Advertisement

Makalah Monogami dan Poligami



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
 Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain menyetujui dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.
Kenyataannya poligami sekarang ini banyak dipraktikkan oleh kalangan public figure kita. Sebut saja misalnya mantan wakil presiden RI, Hamzah Haz, yang memiliki isteri tiga orang, Puspo Wardoyo (pengusaha terkenal) yang memiliki isteri empat orang, Qomar (seorang komedian) yang juga memiliki empat orang isteri, KH. Nur Muhammad Iskandar, SQ. (Kiai pengasuh PP. Ash Shiddiqiyah Jakarta) yang memiliki tiga orang isteri, Mamik Slamet, Parto Patrio, dan masih banyak lagi yang lain. Mereka dengan terus terang menyatakan bahwa mereka telah mempraktikkan poligami. Ada juga di antara masyarakat kita yang mempraktikkan poligami dengan sembunyi-sembunyi karena alasan-alasan tertentu.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pembahasan ini adalah:
1.      Apakah yang disebut dengan poligami dan monogami?
2.      Apa saja hikmah (manfaat) berpoligami?
3.      Apa saja pandangan para ulama’ tentang poligami dan monogami?
4.      Apa harapan dan kenyataan berpoligami?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui pengertian poligami dan monogami
2.      Mengetahui berbagai macam-macam hikmah berpoligami
3.      Mengetahui tentang pandangan para ulama’ tentang poligami dan monogami
4.      Mengetahui antara harapan dan kenyataan berpoligami
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Poligami  dan Monogami
Secara etimologis (lughawi) kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu gabungan dari dua kata: poli atau polus yang berarti banyak dan gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak (Nasution, 1996: 84). Secara terminologis (ishthilahi) poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI, 2001: 885). Jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang suami maka perkawinannya disebut poligini, sedang jika yang memiliki pasangan lebih dari satu itu seorang isteri maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam bahasa sehari-hari istilah poligami lebih populer untuk menunjuk perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri. Lawan dari poligami adalah monogami, yakni sistem perkawinan yang hanya membolehkan seorang suami memiliki seorang isteri dalam satu waktu.
Dalam Islam, poligami didefinisikan sebagai perkawinan seorang suami dengan isteri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang isteri dalam waktu yang bersamaan. Batasan ini didasarkan pada QS. al-Nisa’ (4): 3 yang berbunyi:
وإن خفتم الا تقسطوا في اليتامي فانكحوا ما طاب لكم من النّساء مثني وثلاث ورباع ........................
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Dari ayat itu ada juga sebagian ulama yang memahami bahwa batasan poligami itu boleh lebih dari empat orang isteri bahkan lebih dari sembilan isteri. Namun batasan maksimal empat isterilah yang paling banyak diikuti oleh para ulama dan dipraktikkan dalam sejarah  dan Nabi Muhammad Saw. melarang melakukan poligami lebih dari empat isteri (al-
Syaukani, 1973, I: 420)
B.     Hikmah(manfaat) berpoligami
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dalam syarat belaku adil antara lain:
1.      Mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul
2.      Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3.      Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statistika menunjukkan bahwa di beberapa negara barat yang melarang poligami mengakibatkkan merajalelanya prostitusi dan free sex (kumpul kebo) yang berakibat anak-anak zina lahir mencapai jumlah yang cuku tinggi. Misalnya di perancis 30%, austria 50%, dan belgia 60%.
4.      Untuk menyelamtkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal dinegara atua masyarakat yang jumlah wanitannya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peprangan yang cukuo lama seperti perang antara iran dan irak sekarang ini.
Mengenai hikmah Nabi Muhammad di izinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang di izinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
1.      Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama istri nabi sebanyak (sembilan) orangitu bisa menjadi sumber informasi bagi umat islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan atau kerumah tanggaan.
2.      Untuk kepentingan politikmempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-harits kepala suku Bani Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shofiyah, seorang toko dari suku banu Quraidzah dan Bani Nadim.
3.      Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan islam yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zun’ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abesinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zaenab binti Khuzaiamah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan perlindungan untuk melindungu jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhu kebutuhan hidupnya.
Jelaslah bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsuh sex dan kenikmatan sex. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari begbagai suku pda masa Nabi masih usia muda. Tapi kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 th menikah dengan Khadijah seorang janda umur 40 th dan pasangan istri ini selama kurang lebih 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dalam mendapatkan keturunan 2 anak laki-laki, tetapi meninggal masi kecil, dan empat anak wanita.

C.    Berbagai Pandangan Para Ulama tentang Poligami
Allah Swt. Maha Bijaksana ketika menetapkan aturan poligami, sehingga tidak ada kesalahan dan cela. Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi laki-laki, sebagaimana tidak pula diwajibkan bagi perempuan dan keluarganya untuk menerima perkawinan dari laki-laki yang sudah beristeri. Perlu ditegaskan di sini bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Dengan prinsip seperti ini, jelaslah bahwa disyariatkannya poligami juga untuk kemaslahatan manusia. Poligami bertujuan untuk mewujudkan keluarga yang baik, bukan semata-mata untuk menyenangkan suami. Dari prinsip ini juga dapat dipahami bahwa jika poligami itu tidak dapat mewujudkan kemaslahatan, maka poligami tidak boleh dilakukan. Karena itulah, Islam memberikan aturan-aturan yang dapat dijadikan dasar untuk pelaksanaan poligami sehingga dapat terwujud kemaslahatan tersebut.
Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan poligami, meskipun dasar pijakan mereka adalah sama, yakni mereka mendasarkan pada satu ayat dalam al-Quran, yaitu QS.al-Nisa’ (4):3 seperti di atas. Menurut jumhur (kebanyakan) ulama ayat di atas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang Muslim yang gugur menjadi syuhada’. Sebagai konsekuensinya banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati ayah atau suaminya. Hal ini juga berakibat terabaikannya kehidupan mereka terutama dalam hal pendidikan dan masa depan mereka (Nasution, 1996: 85). Kondisi inilah yang melatar belakangi disyariatkannya poligami dalam Islam. Ibnu Jarir al-Thabari sangat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat di atas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap harta anak yatim. Maka jika sudah khawatir kepada anak yatim, mestinya juga khawatir terhadap perempuan. Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Sebaliknya, jika ada kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika berpoligami, maka cukup menikahi seorang isteri saja (al-Thabari, 1978: 155).
Dalam menafsirkan ayat di atas al-Zamakhsyari mengatakan, kata wa dalam ayat matsna wa tsulatsa wa ruba’ berfungsi sebagai penjumlahan (li al-jam’i). Karena itu, menurutnya, perempuan yang boleh dinikahi oleh laki-laki yang bisa berbuat adil bukan empat, sebagaimana pendapat ulama pada umumnya, tetapi sembilan (al-Zamakhsyari, 1966, I: 496). Ketika menjelaskan makna ayat 129 dari surat al-Nisa’ yang berbunyi: ”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”, al-Zamakhsyari mengatakan bahwa tuntutan kemampuan berbuat adil terhadap para isteri sesuai dengan kemampuan maksimal, sebab memaksakan diri dalam melakukan sesuatu di atas kemampuannya termasuk perbuatan zhalim (al-Zamakhsyari, 1966, I: 568). Ketika membahas kata aw ma malakat aimanukum al Zamakhsyari mengatakan bahwa untuk halalnya hubungan seorang tuan dengan budaknya, maka harus dinikahi terlebih dahulu.
Al-Qurthubi sepakat dengan al-Zamakhsyari dalam hal menikahi budak yang akan digauli oleh tuannya. Namun al-Qurthubi berbeda dengan al-Zamakhsyari dalam memahami jumlah maksimal perempuan yang dijadikan isteri dalam berpoligami. Al- Qurthubi sepakat dengan apa yang ditegaskan oleh Nabi Saw. ketika menyuruh sahabat untuk menyisakan isterinya maksimal empat orang. Dengan demikian, menurut al-Qurthubi jumlah maksimal isteri bagi suami yang berpoligami adalah empat orang (al-Qurthubi, 1967: 17).
Al-Syaukani menyebutkan, bahwa sebab turunnya ayat al-Nisa’: 3 berhubungan dengan kebiasaan orang-orang Arab pra-Islam. Di antara kebiasaan mereka adalah para wali yang ingin menikahi anak yatim tidak memberikan mahar yang jumlahnya sama dengan mahar yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu, kalau tidak bisa memberikan mahar yang sama antara yang perempuan yang yatim dan non-yatim, Allah menyuruh untuk menikahi perempuan yang non-yatim saja maksimal empat orang dengan syarat dapat berbuat adil. Jika tidak dapat berbuat adil, maka cukup satu saja. Al-Syaukani juga menegaskan bahwa menikahi wanita lebih dari empat orang hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Nabi dan bertentangan dengan pemahaman bahasa Arab yang umum (al-Syaukani, 1973: 420). Ketika menafsirkan ayat aw ma malakat aimanukum al-Syaukani menyatakan, untuk menjadikan budak sebagai isteri tidak diharuskan menikahinya, karena budak disamakan dengan harta milik.
Dalam menafsirkan QS. al-Nisa’: 129, sebagaimana umumnya para ahli tafsir, al- Syaukani menegaskan, bagaimanapun usaha untuk berbuat adil, manusia tidak akan mampu, lebih-lebih kalau dihubungkan dengan kemampuan membagi di bidang nonmateri. Karena itu, Allah melarang untuk condong kepada salah satu yang mengakibatkan yang lain menjadi terlantar. Dengan kata lain, harus ada upaya maksimal dari seorang suami untuk dapat berbuat adil kepada para isterinya ketika berpoligami (al-Syaukani, 1973: 521).
Al-Maraghi menyatakan dalam kitab tafsirnya bahwa kebolehan poligami adalah kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Dia kemudian mencatat kaidah fiqhiyah “dar’u al-mafasid muqaddamun ala jalbi al-mashalih” (menolak yang berbahaya harus didahulukan daripada mengambil yang bermanfaat). Catatan ini dimaksudkan untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam melakukan poligami. Alasan yang membolehkan poligami, menurut al- Maraghi, adalah 1) karena isteri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan; 2) apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi sementara isteri tidak mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya; 3) jika suami memiliki harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri sampai kepentingan anak-anak; dan 4) jika jumlah perempuan melebihi jumlah laki-laki yang bisa jadi dikarenakan perang. Atau banyaknya anak yatim dan janda sebagai akibat perang juga membolehkan dilakukannya poligami (al-Maraghi, 1969, IV: 181-182). Al-Maraghi juga menegaskan hikmah pernikahan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. yang menurutnya ditujukan untuk syiar Islam. Sebab jika tujuannya untuk pemuasan nafsu seksual, tentu Nabi akan memilih perempuan-perempuan cantik dan yang masih gadis. Sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi Nabi semuanya janda kecuali ‘Aisyah. Terkait dengan QS. al-Nisa’: 129 al-Maraghi mencatat, yang terpenting harus ada upaya maksimal untuk berbuat adil. Adapun di luar kemampuan manusia, bukanlah suatu yang harus dilakukan (al-Maraghi, 1969, V: 173).
Sayyid Qutub memandang poligami sebagai suatu perbuatan rukhshat. Karena itu, poligami hanya bisa dilakukan dalam keadaan darurat yang benar-benar mendesak. Kebolehan ini pun masih disyaratkan adanya sikap adil kepada para isteri. Keadilan yang dituntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah, pergaulan, serta giliran tidur malam. Bagi suami yang tidak mampu berbuat adil, maka cukup seorang isteri saja (Sayyid Qutub, 1966, IV: 236). Ameer Ali juga berpendapat sama seperti Sayyid Qutub (Ali, 1922: 229). Sedang Fazlur Rahman mengatakan, kebolehan poligami merupakan satu pengecualian karena keadaan tertentu. Sebab kenyataannya, kebolehan itu muncul ketika terjadi perang yang mengakibatkan banyaknya anak yatim dan janda (Nasution, 1996: 101). Muhammad Abduh bahkan berkesimpulan bahwa poligami tidak diperbolehkan (haram). Poligami hanya mungkin dilakukan seorang suami dalam keadaan tertentu, misalnya ketidakmampuan seorang isteri untuk mengandung atau melahirkan. Dengan mengutip QS. al-Nisa’(4): 3, Abduh mencatat, Islam memang membolehkan poligami tetapi dituntut dengan keharusan mampu meladeni isteri dengan adil. Abduh akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa pada prinsipnya pernikahan dalam Islam itu monogami (Nasution, 1996: 103). Muhammad Rasyid Ridha sependapat dengan gurunya, Muhammad Abduh, mengenai haramnya berpoligami, jika suami tidak mampu berbuat adil kepada isteri-isterinya (Nasution, 1996: 104). Sementara itu Abdul Halim Abu Syuqqah (1997, 5: 390) menguraikan faktor-faktor yang dapat mendorong dilakukannya poligami, yakni:
1)     memecahkan problema keluarga, seperti isteri mandul, terdapat cacat fisik, dan isteri menderita sakit yang berkepanjangan;
2)     memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi suami, seperti seringnya bepergian dalam waktu yang lama dan sulit disertai oleh isterinya karena sibuk mengasuh anak-anak atau karena sebab lain;
3)     hendak melakukan perbuatan yang baik terhadap perempuan salih yang tidak ada yang memeliharanya, misalnya perempuan itu sudah tua, karena memelihara anak-anak yatim, atau sebab-sebab lainnya; dan
4)     ingin menambah kesenangan karena kesehatannya prima dan kuat ekonominya.
 Semua faktor ini harus dipenuhi oleh suami yang berpoligami ditambah persyaratkan dapat berlaku adil, mampu memberi nafkah kepada isteri-isteri dan anak-anaknya, dan mampu memelihara isteri-isteridan anak-anaknya dengan baik (Abu Syuqqah, 1997, 5: 388). Itulah beberapa pendapat para ulama tentang poligami yang pada prinsipnya semuanya membolehkan poligami dengan berbagai ketentuan yang bervariasi. Ada yang membolehkan poligami dengan syarat yang cukup longgar dan ada juga yang memberikan persyaratan yang ketat. Di antara mereka juga ada yang menegaskan bahwa dibolehkannya poligami hanya dalam keadaan darurat saja. Mengenai jumlah isteri yang boleh dinikahi dalam berpoligami ada yang membatasinya empat orang dan ada yang membatasinya sembilan orang. Dari variasi pendapat mereka tidak ada yang dengan tegas menyatakan bahwa poligami itu dilarang. Mereka tidak berani menetapkan hukum yang bertentangan dengan al-Quran atau hadis yang memang tidak pernah melarangnya. Inilah barangkali salah satu ciri dari ulama klasik dalam menetapkan hukum.
Dalam undang-undang modern yang diberlakukan di negara-negara Islam, ketentuan poligami masih bervariasi. Ada yang memberikan ketentuan yang longgar dan ada yang memberikan ketentuan yang sangat ketat hingga mengharamkannya. Indonesia termasuk negara yang menetapkan ketentuan yang ketat untuk poligami. Dalam UU No. 1 Th. 1974 pasal 3 ayat (2) dijelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan mendapat izin dari pengadilan.
Adapun alasan-alasan yang dijadikan pedoman oleh pengadilan untukmemberi izin poligami ditegaskan pada pasal 4 ayat (2), yaitu:
1)     isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
2)     isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
3)     isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketentuan seperti ini juga ditegaskan dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 41 huruf a dan KHI pasal 57.
Pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat poligami sebagai berikut:
1)      adanyapersetujuan dari isteri/isteri-isteri;
2)      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
3)      adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
    Di samping ketentuan ini UU Perkawinan juga mengatur prosedur yang harus ditempuh suami dalam melakukan poligami, yakni melalui proses di pengadilan. Mesir dan Pakistan, dua negara Islam, juga mengatur masalah poligami dalam undang-undangnya. Aturan poligami dalam undangundang di dua negara ini juga cukup ketat (Marzuki, 1996: 175-177). Dengan demikian, pada prinsipnya hukum Islam membolehkan adanya poligami dengan berbagai persyaratan yang cukup ketat. Disyariatkannya poligami, seperti ketentuan hukum Islam lainnya, juga untuk kemaslahatan umat manusia.
 Dari sinilah harus disadari bahwa siapa pun boleh melakukan poligami selama ia dapat mewujudkan kemaslahatan. Namun, jika ia tidak dapat mewujudkan kemaslahatan itu ketika melakukan poligami, maka poligami tidak boleh ia lakukan. Persyaratan yang ditentukan oleh al- Quran (seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami harus dipahami sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami. Hal ini hanya bisa terwujud jika poligami dilakukan oleh pihak laki-laki (suami) dan tidak mungkin dapat dilakukan oleh pihak wanita (isteri).

D.    Poligami: Antara Harapan dan Kenyataan
Hukum Islam secara prinsip tidak mengharamkan (melarang) poligami, tetapi juga tidak memerintahkan poligami. Artinya, dalam hukum Islam poligami merupakan suatu lembaga yang ditetapkan sebagai jalan keluar untuk mengatasi adanya problem tertentu dalam suatu keluarga (rumah tangga). Sesuai dengan dua prinsip hukum Islam yang pokok, yakni keadilan dan kemaslahatan, poligami dapat dilakukan ketika terpenuhinya kedua prinsip tersebut. Poligami harus didasari oleh adanya keinginan bagi pelakunya untuk mewujudkan kemaslahatan di antara keluarga dan juga memenuhi persyaratan terwujudnya keadilan di antara suami, para isteri, dan anak-anak mereka. Dengan demikian, jika poligami dilakukan hanya sekedar untuk pemenuhan nafsu, apalagi hanya sekedar mencari prestasi dan prestise di tengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialis sekarang, serta mengabaikan terpenuhinya dua prinsip utama dalam hukum Islam tersebut, maka tentu saja poligami tidak dibenarkan.
Poligami dalam hukum Islam merupakan suatu solusi bagi sebagian orang (sedikit) untuk mewujudkan kesempurnaan dalam kehidupan keluarga yang memang tidak dapat dicapai dengan monogami. Problem ketiadaan anak yang mungkin disebabkan oleh  kemandulan seorang isteri, ketidakpuasan seorang suami karena kurangnya pelayanan yang prima dari seorang isteri, atau tujuan-tujuan dakwah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. merupakan sederetan problem yang barangkali bisa dipecahkan oleh lembaga poligami ini. Namun yang perlu dicatat, jangan sampai upaya mengatasi berbagai problem dengan cara poligami malah menimbulkan problem baru yang lebih besar mafsadatnya daripada problem sebelumnya. Jika hal ini terjadi tentu poligami bukanlah suatu solusi yang dianjurkan, tetapi sebaliknya bisa jadi malah dilarang. Kalau kita perhatikan praktik poligami di tengah-tengah masyarakat kita, dapat kita simpulkan bahwa para poligam masih banyak yang mengabaikan aturan-aturan poligami sebagaimana di atas. Kebanyakan dari mereka melakukan poligami hanya karena pemenuhan nafsu belaka, sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pokok dalam hukum Islam, yakni terwujudnya keadilan dan kemaslahatan.
Akibat poligami ini tidak sedikit para wanita (terutama isteri pertamanya) dan anak-anak mereka menjadi terlantar karena hanya diabaikan begitu saja. Tentu saja hal ini dapat mengakibatkan perpecahan keluarga yang jauh dari tujuan suci dari lembaga pernikahan dalam Islam. Namun demikian, diantara mereka juga ada yang melakukan poligami dengan mengindahkan ketentuan yang ada, sehingga mereka tetap dalam prinsip untuk mewujudkan keluarga yang bahagia secara keseluruhan. Golongan yang terakhir ini jumlahnya sangat sedikit.












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Sebagai orang yang awam, penulis mencoba mensikapi masalah poligami secara wajar. Karena Allah dan Rasul-Nya tidak pernah melarang poligami, maka penulis sepakat dengan para ulama yang tidak mengharamkan poligami. Yang harus menjadi acuan kita adalah bahwa semua ketentuan hukum Allah (hukum Islam) adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Dari sinilah jelas bahwa disyariatkannya poligami juga demi kemaslahatan manusia. Karena itu, siapa pun boleh melakukan poligami selama kemaslahatan itu bisa diwujudkan. Namun, jika kemaslahatan itu tidak bisa terwujud ketika orang melakukan poligami, maka poligami tidak boleh dilakukan.
Persyaratan yang ditentukan oleh al-Quran (seperti keharusan berlaku adil) dan juga berbagai ketentuan yang ditetapkan oleh para ulama tentang poligami harus kita pahami sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dalam pelaksanaan poligami. Penulis tidak setuju dengan praktik poligami yang hanya sekedar untuk kesenangan belaka atau untuk mempermainkan perempuan, seperti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat kita.







DAFTAR PUSTAKA

Isa, Abdur Rahman. 1997. Masailul Fighiyah Al-Haditsah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.



KATA PENGANTAR

Bismillahi Al-Rahmani Al-Rahimi
Segala Puji hanya milik Allah SWT. Dia lah yang telah menganugerahkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi seluruh manusia dan Rahmat bagi segenap alam. Dia-lah yang Maha Mengetahui makan dan maksud kandungan Al-Qur'an. Sholawat dan Salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, utusan dan manusia pilihan-Nya. Dialah penyampai, pengamal dan peafsir pertama Al-Qur'an.
Dengan pertolongan dan Hidayah-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul POLIGAMI DAN MONOGAMI ini. Di dalamnya termuat pengertian dan penjelasan tentang poligami dan monogami.
Ucapan terimakasih kepada ibuku yang telah mendoakan dan memotivasiku sehingga aku selalu semangat dalam mengerjakan tugas-tugas, terutama makalah ini yang terselesaikan dengan baik. Dan tak lupa pula kepada Bapak dosen Bahasa Indonesia yang telah menyampaikan materi (cara penulisan) makalah ini. Semoga keduanya mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Ta’ala.
Penulis berharap, agar para pembaca makalah ini memberikan kritik dan masukan yang membangun serta saran-saranya untuk kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan dan bermanfaat.


Dukun, 10 Mei 2013

Penulis








ii
 
 
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................        i
KATA PENGANTAR................................................................................        ii
DAFTAR ISI................................................................................................        iii
BAB I        PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang......................................................................        1
B.     Rumusan Masalah.................................................................        1
C.     Tujuan....................................................................................        1
BAB II       PEMBAHASAN
A.    Pengertian Poligami dan Monogami.....................................        2
B.     Hikmah (Manfaat) Berpoligami............................................        3
C.     Berbagai Pandangan Para Ulama tentang Poligami..............        4
D.    Poligami antara Harapan dan Kenyataan..............................        10
BAB III     PENUTUP
                   Kesimpulan .................................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................        13


iii
 

MAKALAH


POLIGAMI DAN MONOGAMI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Masail Fiqhiyah



Dosen Pengampu:
H. M. Saifullah, Lc. M.PdI.


 










Disusun oleh:
Nailul Muhibbin
Syarifah
Nur Kholifatur Rohmah








FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI  AGAMA ISLAM (STAI)
IHYAUL  ULUM GRESIK
2012/2013



 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Advertisement

Advertisement