Biografi Syeikh Siti Jenar
Bagi anda
yang suka ilmu ketarikatan tidak ada salahnya jika mampir sejenak untu membaca
artikel berikut ini :
Syeikh siti Jenar ( Lemah Abang)
Syekh Siti Jenar, dikenal juga dalam banyak nama lain,
antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah
seorang tokoh yang dianggap Sufi dan juga salah satu penyebar agama Islam di
pulau Jawa yang sangat kontroversial di Jawa, Indonesia. Tidak ada yang
mengetahui secara pasti asal-usulnya, di masyarakat, terdapat banyak varian
cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya
sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh
Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam
itu sendiri. Ajaran – ajarannya tertuang dalam pupuh, yaitu karya sastra
yang dibuatnya. Meskipun demikian, ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti
Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup
sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo. Pertentangan praktek sufi
Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal
ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Konsep dan
Ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu.
Mirip dengan
konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah
perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan
dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus
dilewati melalui 4 tahapan ;
1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll);
2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu;
3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan
4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll);
2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu;
3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan
4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan
tersebut maka tahapan dibawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa
dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan
oleh Syech Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan
tahun pasca wafatnya sang Syech. Para ulama mengkhawatirkan adanya
kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syech Siti Jenar
kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan
adalah pada tingkatan ’syariat’. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki
tahap ‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’kepada Allah (kecintaan yang sangat kepada
ALLAH).
Oleh
karenanya, ajaran yang disampaikan oleh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan
kata ‘SESAT’. Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus
berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun,
setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing –
masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda – beda dan menjalankan
ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing – masing
pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya
yang paling benar.Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut
ikhlas.
Manunggaling
Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya. Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya. Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia
“Ketika
Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan
kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad;
71-72)”.
Dengan
demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan
terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid
Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia
bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’
Hamamayu
Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi. Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi. Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi
agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran
ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat.
Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar
yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan
Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi
panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak.
Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa
Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada. Para Wali dan pihak kerajaan
sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan
telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh
Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya
di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti
Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin
membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan)
sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya
menghendaki. Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang
benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo
pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang misterius seperti yang
dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali
Kisah pada
saat pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
Pesan/
Dialog Syekh Siti Jenar ( Syekh Lemah Abang ) sblm wafat.
Syekh Siti Jenar, berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar, beliau menetap di Pengging Jawa Timur, disana Syekh Siti Jenar mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging ( Kebo Kenongo ) dan masyarakat, tetapi para Wali Jawadwipa/ Wali Songo tidak menyetujui alirannya, oleh karena itulah Syekh Siti Jenar dihukum mati th. 1506 M, dan dimakamkan di Anggaraksa alias Graksan, Cirebon sekarang ini. Sebelum wafat, Syekh Siti Jenar sempat berpesan kepada para dewan wali/ Wai Songo bahwa “ Kelak pada suatu zaman akhir, kalau ada kerbo bule mata kucing ( orang Belanda ) naik dari laut, itulah tandanya musibah kepada anak cucu anda,” katanya, sedang kenyataannya Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun dan banyak menyengsarakan rakyat Indonesia.
Syekh Siti Jenar, berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar, beliau menetap di Pengging Jawa Timur, disana Syekh Siti Jenar mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging ( Kebo Kenongo ) dan masyarakat, tetapi para Wali Jawadwipa/ Wali Songo tidak menyetujui alirannya, oleh karena itulah Syekh Siti Jenar dihukum mati th. 1506 M, dan dimakamkan di Anggaraksa alias Graksan, Cirebon sekarang ini. Sebelum wafat, Syekh Siti Jenar sempat berpesan kepada para dewan wali/ Wai Songo bahwa “ Kelak pada suatu zaman akhir, kalau ada kerbo bule mata kucing ( orang Belanda ) naik dari laut, itulah tandanya musibah kepada anak cucu anda,” katanya, sedang kenyataannya Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun dan banyak menyengsarakan rakyat Indonesia.
Syekh Siti
Jenar mempunyai efek khusus yang kita anggap sebagai “insiden” diantara
pemuka-pemuka Agama Islam pada abad ke 16 M, lambat laun ketika itu banyak
orang-orang yang mengaji tasawuf/ hakiki, misalnya : perihal ilmu bedanya
antara Kawula dan Gusti dan Tunggalnya Kawula dan Gusti. Atas tuduhan Syekh
Maulana Maghribi, bahwa Syekh Siti Jenar mengaku dirinya ALLAH, dan oleh Sunan
kalijogo ditanyakan apakah benar tuduhan tersebut, beliau mengakuinya benar
adanya, maka dewan wali dalam sidangnya sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi si tertuduh, dan Sekh Siti Jenar menerima putusan tersebut agar segera
dilaksanakan, dan yang harus melaksanakan keputusan tersebut yaitu Sunan Kudus
dengan keris Ki Kantanaga yang diberikan oleh Sunan Gunung Jati.
Sebelum
eksekusi berlangsung, terjadilah kejadian yang sangat mencengangkan masyarakat
karena memang disaksikan secara terbuka dihalaman masjid Agung Cirebon, dan
dialog tersebut diantaranya sbb : Menempelnya keris Ki Kantanaga ke jasad Syekh
Siti Jenar, terdengar suara yang sangat keras seprti beradunya kedua besi yang
sangat besar, lalu para Wali saling tersenyum, sambil berkata,” Masa ada ALLAH
seperti besi ?”. Syekh Siti Jenar menjawab,” Coba, tusuklah sekali lagi,”
Ketika
tusukan kedua, Syekh Siti Jenar menghilang tidak ada ujud jasadnya. Para Wali
berkata kembali,” Masa matinya ALLAH seperti syaitan,?.Secepat kilat Syekh Siti
Jenar menampakan diri lagi, sambil berkata, “ Coba tusuk sekali lagi?”
Ketika tusukan ketiga, Syekh Siti Jenar membujur tergolek di lantai masjid, dari lukanya keluar darah merah, dan para Wali berkata kembali,” Masa matinya ALLAH seperti kambing.? Syekh Siti Jenar bangun hidup kembali tanpa luka dan berkata,” Coba tusuk sekali lagi?”.
Ketika tusukan ketiga, Syekh Siti Jenar membujur tergolek di lantai masjid, dari lukanya keluar darah merah, dan para Wali berkata kembali,” Masa matinya ALLAH seperti kambing.? Syekh Siti Jenar bangun hidup kembali tanpa luka dan berkata,” Coba tusuk sekali lagi?”.
Kemudian
pada tusukan keempat , Syekh Siti Jenar rebah, mati dan dari lukanya mengalir
darah putih, seketika itu para wali berkata kembali,” Masa matinya ALLAH
seperti cacing!”, karena berkali-kali tusukan selalu mati, hidup, mati, hidup,
maka, Syekh Siti Jenar berkata, “ Lalu harus bagaimana mati saya menurut
keinginan anda?”dan dijawab oleh seluruh Wali,” Biasa!”, seperti orang tidur
badannya lemas, begitulah mati bagi seorang Insanul kamil.
Sesudah itu
ditusuklah jasadnya dan wafatlah Syekh Siti Jenar seperti umumnya manusia,
jasadnya mengecil sebesar kuncup bunga melati dan baunya semerbak mewangi bau
harumnya melati.
Wallahuallam……
Wallahuallam……
SYEKH SITI
JENAR
Saat
Pemerintahan Kerajaan Islam Sultan Bintoro Demak I (1499)
Kehadiran
Syekh Siti Jenar ternyata menimbulkan kontraversi, apakah benar ada atau hanya
tokoh imajiner yang direkayasa untuk suatu
kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran
tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat
adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
kepentingan politik. Tentang ajarannya sendiri, sangat sulit untuk dibuat kesimpulan apa pun, karena belum pernah diketemukan ajaran
tertulis yang membuktikan bahwa itu tulisan Syekh Siti Jenar, kecuali menurut para penulis yang identik sebagai penyalin yang berakibat
adanya berbagai versi. Tapi suka atau tidak suka, kenyataan yang ada menyimpulkan bahwa Syekh Siti Jenar dengan falsafah atau faham dan ajarannya sangat terkenal di berbagai kalangan Islam khususnya orang Jawa, walau dengan pandangan berbeda-beda.
Pandangan
Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai
kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang
mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat
Wali Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang
bersendikan sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang
didukung oleh para Wali.
Siti Jenar
dianggap telah merusakketenteraman dan melanggar peraturan kerajaan, yang
menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak
kelestarian dan keselamatan sesama manusia. Oleh karena itu, atas legitimasi
dari Sultan Demak, diutuslah beberapa Wali ke tempat Siti Jenar di suatu daerah
(ada yang mengatakan desa Krendhasawa), untuk membawa Siti Jenar ke Demak atau
memenggal kepalanya. Akhirnya Siti Jenar wafat (ada yang mengatakan dibunuh,
ada yang mengatakan bunuh diri).
Akan tetapi
kematian Siti Jenar juga bisa jadi karena masalah politik, berupa perebutan
kekuasaan antara sisa-sisa Majapahit non
Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Islam yang tidak menyingkir ke timur dengan kerajaan Demak, yaitu antara salah satu cucu Brawijaya V yang bernama Ki Kebokenongo/Ki Ageng Pengging dengan salah satu anak Brawijaya V yang bernama Jin Bun/R. Patah yang memerintah kerajaan Demak dengan gelar Sultan Bintoro Demak I, dimana Kebokenongo yang beragama Hindu-Budha beraliansi dengan Siti Jenar yang beragama Islam.
Nama lain
dari Syekh Siti Jenar antara lain Seh Lemahbang atau Lemah Abang, Seh Sitibang,
Seh Sitibrit atau Siti Abri, Hasan Ali Ansar dan Sidi Jinnar. Menurut
Bratakesawa dalam bukunya Falsafah Siti Djenar (1954) dan buku Wejangan Wali
Sanga himpunan Wirjapanitra, dikatakan bahwa saat Sunan Bonang memberi
pelajaran iktikad kepada Sunan Kalijaga di tengah perahu yang saat bocor
ditambal dengan lumpur yang dihuni cacing lembut, ternyata si cacing mampu dan
ikut berbicara sehingga ia disabda Sunan Bonang menjadi manusia, diberi nama
Seh Sitijenar dan diangkat derajatnya sebagai Wali.
Dalam naskah
yang tersimpan di Musium Radyapustaka Solo, dikatakan bahwa ia berasal dari
rakyat kecil yang semula ikut mendengar saat
Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie
(1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri.
Sunan Bonang mengajar ilmu kepada Sunan kalijaga di atas perahu di tengah rawa. Sedangkan dalam buku Sitijenar tulisan Tan Koen Swie
(1922), dikatakan bahwa Sunan Giri mempunyai murid dari negeri Siti Jenar yang kaya kesaktian bernama Kasan Ali Saksar, terkenal dengan sebutan Siti Jenar (Seh Siti Luhung/Seh Lemah Bang/Lemah Kuning), karena permohonannya belajar tentang makna ilmu rasa dan asal mula kehidupan tidak disetujui Sunan Bonang, maka ia menyamar dengan berbagai cara secara diam-diam untuk mendengarkan ajaran Sunan Giri.
Namun
menurut Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon (1985) dijelaskan bahwa
Syeh Lemahabang berasal dari Bagdad beraliran Syi’ah Muntadar yang menetap di
Pengging Jawa Tengah dan mengajarkan agama kepada Ki Ageng Pengging
(Kebokenongo) dan masyarakat, yang karena alirannya ditentang para Wali di Jawa
maka ia dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Sang Cipta Rasa (Masjid Agung
Cirebon) pada tahun 1506 Masehi dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung
Jati dan dimakamkan di Anggaraksa/Graksan/Cirebon.
Informasi
tambahan di sini, bahwa Ki Ageng Pengging (Kebokenongo) adalah cucu Raja
Brawijaya V (R. Alit/Angkawijaya/Kertabumi yang bertahta tahun 1388), yang
dilahirkan dari putrinya bernama Ratu Pembayun (saudara dari Jin Bun/R.
Patah/Sultan Bintoro Demak I yang bertahta tahun 1499) yang dinikahi Ki
Jayaningrat/Pn. Handayaningrat di Pengging. Ki Ageng Pengging wafat dengan
caranya sendiri setelah kedatangan Sunan Kudus atas perintah Sultan Bintoro
Demak I untuk memberantas pembangkang kerajaan Demak. Nantinya, di tahun 1581,
putra Ki Ageng Pengging yaitu Mas Karebet, akan menjadi Raja menggantikan
Sultan Demak III (Sultan Demak II dan III adalah kakak-adik putra dari Sultan
Bintoro Demak I) yang bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijoyo Pajang
I.
Keberadaan
Siti Jenar diantara Wali-wali (ulama-ulama suci penyebar agama Islam yang
mula-mula di Jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa penulis ia tidak
sebagai Wali. Mana yang benar, terserah pendapat masing-masing. Sekarang mari
kita coba menyoroti
falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
falsafah/faham/ajaran Siti Jenar.
Konsepsi
Ketuhanan, Jiwa, Alam Semesta, Fungsi Akal dan Jalan Kehidupan dalam pandangan
Siti Jenar dalam buku Falsafah Siti Jenar
tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
tulisan Brotokesowo (1956) yang berbentuk tembang dalam bahasa Jawa, yang sebagian merupakan dialog antara Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, yaitu kira-kira:
Siti Jenar
yang mengaku mempunyai sifat-sifat dan sebagai dzat Tuhan, dimana sebagai
manusia mempunyai 20 (dua puluh) atribut/sifat
yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
yang dikumpulkan di dalam budi lestari yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya;
Hyang Widi
sebagai suatu ujud yang tak tampak, pribadi yang tidak berawal dan berakhir,
bersifat baka, langgeng tanpa proses evolusi,
kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
kebal terhadap sakit dan sehat, ada dimana-mana, bukan ini dan itu, tak ada yang mirip atau menyamai, kekuasaan dan kekuatannya tanpa sarana, kehadirannya dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat diinterpretasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu, mengetahui keadaan jauh diatas kemampuan pancaindera, ini semua ada dalam dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan, Hyang Suksma ada dalam dirinya;
Siti Jenar
menganggap dirinya inkarnasi dari dzat yang luhur, bersemangat, sakti, kebal
dari kematian, manunggal dengannya, menguasai ujud penampilannya, tidak
mendapat suatu kesulitan, berkelana kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu,
tanpa sakit dan lapar, tiada menyembah Tuhan yang lain kecuali setia terhadap
hati nurani, segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat
Allah;
Segala
sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak dzat Allah, maha suci,
sholat 5 (lima) waktu dengan memuji dan dzikir adalah
kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
kehendak pribadi manusia dengan dorongan dari badan halusnya, sebab Hyang Suksma itu sebetulnya ada pada diri manusia;
Wujud
lahiriah Siti jenar adalah Muhammad, memiliki kerasulan, Muhammad bersifat
suci, sama-sama merasakan kehidupan, merasakan
manfaat pancaindera;
manfaat pancaindera;
Kehendak
angan-angan serta ingatan merupakan suatu bentuk akal yang tidak kebal atas
kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi kesejahteraan pribadi,
bersifat dengki memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka disanjung, sombong
yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya;
Bumi langit
dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia, jasad busuk bercampur debu
menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah dan air serta api
kembali sebagai asalnya, menjadi baru;
Dalam buku
Suluk Wali Sanga tulisan R. Tanojo dikatakan bahwa :
Tuhan itu
adalah wujud yang tidak dapat di lihat dengan mata, tetapi dilambangkan seperti
bintang bersinar cemerlang yang berwujud
samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
samar-samar bila di lihat, dengan warna memancar yang sangat indah;
Siti Jenar
mengetahui segala-galanya sebelum terucapkan melebihi makhluk lain ( kawruh
sakdurunge minarah), karena itu ia juga mengaku
sebagai Tuhan;
sebagai Tuhan;
Sedangkan
mengenai dimana Tuhan, dikatakan ada di dalam tubuh, tetapi hanya orang
terpilih (orang suci) yang bisa melihatnya, yang
mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
mana Tuhan itu (Maha Mulya) tidak berwarna dan tidak terlihat, tidak bertempat tinggal kecuali hanya merupakan tanda yang merupakan wujud Hyang Widi;
Hidup itu
tidak mati dan hidup itu kekal, yang mana dunia itu bukan kehidupan (buktinya
ada mati) tapi kehidupan dunia itu kematian,
bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
bangkai yang busuk, sedangkan orang yang ingin hidup abadi itu adalah setelah kematian jasad di dunia;
Jiwa yang
bersifat kekal/langgeng setelah manusia mati (lepas dari belenggu badan
manusia) adalah suara hati nurani, yang merupakan
ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
ungkapan dari dzat Tuhan dan penjelmaan dari Hyang Widi di dalam jiwa dimana raga adalah wajah Hyang Widi, yang harus ditaati dan dituruti perintahnya.
Dalam buku
Bhoekoe Siti Djenar karya Tan Khoen Swie (1931) dikatakan bahwa :
Saat diminta
menemui para Wali, dikatakan bahwa ia manusia sekaligus Tuhan, bergelar Prabu
Satmata;
Ia
menganggap Hyang Widi itu suatu wujud yang tak dapat dilihat mata, dilambangkan
seperti bintang-bintang bersinar cemerlang, warnanya
indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri
dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud
mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran,
kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
indah sekali, memiliki 20 (dua puluh) sifat (antara lain : ada, tak bermula, tak berakhir, berbeda dengan barang yang baru, hidup sendiri
dan tanpa bantuan sesuatu yang lain, kuasa, kehendak, mendengar, melihat, ilmu, hidup, berbicara) yang terkumpul menjadi satu wujud
mutlak yang disebut DZAT dan itu serupa dirinya, jelmaan dzat yang tidak sakit dan sehat, akan menghasilkan perwatakan kebenaran,
kesempurnaan, kebaikan dan keramah-tamahan;
Tuhan itu
menurutnya adalah sebuah nama dari sesuatu yang asing dan sulit dipahami, yang
hanya nyata melalui kehadiran manusia dalam kehidupan duniawi.
Menurut buku
Pantheisme en Monisme in de Javaavsche tulisan Zoetmulder, SJ.(1935) dikatakan
bahwa Siti Jenar memandang dalam
kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati. Namun banyak ditafsirkan salah oleh para pengikutnya, yang berusaha menjalani jalan menuju kehidupan (ngudi dalan gesang) dengan membuat keonaran dan keributan dengan cara saling membunuh, demi mendapatkan jalan pelepasan dari kematian.
Siti Jenar
yang berpegang pada konsep bahwa manusia adalah jelmaan dzat Tuhan, maka ia
memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos. Manusia
terdiri dari jiwa dan raga yang mana jiwa sebagai penjelmaan dzat Tuhan dan
raga adalah bentuk luar dari jiwa dengan dilengkapi pancaindera maupun berbagai
organ tubuh. Hubungan jiwa dan raga berakhir setelah manusia mati di dunia,
menurutnya sebagai lepasnya manusia dari belenggu alam kematian di dunia, yang
selanjutnya manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian.
Siti Jenar memandang
bahwa pengetahuan tentang kebenaran Ketuhanan diperoleh manusia bersamaan
dengan penyadaran diri manusia itu sendiri, karena proses timbulnya pengetahuan
itu bersamaan dengan proses munculnya kesadaran subyek terhadap obyek (proses
intuitif).
Menurut
Widji Saksono dalam bukunya Al-Jami’ah (1962) dikatakan bahwa wejangan
pengetahuan dari Siti jenar kepada kawan-kawannya ialah tentang penguasaan
hidup, tentang pintu kehidupan, tentang tempat hidup kekal ,tak berakhir di
kelak kemudian hari, tentang hal mati yang dialami di dunia saat ini dan
tentang kedudukannya yang Mahaluhur. Dengan demikian tidaklah salah jika
sebagian orang ajarannya merupakan ajaran kebatinan dalam artian luas, yang
lebih menekankan aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah, sehingga ada juga
yang menyimpulkan bahwa konsepsi tujuan hidup manusia tidak lain sebagai
bersatunya manusia dengan Tuhan
(Manunggaling Kawula-Gusti).
(Manunggaling Kawula-Gusti).
Dalam
pandangan Siti Jenar, Tuhan adalah dzat yang mendasari dan sebagai sebab adanya
manusia, flora, fauna dan segala yang ada,
sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
sekaligus yang menjiwai segala sesuatu yang berwujud, yang keberadaannya tergantung pada adanya dzat itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra Tuhan/Hyang Widi.
Namun dari
berbagai penulis dapat diketahui bahwa bisa jadi benturan kepentingan antara
kerajaan Demak dengan dukungan para Wali yang merasa hegemoninya terancam yang
tidak hanya sebatas keagamaan (Islam), tapi juga dukungan nyata secara politis
tegaknya pemerintahan Kesultanan di tanah Jawa (aliansi dalam bentuk Sultan
mengembangkan kemapanan politik sedang para Wali menghendaki perluasan wilayah
penyebaran Islam).
Dengan
sisa-sisa pengikut Majapahit yang tidak menyingkir ke timur dan beragama
Hindu-Budha yang memunculkan tokoh kontraversial beserta ajarannya yang
dianggap “subversif” yaitu Syekh Siti Jenar (mungkin secara diam-diam Ki
Kebokenongo hendak mengembalikan kekuasaan politik sekaligus keagamaan
Hindu-Budha sehingga bergabung dengan Siti jenar).
Bisa jadi
pula, tragedi Siti Jenar mencerminkan perlawanan kaum pinggiran terhadap
hegemoni Sultan Demak yang memperoleh dukungan dan legitimasi spiritual para
Wali yang pada saat itu sangat berpengaruh. Disini politik dan agama
bercampur-aduk, yang mana pasti akan muncul pemenang, yang terkadang tidak
didasarkan pada semangat kebenaran.
Kaitan
ajaran Siti Jenar dengan Manunggaling Kawula-Gusti seperti dikemukakan di atas,
perlu diinformasikan di sini bahwa sepanjang
tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir.Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
tulisan mengenai Siti Jenar yang diketahui, tidak ada secara eksplisit yang menyimpulkan bahwa ajarannya itu adalah Manunggaling Kawula-Gusti, yang merupakan asli bagian dari budaya Jawa. Sebab Manunggaling Kawula-Gusti khususnya dalam konteks religio spiritual, menurut Ir.Sujamto dalam bukunya Pandangan Hidup Jawa (1997), adalah pengalaman pribadi yang bersifat “tak terbatas” (infinite) sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata untuk dimengerti orang lain. Seseorang hanya mungkin mengerti dan memahami pengalaman itu kalau ia pernah mengalaminya sendiri.
Dikatakan
bahwa dalam tataran kualitas, Manunggaling Kawula-Gusti adalah tataran yang
dapat dicapai tertinggi manusia dalam meningkatkan kualitas dirinya. Tataran
ini adalah Insan Kamilnya kaum Muslim, Jalma Winilisnya aliran kepercayaan
tertentu atau Satriyapinandhita dalam konsepsi Jawa pada umumnya, Titik
Omeganya Teilhard de Chardin atau Kresnarjunasamvadanya Radhakrishnan. Yang
penting baginya bukan pengalaman itu, tetapi kualitas diri yang kita
pertahankan secara konsisten dalam kehidupan nyata di masyarakat.
Pengalaman
tetaplah pengalaman, tak terkecuali pengalaman paling tinggi dalam bentuk
Manunggaling kawula Gusti, yang tak lebih pula dari memperkokoh laku. Laku atau
sikap dan tindakan kita sehari-hari itulah yang paling penting dalam hidup ini.
Kalau
misalnya dengan kekhusuk-an manusia semedi malam ini, ia memperoleh pengalaman
mistik atau pengalaman religius yang disebut Manunggaling Kawula-Gusti, sama
sekali tidak ada harga dan manfaatnya kalau besok atau lusa lantas menipu atau
mencuri atau korupsi atau melakukan tindakan-rindakan lain yang tercela. Kisah
Dewa Ruci adalah yang menceritakan kejujuran dan keberanian membela kebenaran,
yang tanpa kesucian tak mungkin Bima berjumpa Dewa Ruci.
Kesimpulannya,
Manunggaling Kawula-Gusti bukan ilmu melainkan hanya suatu pengalaman, yang
dengan sendirinya tidak ada masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada
ketentuan/aturan tertentu, boleh percaya atau tidak percaya.
Kita akhiri
kisah singkat tentang Syekh Siti Jenar, dengan bersama-sama merenungkan kalimat
berikut yang berbunyi : “Janganlah Anda mencela keyakinan/kepercayaan orang
lain, sebab belum tentu kalau keyakinan/kepercayaan Anda itu yang benar
sendiri”.*
Sidang para
Wali
Sunan Giri
membuka musyawarah para wali. Dalam musyawarah itu ia mengajukan masalah Syeh
Siti Jenar. Ia menjelaskan bahwa Syeh Siti Jenar telah lama tidak kelihatan
bersembahyang jemaah di masjid. Hal ini bukanlah perilaku yang normal. Syeh
Maulana Maghribi berpendapat bahwa itu akan menjadi contoh yang kurang baik dan
bisa membuat orang mengira wali teladan meninggalkan syariah nabi Muhammad.
Sunan Giri kemudian mengutus dua orang santrinya ke gua tempat syeh Siti Jenar
bertapa dan memintanya untuk datang ke masjid. Ketika mereka tiba,mereka
diberitahu hanya ALLAH yang ada dalam gua.Mereka kembali ke masjid untuk
melaporkan hal ini kepada Sunan Giri dan para wali lainnya.Sunan Giri kemudian
menyuruh mereka kembali ke gua dan menyuruh ALLAH untuk segera menghadap para
wali. Kedua santri itu kemudian diberitahu, ALLAH tidak ada dalam gua, yang ada
hanya Syeh Siti Jenar.
Mereka
kembali kepada Sunan Giri untuk kedua kalinya. Sunan Giri menyuruh mereka untuk
meminta datang baik ALLAH maupun Syeh Siti Jenar. Kali ini Syeh Siti Jenar
keluar dari gua dan dibawa ke masjid menghadap para wali. Ketika tiba Syeh Siti
Jenar memberi hormat kepada para wali yang tua dan menjabat tangan wali yang
muda. Ia diberitahu bahwa dirinya diundang kesini untuk menghadiri musyawarah
para wali tentang wacana kesufian. Didalam musyawarah ini Syeh Siti Jenar
menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH
yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan
antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya.
antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya.
Sunan Giri
menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa
membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa
ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang
bodoh dan kafir.Dari percakapan Siti Jenar dan Sunan Giri itu kelihatannya
bahwa yang menjadi masalah substansi ajaran Syeh Siti Jenar, tetapi penyampaian
kepada masyarakat luas. Menurut Sunan Giri paham Syeh Siti Jenar belum boleh
disampaikan kepada masyarakat luas sebab mereka bisa bingung, apalagi saat itu
masih banyak orang yang baru masuk islam, karena seperti disampaika di muka
bahwa Syeh Siti Jenar hidup dalam masa peralihan dari kerajaan Hindu kepada
kerajaan Islam di Jawa pada akhir abad ke 15 M. Percakapan Syeh Siti Jenar dan
Sunan Giri juga diceritakan dalam buku Siti Jenar terbitan Tan Koen Swie.
Pedah punapa
mbibingung, Ngangelaken ulah ngelmi,
NJeng Sunan Giri ngandika, Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan, Wong wadheh ambuka wadi.
NJeng Sunan Giri ngandika, Bener kang kaya sireki,
Nanging luwih kaluputan, Wong wadheh ambuka wadi.
Telenge bae
pinulung, Pulunge tanpa ling aling,
Kurang waskitha ing cipta, Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha, Tan saben wong anampani.
Kurang waskitha ing cipta, Lunturing ngelmu sajati,
Sayekti kanthi nugraha, Tan saben wong anampani.
Artinya:
Syeh Siti
Jenar berkata, untuk apa kita membuat bingung, untuk apa kita mempersulit ilmu?
Sunan Giri berkata, benar apa yang anda ucapkan, tetapi anda bersalah
besar,karena berani membuka ilmu rahasia secara tidak semestinya.
Hakikat
Tuhan langsung diajarkan tanpa ditutup tutupi. Itu tidaklah bijaksana.
Semestinya ilmu itu hanya dianugerahkan kepada mereka yang benar-benar telah
matang. Tak boleh diberikan begitu saja kepada setiap orang.
Ngrame tapa
ing panggawe Iguh dhaya pratikele Nukulaken nanem bibit Ono saben galengane
Mili banyu
sumili Arerewang dewi sri Sumilir wangining pari Sêrat Niti Mani
. . . Wontên
malih kacarios lalampahanipun Seh Siti Jênar, inggih Seh Lêmah Abang.
Pepuntoning tekadipun murtad ing agami, ambucal
dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
dhatêng sarengat. Saking karsanipun nêgari patrap ing makatên wau kagalih ambêbaluhi adamêl risaking pangadilan, ingriku Seh Siti Jênar anampeni hukum kisas, têgêsipun hukuman pêjah.
Sarêng jaja
sampun tinuwêg ing lêlungiding warastra, naratas anandhang brana, mucar
wiyosing ludira, nalutuh awarni seta. Amêsat
kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.
kuwanda muksa datan ana kawistara. Anulya ana swara, lamat-lamat kapiyarsa, surasa paring wasita.
Kinanti
Wau kang
murweng don luhung, atilar wasita jati, e manungsa sesa-sesa, mungguh ing
jamaning pati, ing reh pêpuntoning tekad,
santa-santosaning kapti.
santa-santosaning kapti.
Nora saking
anon ngrungu, riringa rêngêt siningit, labêt sasalin salaga, salugune
den-ugêmi, yeka pangagême raga, suminggah ing sangga
runggi.
runggi.
Marmane
sarak siningkur, kêrana angrubêdi, manggung karya was sumêlang, êmbuh-êmbuh
den-andhêmi, iku panganggone donya, têkeng pati nguciwani.
Sajati-jatining
ngelmu, lungguhe cipta pribadi, pusthinên pangesthinira, ginêlêng dadi
sawiji,wijanging ngelmu jatmika,neng
kaanan ênêng êning.
kaanan ênêng êning.