maslahah al-mursalah dan saddu al-zari’at. Adapun tujuan digunakannya metode ini adalah untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah, jadi jika diambil mafhumnya, maka tujuannya adalah untuk kemaslahatan manusia.[27] Dan  dalam praktiknya Muhammadiyah mengembangkan ijtihadnya dalam beberapa jenis Ijtihad [28] yaitu;
Pertama: Ijtihad Bayani, yaitu ijtihad terhadap nash yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafad yang dimaksud, maupun karena lafad itu mengandung makna ganda, mangandung arti  musytarak, ataupun karena pengertian lafad dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti mutasyabih, ataupun adanya beberapa dalil yang bertentangan atau ta’arrudh. Dalam hal  yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan Tarjih atau ijtihad intiqa’i.
Kedua: Ijtihad Qiyasi, yaitu menyelesaikan kasus baru dengan cara menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena ada kesamaan illah. Atau dengan kata lain menganalogikan.
Ketiga : Ijtihad Istislahi, yaitu menyelesaikan beberapa permasalahan baru yang tidak terdapat dalam nash al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan cara menggunakan penalaran berdasarkan illah kemaslahatan.
Jenis pertama, yang disebut ijtihad bayani, adalah usaha untuk menjelaskan teks dari al-Qur’an dan al-Sunnah atau dalil-dalil yang digunakandalam merumuskan hukum tertentukarena teks atau dalil tertentu mempunyai penegrtian yang mushtarak (ganda), mutashabih (mirip tetapi tidak sama),  atau ta’arrud (kontradiksi). Dengan metode ini pada akhirnya Lajnah Tarjih harus memilih salah satu pengertian yang dipandang kuat dari berbagai pengertian yang dipahami oleh berbagai ahli hukum Islam mengenai teks atau dalil tertentu. Pengertian ganda atau mutasyabih, kontradiksi, mesti lebih dari satu, karena itu apa yang dinamakan ijtihad bayani sebenarnya adalah ijtihad tarjihi. Al-Qardawi menyebutnya dengan ijtihad intiqai, yaitu memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat pada warisan fiqh Islam, yang penuh dengan fatwa dan keputusan hukum.[29]
Jenis kedua, ijtihad qiyasi, adalah tidak lain dari penggunaan metode qiyas. Ijtihad itu sendiri menurut Syafi’I, adalah penggunaan metode untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak dijelaskan oleh teks al-Qur’an dan al-Sunnah.[30]
Sekalipun tidak menggunakan teks al-Qur’an dan al-Sunnah, masalah yang diputuskan berdasarkan metode Qiyas sebenarnya masih berkaitan dengan kedua sumber ini, yaitu mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul, seperti yang dimaksudkan dalam ayat QS. Al-Nisa’ [4]: 59. Bagi lajnah Tarjih secara khusus bahwa yang menjadi dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur’an dan al-hadith. Jadi qiyas hanya digunakan jika tidak terdapat teks.
Jenis ketiga, ijtihad istislahi, adalah penggunaan metode istislah dalam merumuskan ketentuan hukum tertentu. Inti metode ini adalah kecenderungan untuk memilih pendapat yang mengutamakan kemaslahatan masyarakat.karena maksud diturunkan agama adalah untuk menjaga kemaslahatan masyarakat. Kecenderungan ini merupakan salah satu tugas pokok Majlis Tarjih Muhammadiyah seperti yang ditetapkan dalam kaidah tarjihnya, yaitu menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat.[31] Bagaimanapun secara teoritis yang dimaksud ijtihad istislahi sebenarnya masih dalam kategori ijtihad tarjihi, karena lajnah tarjih masih melakukan pilihan kepada pendapat yang lebih maslahah menurut pandangannya.[32]
Pada dasarnya semua jalur diatas selalu berorientasi kepada maslahat yang merupakan tujuan utama  disyari’atkan hukum dalam Islam. namun bila diurut secara rinci, maka metode  yang terakhir menggunakan konsep maslahat lebih banyak daripada yang sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa metode  ijtihad yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam masalah-masalah  Muamalah duniawiyah selalu bertumpu pada maqasid al-shariah, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dengan cara memperhatikan hal-hal  yang bersifat daruriyyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Setiap peringkat memperhatikan lima unsur utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Perkembangan ijtihad majlis tarjih Muhammadiyah dapat dilihat dari agenda muktamar yang diberitakan oleh Fathurrahman Jamil dalam bukunya Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah sebagai berikut:
Muktamar tarjih yang pertama, tahun 1929, di Solo sampai muktamarnya pada tahun 1953, hanya membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah, mulai dari permasalahan bersuc isampai pelaksanaan ibadah haji, ditambah dengan pembahasan jenazah dan wakaf. Pada tahun  1954 dan 1955 dibahas masalah sumber ajaran Islam secara global  dan dibahas pula masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan warga muktamar Muhammadiyah secara praktis, seperti batas aurat laki-laki bagi anggota wandu, dan lain-lain. Pada tahun 1960, muktamar tarjih baru mulai mengadakan pembahasan mulai masalah pembatasan kelahiran, perburuan, dan hak milik. Namun pada muktamar yang diselenggarakan di pekajangan pekalongan ini tidak sampai mengambil keputusan. Kemudian mulai tahun 1968  dan sampai terakhir tahun 1989 baru dibahas  dan ditetapkan hukum mengenai berbagai masalah  mu’amalah kontemporer. Muktamar tarjih tahun 1968 di Sidoarjo membahas masalah-masalah bunga Bank, kelurga berencana, nalo dan lotto dan lain-lain. Pada tahun 1972, muktamar tarjih yang dibahas diselenggarakan di  Wiradesa Pekalongan. Diantara agenda permasalahan yang dibahas pada waktu itu adalah asuransi dan pertanggungan. Muktamar tarjih pada tahun 1976 di Garut membahas masalah pengelolaan dan pendayagunaan  harta dalam Islam  dan etika wanita Islam. kemudian pada tahu 1980 di Klaten, Muktamar tarjih membahas masalah bayi tabung  dan pencangkokan jaringan  atau organ tubuh manusia. Dan pada tahun 1989 di malang , muktamar tarjih membahas masalah aborsi, perkawinan antar agama, asuransi, dan lain-lain.” [33]
Contoh: penetapan tentang hukum aborsi dalam muktamar XXII di Malang  Jawa Timur. Abortus atau pengguguran kandungan  bisa diartikan sebagai keadaan dimana terjadi pengahiran kehamilan sebelum fetus hidup diluar kandungan. Dari rumusan ini dapat dipahami, bahwa gugurnya kandungan ada yang bersifat alamiyah dan ada yang disengaja, yang bersifat alamiyah disebut abortus spontan, dan yang kedua disebut abortus provokatus. Abortus yang pertama yang bersifat alami tidak masuk pada bahasan karena tidak ada unsur kesengajaan sedangkan yang kedua ada unsur kesengajaan. Dan aborstus provokatus dibedakan ada dua, yaitu abortus provokatus medicinalis dan abortus provokatus kriminalis. Dengan melihat kepada ayat :13-14 QS. Al-Mukminun  dan hadith nabi yang menyatakan bahwa dalam usia kandungan yang berumur empat bulan atau 120 hari, ternyata malaikat sudah meniupkan ruh kepadanya, dan menurut penafsirannya bahwa ruh tersebut adalah ruh insaniyah, dan menurutnya ruh itu sudah ada sejak pertama kali pembuahan,  oleh karena itu  menurut majlis tarjih Muhammadiyah pengguguran kandungan sejak  pembuahan hukumnya haram.[34]
Dari pemaparan diatas, tampak bahwa lembaga Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam melakukan ijtihad cenderung tidak menerima apa yang dirumuskan oleh para ulama terdahulu, yaitu Ijma dan qiyas. Bahkan Ijma para ulamapun tidak diterima. Muhammadiyah lebih condong langsung mengambil dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan seandainya mau menggunakan qiyas itupun hanya sekedar metodologinya saja, tidak memakai produknya. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh NU, karena lembaga tersebut lebih cenderung melihat hasil produk ulama dahulu, kemudian jika tidak ditemukan hukumnya baru melakukan ijtihad manhaji.

3.      Analisa Terhadap Metodologi  Istinbath NU dan Muhammadiyah
Setelah mengulas kedua bentuk metodologi Istinbath hukum baik dari Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahthul Masa’il  NU, maka keduanya mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan, diantaranya yaitu:
1.      Sisi kelebihan NU, dalam beristinbath lembaga ini sudah cukup representatif karena mampu menjawab terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan cara melihat kepada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh ulama terdahulu baru ketika tidak ditemukan hukumnya kemudian beristimbath dengan cara ijtihad manhaji.
2.      Sistem pembelajaran dalam upaya mengkader ulama-ulama yang faqih dalam agama yang diharapkan dapat menjadi penerus  ulama yang mampu berijtihad dalam rangka beristinbath terhadap permasalahan baru   sudah diterapkan dikalangan pesantren-pesantren melelui lembaga bahthul masa’il tingkat pesantren.
3.      Lajnah Bahthul Masa’il yang dahulu hanya mengambil dari literatur-literatur fiqh, sekarang sudah mulai memperhatikan bidang-bidang yang lain seperti tafsir, hadith, ilmu sosial, politik, dan kedokteran begitu juga karya-karya penulis Modern.
4.      Sisi kelemahan Lajnah Bahthul Masa’il adalah keterikatannya kepada madhab tertentu - disini lebih condong- kepada Syafi’I, walaupun dalam kaidah yang ditetapkan mngikuti empat madhab. Dan berpegang kepada taqlid, juga keengganan membuka pintu ijtihad, sebenarnya ini bukan permasalahan lambaga NU saja tetapi seluruh dunia Islam pada umumnya.
5.      Kelemahan Lajnah Bahthul Masa’il, terlihat juga ketika mengambil literatur buku karya ulama terdahulu terfokus pada buku yang bersifat ranting dan dahan sehingga tidak langsung kepada buku aslinya.
Sedangkan pada lembaga Majlis Tarjih Muhammadiyah juga terdapat kelebihan dan kekurangannya, yaitu:
1.      Sisi kelebihan metode yang digunakannya adalah lembaga ini lebih mengutamakan ijtihad sendiri, dengan menggunakan aspek metodologi yang dipakai oleh ulama mujtahid atau berijtihad manhaji secara langsung. bahkan kalau perlu lembaga ini akan membuat metode yang tidak sama dengan pendahulunya.
2.      Sedangkan sisi kelemahannya, lembaga ini karena lebih cenderung mengadakan ijtihad manhaji, sekalipun sering menemukan jawaban yang sama, bahkan alasannya juga seringkali sama sehingga seolah kerja dua kali.
3.      Lembaga ini cenderung kurang memperhatikan pendapat-pendapat ulama terdahulu dan mengklaim bahwa keputusan yang ada merupakan hasil ijtihad  majlis yang langsung disandarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadith.
4.      Dengan cenderung tidak memperhatikan dan menengok kembali khazanah pemikiran ulama terdahulu, dengan alasan cukup mengambil dasar al-Qur’an dan al-Sunnah, untuk memproduksi kebutuhan fiqh yang berkembang, nantinnya akan bermunculan mujtahid baru yang secara kritis sering mereduksi pemikiran-pemikiran mapan ulama fiqh itu sendiri. Sikap ini akan membawa pengeroposan  dalam khazanah intelektuan Islam.

PENUTUP
Keberadaan Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahthul Masa’il al-Diniyyah NU sebagai lembaga yang mampu menggali hukum tersembunyi terhadap permaslahan baru yang berkembang pada masa sekarang,   sebenarnya sudah cukup mewakili generasi ulama yang mampu berijtihad untuk memberikan solusi terhadap permasalahan baru yang berkembang dimasa sekarang, karena fuqaha yang terdahulu telah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada fiqh (hukum) pada zamannya, dan fiqh pada zaman sekarang harus lebih banyak bergantung kepada fuqaha pada zaman sekarang. Hal ini sejalan dengan pandangan ahli hukum modern. Tujuan dan sasaran fiqh sama dengan tujuan dan sasaran hukum, sama-sama akan diberlakukan dalam masyarakat, sama-sama diperuntukkan untuk hubungan kemaslahatan dalam masyarakat.
Ada satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa bermadhab secara manhaji sanagtlah bagus untuk diterapkan, sehingga tidak terjebak dalam talfiq yang konotasinya bermadhab fi aqwal, bahkan juga untuk pengembangan metodologinya, kalau bisa, bukan lagi mengikuti manhaj yang sudah ada, sebagaimana yang dikemukakan   oleh A. Qodri Azizy dalam bukunya “Reformasi Bermadhab; sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad sesuai Saintifik-Modern”.[35] Namun menurut penulis ada baiknya jika tetap memperhatikan dengan  tidak mengabaikan hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh fuqaha terdahulu.
Dengan demikian walaupun dengan banyaknya bermunculan lembaga keagamaan yang khusus membahas permasalahan hukum seperti adanya Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahthul Masa’il al-Diniyyah NU, diharapkan tidak membawa perpecahan dikalangan umat Islam, akan tetapi justru akan membawa hikmah yang sangat besar, sehingga Islam yang rahmatan li al-‘alamin benar-benar terwujud dipenjuru bumi ini.



















BIBLIOGRAPHY
Ka'bah, Rifyal, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khoirul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2004.

Masyhuri, A. Aziz, Masalah Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Ke-1 tahun 1926 s/d  ke-29 tahun  1994, Surabaya: RMI dan Dinamika Press, 1997.

Yusuf, Chusnan, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Yogyakarta: Persatuan Yogyakarta, 1988.

Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Universitas Yarsi, 1998.

Arifin, Miftahul, Putusan-putusan Tarjih dan Konsistensi Warga Muhammadiyah Surabaya: Biro Penerbit dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN sunan Ampel, 1998.

Fak. Dakwah, Peranan Majlis Tarjih dalam Pembaharuan Dakwah Muhammadiyah, dalam Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 5 No. 1 April 2002, Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2002.

PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih, Yogyakarta; P P Muhammadiyah, tt.

Jamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos Publishing House, 1995.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Usul Fiqh, Jakarta: Al-Majlis al- A’la  al-Indunisi li al-Dakwat al-Islamiyyat, 1972.

Al-Qayyim, Ibn, I’lām Al-Muwāqi’īn ‘an Rabbi al-‘Alamīn, Vol. II, Bairut: Dār Al-Fikr, tt.

Ma’louf, Louis, Al-Munjīd Fī Al-Lughah Wa al-A’lām, Bairut: Dār al-Mashriq, 1986.

al-Zuhaili, Wahbah, Usūl al-Fiqh al-Islāmi, Vol. I, Bairut: Dār al-Fikr al-Mu’ashir, 1998.

Al-Qardhawi, Yusuf, Ijtihad Kontemporer, ter. Jakarta: Bulan Bintang, 1987.

Al-Shafi’I, M. Idris,  Al-Risalah, Kairo: Dar al-Turath, 1399 H/1979 M.

Azizy, A. Qodri, Reformasi Bermadhab; Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, Jakarta: Teraju Mizan, 2003.


[1] Louis Ma’louf, Al-Munjid Fī al-Lughah Wa al-A’lām, (Bairut: Dār al-Mashrīq, 1986), 786.
[2] Rifyal Ka'bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khoirul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2004), 203.
[3] Ibid.
[4] A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan; Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Ke-1 tahun 1926 s/d  ke-29 tahun  1994, (Surabaya: RMI dan Dinamika Press, 1997), 365.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 364.
[7] Rifyal Ka’bah, Penegakan…, Op. Cit., 206.
[8] Ibid., 207.
[9] Ibid., 207.
[10] Ibid., 208.
[11] A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan… Op. Cit., 366.
[12] Ibid., 289-291.
[13] Chusnan Yusuf, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: Persatuan Yogyakarta, 1988), 46.
[14] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1998), 95.
[15] Ibid., 96.
[16] Miftahul Arifin, Putusan-putusan Tarjih dan Konsistensi Warga Muhammadiyah (Surabaya: Biro Penerbit dan Pengembangan Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN sunan Ampel, 1998), 8.
[17] Fak. Dakwah, Peranan Majlis Tarjih dalam Pembaharuan Dakwah Muhammadiyah, dalam Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 5 No. 1 April 2002, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2002), 22.
[18] PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majlis Tarjih , (Yogyakarta; P P Muhammadiyah, tt.), 278.
[19] Faturrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,(Jakarta: Logos Publishing House, 1995), 70. Lihat juga dalam “Pokok-pokok Manhaj Majlis Tarjih” dalam PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, Buku Panduan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII, (Malang: 1989), 23.
[20] Rifyal Ka'bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khoirul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2004), 194.
[21] Faturrahman Jamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House, 1995), 70
[22] Ijma’ dalam Usul Fiqh adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam pada suatu masa setelah wafatnya  Rasulullah mengenai kasus tertentu yang berhubungan dengan hukum syar’i. Lihat ‘Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul Fiqh, ter., (Jakarta: Al-Majlis al- A’la  al-Indunisi li al-Dakwat al-Islamiyyat, 1972), 45. Lihat juga, Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, Vol. I, (Bairut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1998), 490.
[23] Ibid., 73
[24] Ibn Al-Qayyim, I’lām Al-Muwāqi’īn ‘an Rabbi al-‘Alamīn, Vol. II, (Bairut: Dār Al-Fikr, tt), 334
[25] Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad.., Op. Cit., 74.
[26] Ibid., 74-75.
[27] Ibid., 78.
[28] Rifyal Ka'bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khoirul Bayan, Sumber Pemikiran Islam, 2004), 196.
[29] Yusuf al-Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, ter. (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), 24.
[30] M. Idris Al-Shafi’I, Al-Risalah, (Kairo: Dar al-Turath, 1399 H/1979 M), 81.
[31] PP. Muhammadiyah, Pokok-pokok Manhaj Majlis TarjihOp. Cit., 2-3.
[32] Rifyal, Op. Cit., 198.
[33] Fathurrahman Jamil, Metode Ijtihad.., Op. Cit., 65-66.
[34] Lihat berita resmi Muhammadiyah nomor khusus, “Tanfidz keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII,” ( PP Muhammadiyah, 1990), 16. Atau Berita Resmi Muhammadiyah Nomor Khusus.
[35] A. Qodri Azizy, Reformasi Bermadhab; Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik-Modern, (Jakarta: Teraju Mizan, 2003), 24.
Next Post Previous Post
3 Comments
  • Nur s
    Nur s 6 April 2012 pukul 05.53

    namun Muhammadiyyah juga merujuk pada pendapat2 para salaf lho,hanya tidak taqlid SATU MAZHAB, artinya pendapat2 salaf yang berbeda2 itu di ijtihadi untuk putusan TARJIH

  • fikrati
    fikrati 14 April 2012 pukul 22.52

    idem dengan pak nur salam...tapi apakah betul kita diperkenankan untuk ambil madzhab sesuka kita..apa nantinya kita tidak masuk pada ALLAMADZHABIYAH (tidak bermadzhab) oh iya sekali lagi sebenarnya Muhammadiyah itu madzhabnya apa?

  • Ihsan
    Ihsan 28 Mei 2012 pukul 20.57

    Fikrati: Muhammadiyah tidak bermazhab pada manapun. Muhammadiyah hanya mengikuti apa yang dilakukan Nabi, sesuai dengan namanya yang berarti pengikut Nabi Muhammad. Yang tidak dilakukan oleh Nabi atau hal-hal yang tidak bersumber dari alquran dan as-sunnah tidak akan dilakukan. Cukup sederhana bukan? Jadi, tidak perlu diperdebatkan karena memang sampai kapan pun tidak akan ada titik temu. Nabi akan sedih jika umatnya terpecah belah. Jalani saja apa yang diyakini, tidak usah saling mengganggu.

Add Comment
comment url

Advertisement

Advertisement