Advertisement

AL HABIB AHMAD AL MUHDHOR

Cerita Sufi kali ini tentang Al habib Ahmad Al Muhdhar dan perjumpaanya dengan Ibunda Hadijah Al Kubro RA.

Terik matahari memanggang kota Mekah. Masjidil Haram tengah disesaki jemaah haji. Hari itu Jumat. Seorang khatib berdi­ri di atas mimbar Ia membacakan se­buah khutbah yang teramat panjang. Lama sekali sang khatib berkhut­bah. Jamaah tersiksa oleh sengatan siang. Maklum, saat itu bertepatan musim panas. Keringat becucuran deras. Usai khutbah, sang khatib mengimami salat. Anehnya, salat ini dilakukan dengan sangat cepat. Surat yang ia pakai pun yang pendek-pendek.
Setelah salam, seorang jamaah menghampiri khatib. Namanya Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdor. Tangannya menggenggam sebatang tongkat. Lalu tanpa diduga, sang habib menggebuk khatib denga tongkat sembari berkata-kata lantang, “Kamu telah membolak-balik sunnah Rasulullah SAW. Mestinya kamu meringkas khotbah dan sedikit memanjangkan salat.” Khatib itu ber­teriak kesakitan. “Hai orang-orang, aku dipukuli seorang Hadrami…! Habib Ahmad menimpali, “Aku bukan Hadrami,” ia lalu bersenandung,
Kami mengenal Batha'(sebuah daerah di Mekah) dan ia mengenal kami
Bukit Shafa dan Baitullah (Ka’bah) mencintai kami
Kota Mekah geger. Sang Amir, Muhammad bin Awan geram. Diperintahkannya polisi untuk menangkap Habib Ahmad dan menghu­kumnya di depan khalayak. Keresahan melanda warga Hadrami. Mereka mengkhawatirkan nasib habib tercinta itu. “Tak usah khawatir! Ibundaku, Khadijah binti Khuwailid, selalu ber­samaku,” ujar Habib Ahmad mene­nangkan. “Aku akan berlindung di tempatnya.” lanjutnya.
Saat itu juga ia bergegas ke kubah Sayidah Khadijah ra, istri mulia Baginda Nabi SAW. Sepasukan polisi mengejar di belakangnya. Sesampai di depan kubah, peristiwa ajaib terjadi, pintu kubah… terbuka dengan sendirinya. Habib Ahmad masuk, dan pintu itu tertutup kembali. Para polisi berusaha membuka, namun tak kuasa.
Mereka menemui juru kunci ku­bah dan meminta kunci. Namun ia enggan menyerahkan. “Takkan ku­berikan kunci ini kepada siapa pun.” Akhirnya dengan luapan amarah, mereka mengambil secara paksa. Berbekal kunci itu, mereka berhasil membuka pintu kubah. Tapi ajaib, Habib Ahmad tak kelihatan batang hidungnya. Mereka mencari-cari, na­mun hasilnya nihil, ia seperti raib di perut bumi.
Para abdi praja itu akhirnya me­nyerah. Mereka melapor pada Muh. B. Awan perihal kejadian luar biasa itu. Ia merasa takjub. la ke­mudian menanyai warga Hadrami mengenai siapa sebenarnya Habib Ahmad. Ketakjubannya kian mem­bumbung kala mengetahui kesejatian sosok habib yang alim itu.
Penguasa Mekah itu kemudian mengadakan jamuan istimewa untuk Habib Ahmad sebagai tanda maaf. Sang Habib menyambut hangat. Di tengah jamuan itu, Muh. B. Awan membujuk Habib Ahmad agar bersedia menetap di Mekah. Habib Ahmad tidak langsung menjawab ya ataupun tidak. “Aku tanyakan dulu kepada ibundaku, Khadijah AI-Ku­bra.” katanya. Beberapa hari kemudi­an, ia mendatangi Syarif dan membe­ri kabar, “Maaf Amir, Ibunda Khadi­jah menghendaki aku untuk kembali ke Quwereh.” Peristiwa itu terjadi pa­da musim haji tahun 1250 Hijriyah.
HAFAL AL-QUR’AN
Habib Ahmad bin Muhammad bin Alwi al-Muhdor lahir di kota Ra­syid, lembah Dau’an,Hadramaut(Yaman)tahun 1217 Hijriyah. Saat masih kanak­-kanak, ia diboyong ayahnya ke Hara­main. Di sana ia berhasil menghafal Alquranul Karim dalam usia tujuh ta­hun dengan bacaan yang bagus. Ia kemudian menekuni berbagai bidang pengetahuan. Diantara guru-gurunya di Mekah adalah: Syekh Umar bin Abdurrasul al-Attar, Syekh Muham­mad Sholeh ar-Rais, Syekh Ahmad as-Showi al-Mishri dan Syekh Abdur­Rahman al-Kazbaniy.
Setelah bekal ilmunya lumayan mumpuni, ia mulai sering diajak mondar-mandir antara Mekah dan Hadramaut oleh ayahnya. Ketika singgah di Hadramaut, ia menyempatkan diri menimba ilmu kepi ulama-ulama besar di sana, seperti Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr, Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Attas, Habib Abmad bin Umar bin Sumaith, Habib Abdullah bin Idrus al-Barr dan Syekh Abdullah bin Ahmad Basaudan.
Menginjak usia dewasa, ia memutuskan kembali ke kota Rasyid. Ia menempati rumah salah satu pam dari pihak ibunya yang merupakan keluarga besar marga Bazar’ah. la kemudian menikah dengan seorang wanita salehah dari keluarga al-Habsyi. Dari pernikahan ini ia dikaruniai putra dan putri bernama Umar, Hamid, Hadun, Khadijah, dan lainnya.
Selanjutnya, setelah memiliki uang cukup, ia membeli sebuah rumah daerah Quwereh. Di kota itu ia menikah lagi dengan wanita dari keluarga Syekh Abu Bakar bin Salim setelah istri pertamanya meninggal dunia. Pernikahan kedua ini membuahkan beberapa putra dan putri diantaranya: Muhammad, Musthafa dan Sholeh.
Dari kota inilah, nama Habib Ahmad bin Muhammad al-Muhdor terus menjulang. Cahaya ilmu dan akhlaknya menerangi negeri Hadramaut, bahkan seluruh persada bumi. la dicintai kaum muslimin. Kalam-kalamnya mudah diterima lubuk hati. Dan tersingkaplah nubuat yang pernah ditorehkan Syekh Umar Ba­makhramah.
Ya, beratus tahun sebelumnya, Syekh Umar menulis untaian syair yang mengilustrasikan sosok Habib Ahmad alMuhdor. Dilukiskannya perangai Habib Ahmad beserta tempat-tempat yang pernah ia singgahi. Habib Hasan bin Sholeh al-Bahr, salah satu guru Habib Ahmad, ketika membaca syair itu, ia berseru kepada orang-orang sekitarnya, “Katakan kepada Ahmad al-Muhdor bahwa Syekh Bamakhramah mengajaknya bicara.”
Selain berilmu tinggi, Habib Ahmad dikenal keras dalam mujahadah. Jauh hari ia telah menyiapkan liang kuburnya sendiri yang ditempatkan di sebelah masjidnya. la meluangkan waktu berbaring di liang itu setiap hari sembari membaca Alquran. Tercatat tujuh ribu kali khataman ia selesaikan di dalam kubur itu sebelum akhirnya meninggal dunia. Namun ia juga pribadi yang unik. Di balik kekhu­syuannya itu ia selalu menampakkan diri sebagai sosok yang jenaka. la suka bergurau. Gurauannya bahkan kadang keterlaluan. Pernah ia menyesal dan berniat takkan bergurau lagi. Akan tetapi ia langsung ditegur Rasulullah SAW dalam mimpi agar me­neruskan kebiasaannya bergurau.
Hati Habib Ahmad memiliki per­tautan yang erat dengan Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra. la menulis kumpulan syair yang memu­ji ibunda Az-Zahra itu. Hikayat di atas adalah salah satu bukti. Dan akhirnya ia menyusul ibundanya itu pada tahun 1304 H, dalam usia 87 ta­hun. la meninggalkan beberapa putra yang shaleh. Salah satunya adalah Habib Muhammad al-Muhdor, Bon­dowoso, seorang ulama yang pernah meramaikan belantika dakwah di Nu­santara ini. la juga meninggalkan beberapa murid yang hebat. Dian­taranya: Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur dan Habib Idrus bin Umar al-Habsyi.
Foto : Muhammad Bin Ahmad Al Muhdhor Bondowoso Anaknya Habib Ahmad Al Muhdhor Qweireh Hadramauth

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Advertisement

Advertisement