Jual beli dengan cara titip (As-salam)
البيع
الســـــــلم
JUAL BELI SALAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dengan semakin berkembangnya pembahasan tentang
ekonomi Islam, tuntutan untuk memahami transaksi praktis yang terjadi dan
sesuai dengan Islam pun terus meningkat. Maka dari itu kajian mengenai
akad-akad yang digunakan dalam tranaksi Islam (Mu’amalah Islamiyah) terus
digiatkan di berbagi universitas lewat program studi khusus maupun
seminar-seminar. Walaupun fiqih mu’amalah telah dipelajari lansung dari
kitab-kitab fiqih di berbagai pesantren, namun kajiannya secara ekonomi modern
baru mulai belakangan ini.
Dari latar belakang yang telah dipaparkan tadi,
penulis mengangkat judul pembahasan “Perbedaan antara jual beli salam dengan
istisna’”. Dengan ini penulis bermaksud kita dapat memahami dua macam akad yang
hampir mirip dari segi praktek. Dua akad ini terjadi ketika seseorang
menginginkan suatu barang dengan karakteristik tertentu untuk membelinya,
sedangkan barang tersebut belum ada saat terjadi akad. Adakah akad seperti ini
dalam Islam, bagaimana rukun dan syaratnya, inilah yang menjadi pembahasan kami
dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Berasrkan
latar belakang penulisan diatas dapat kita buat rumusan masalah sebagai
berikut:
1) Apa definisi
dari jual beli salam dan istisna’
2) Apa landasan
syari’ah kedua akad tersebut
3) Apa rukun
dan syarat kedua akad tersebut
4) Apa
perbedaan antara jual beli salam dan istisna’
C. Tujuan Penulisan
Dengan
adanya makalah ini penulis berharap bisa memberikan sumbangan terhadap kajian
mu’amalah Islam sehingga bisa bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan.
Demikian juga penulis berharap bisa menambah pengetahuan penulis tentang tema
yang penulis bahas ini langsung dari kitab-kitab yang ada.
BAB II
LANDASAN
TEORI
Sebagaimana kita ketahui, syarat
wajib sahnya suatu akad adalah adanya barang yang diperjual belikan. Sedangkan
dalam memnuhi kebutuhannya, manusia terkadang tidak bisa menemukanya langsung
tersedia. Maka saat itu seseorang akan memesan kepada orang lain untuk
membuatkannya dalam bentuk pemesanan. Dia akan mengemukakan karekteristik
barang yang diinginkan. Dengan begitu seseorang akan berhutang ketika melakukan
jual beli. Atau si penjual berhutang barang yang belum ada saat terjadinya
akad.
Dengan begitu yang menjadi landasan dari masalah ini
adalah ayat hutang piutang dalam Al-Quran surat Al-Baqarah: 282. Allah ta’ala
berfirman:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179] tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah
penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih
adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah
itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika
kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini
menjelaskan ketika kita melakukan trnsaksi hutang, hendaklah ada pihak yang
menctat untuk menhindari terjadinya perselisihan di kemudian hari.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Jual Beli Salam
1) Pengertian
Diantara
bukti kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam,
yaitu akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan
dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu,
dikarenakan dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada
unsur tipu-menipu atau ghoror dan untung-untungan (spekulasi).
Bai’ salam
adalah akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan masih belum ada dan
akan diserahkan secara tangguh sementara pembayarannya dilakukan secara tunai
di muka. Namun spesifikasi dan harga barang pesanan harus telah
disepakati di awal akad.
Akad salam
adalah akad yang sering digunakan oleh perbankan syari’ah dalam bentuk
pertukaran jual beli. Akad ini terjadi ketika bank melakukan pembiayaan kepada
sebuah perusahaan manufaktur, petani , atau produsen barang lainnya. Biasanya
pembiayaan ini dibatasi jangka waktu yang relative pendek. Bank akan bertindak
sebagai pembeli dan produsen sebagai pembeli.
Dalam hal
ini bank biasanya akan menjualnya lagi kepada pembeli kedua dengan akad
salam. Maka dalam praktiknya pembeli (nasabah) akan mengajukan
spesifikasi barang yang diinginkan kepada bank. Kemudian bank akan memesan kan
barang tersebut kepada produsen dalam bentuk pembiayaan. Maka disini kita kenal
istilah Salam Paralel antara pembeli kedua, bank, dan produsen.
Akad salam
menguntungkan kedua belah pihak yang melakukan transaksi, dan sangat jauh dari
praktek riba. Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa:
1. Jaminan
untuk mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia
inginkan.
2. Sebagaimana
ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan
dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut.
Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli, diantaranya:
1. Penjual
mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal,
sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar
bunga. Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang
pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.
2. Penjual
memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya
tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup
lama.
2) Landasan
Syari’ah
Akad bai’ salam diperbolehkan dalam akad jual
beli. Berikut penulis paparkan dalil-dalil (landasan syari’ah)yang terdapat
dalam Al-Quran, Sunnah, dan pendapat ulama.
a.
Dalam surat
Al-Baqarah ayat 282 Allah telah menjelaskan tata cara mu’amalah dalam hutang
piutang.
Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[179]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar……
Dari ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah telah
membolehkan melakukan akad jual beli secara tempo. Maka hendaknya melakukan
pencatatan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari.
Mujahid dan Ibnu Abbas berkata, ayat ini diturunkan
oleh Allah untuk memberikan legalisasi akad salam yang dilakukan secara tempo,
Allah telah memberikan izin dan menghalalkannya, kemudian Ibnu Abbas membacakan
ayat tersebut (Ibnu Katsir, jilid I, hal. 500)
b. Barang siapa
melakukan salam, hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui” Hadits riwayat Imam BUkhari dari
Ibnu Abbas merupakan dalil yang secara sharih menjelaskan tentng keabsahan jual
beli salam.
Berdasrkan atas ketentuan dalam hadits ini, dalam
praktik jual bei salam harus ditentukan spesifikasi barang secara jelas, baik
dari sisi kualitas, kuantitas, ataupun waktu penyerahannya, sehingga tidak
terjadi perselisihan.
c.
Sahabat Ibnu
Abbas r.a berkata:
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
Saya bersaksi bahwa jual-beli As Salaf yang terjamin hingga tempo yang ditentukan telah dihalalkan dan diizinkan Allah dalam Al Qur'an, Allah Ta'ala berfirman (artinya): "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya." (Riwayat As Syafi'i, At Thobary, Abdurrazzaq, Ibnu Abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqy, dan dishohihkan oleh Al Albany)
d. Kesepakatan
ulama (ijma) akan diperbolehkannya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu
Munzir yang mengatakan bahwa, semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli
salam diperbolehkan. (Zuhaili, 1989, hal. 568)
3) Rukun dan
Syarat jual beli Salam
Walau
demikian, sebagaimana dapat dipahami dari hadits di atas, jual-beli salam
memiliki beberapa ketentuan (persyaratan) yang harus diindahkan.
Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan untuk mewujudkan maksud dan hikmah
dari disyari'atkannya salam, serta menjauhkan akad salam dari unsur riba dan
ghoror (untung-untungan/spekulasi) yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam
jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:
a.
Pembeli (muslam)
b. Penjual (muslam
ilaih)
c.
Modal / uang
(ra’sul maal)
Modal
mempunyai syarat tertentu pula, yaitu:
-
Jelas
spesifikasinya, baik jenis, kualitas, dan jumlahnya.
-
Harus
diserahkan saat terjadinya akad.
d. Barang (muslam
fiih).
Barang yang
menjadi obyek transaksi harus telah terspesifikasi secara jelas dan dapat
diakui sebagai hutang.
Sedangkan
syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
a. Pembayaran
dilakukan dimuka (kontan)
b. Dilakukan
pada barang-barang yang memiliki criteria jelas
c. Penyebutan
criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
d. Penentuan
tempo penyerahan barang pesanan
e. Barang
pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
f. Barang Pesanan
Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha