Realisasi Iman Dalam Kehidupan Sosial
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR
BELAKANG
Iman dan islam merupakan dua hal penting yang
tak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya.
Iman adalah membenarkan segala sesuatu yang dibawa olehnabi muhammad
saw. Yakni meyakini kebenaran segala
sesuatu yang dibawah oleh Nabi itu berasal dariAllah Swt dengan keyakinan yang
mantap disertai dengan pengakuan dalam hati. Iman tersebut seperti iman kepada
Allah, iman kepada Malaikat-malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman
kepada para utusan-Nya, iman kepada hari akhir (kiamat), iman kepada Qodho’ dan
Qodhar, serta iman terhadap kefardluan
melak sanakan sholat dan ibadah ibadah lainya seperti zakat, puasa,
melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu , serta keharaman membunuh seseorang
yang ma’sum, zina dan lain sebagainya.
Sedangkan islam adalah tunduk dan
patuh secara dhohir dan batin kepada segala sesuatu yang dibawa oleh Nabi. Maka
iman dan islam tidak bisa terlepas satu sama lain. Setiap orang mu’min adalah
muslim dan juga sebaliknya karena seseorang yang membenarkan terhadap Nabi
harustunduk kepada segala sesuatu yang dibawanya. Dan setiap orang yang tunduk
pada sesuatu pasti membenarkan sesuatu
tersebut. Sehinggaiman dan islam itu tdak bisa dipisahkan. [1]
Demikianlah pengertian dari iman dan islam.
Walaupun demikian seorang muslim belum dikatakan sebagai seorang muslim yang
sempurna apabila keimanannya juga belum sempurna. Karena iman sebagaimana
pengertian di atas tak semudah teori yang disampaikan oleh para ulama dalam
pelaksanaannya. Iman sendiri mempunyai banyak cabang yang harus dipenuhi untuk
menyempurnakan keimanan. Sehingga kualitas keislaman seseorang itu diukur dari
kadar keimanannya. Apabila kadar keimanan seseorang itu rendah maka bisa dipastika kualitas keislamannya
juga rendah. Sehingga diperlukan kajian
tentang cabang cabang iman secara mendalam yang bersumber dari hadits hadits
soheh, terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial karena manusia adalah
makhluk sosial. Sehingga kajian tentang realisasi iman dalam kehidupan sosial berdasarkan
hadits-hadits shohih sangat diperlukan.
2. RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana merealisasikan iman dalam kehidupan
sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. REALISASI IMAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Kajian tentang realisasi iman dalam kehidupan sosial tidak bisa
dilepaskan dari cabang-cabang iman yang telah dikemukakan para ulama’ yang
bersumber dari hadist-hadits shohih. Setidaknya, kajian ini terkumpul beberapa
poin sebagai berikut:
I.
MENCINTAI SESAMA MUSLIM
ADALAH SBAGIAN DARI IMAN
Islam yang ajaran ajaranya bersifat humanis
menepatkan manusia pada tempat yang paling tinggi mengajarkan untuk mencintai
sesama muslim sehingga dikatakan belum sempurna iman seorang muslim sebelum dia
mencintai sesama muslim sebagai mana di sebutkan dalam sebuah hadits yang di
riwayatkan sahabat Anas dalam kitab Shohih Bhukhori :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ
شُعْبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ
وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ، قَالَ: حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ
النَّبِيِّ قَالَ: " لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ "
Artinya: “tidak sempurna iman seorang dari kalian
hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri”
Yang dimaksud tidak beriman ini adalah
kekurang dalam keimanannya, sehingga muslim yang seperti ini tidak dikatakan
hilang imannya akan tetapi tidak sempurna imannya sebagaimana keterangan dalam
fathul Bari. Juga diriwayatkan oleh imam Muslim :
وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ، عَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ،
عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ،
" لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ، حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ، أَوَ قَالَ لِأَخِيهِ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Senada dengan hadits riwayat Imam Nasai dalam
kitabnya Sunan Nasa’i Sugro:
أَخْبَرَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ حُسَيْنٍ وَهُوَ الْمُعَلِّمُ، عَنْ قَتَادَةَ،
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ، لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ
لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ
Berdasarkan
hadits-hadits diatas bisa di simpulkan bahwa realisasi iman dalam kehidupan
sosial tak bisa lepas dari mencintai sesama muslim. Karena iman seseorang tidak
bisa sempurna sebelum dia mencintai sesama muslim.
II.
MUSLIM TIDAK MENGGANGGU
ORANG LAIN
Iman merupakan sesuatu
yang ada dalam hati. Perbuatan lahiriah manusia merupakan cerminan dari apa
yang ada dalam hati, sehingga keimanan seseorang itu tercermin dari apa yang
diperbuat. Seorang beriman tidak akan mengganggu orang lain karena seorang
muslim yang sempurna imannya adalah
orang yang dengannya orang lain merasa aman dan tenang sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhori:
حَدَّثَنَا ادم ابن ابي إياس، قَالَ: حَدَّثَنَا شعبة عن عبدالله ابن
أبي السفر و إسماعيل عن الشعبي عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رضي الله عنهماعن
النَّبِيُّ قال: " الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ "
Artinya: “seorang muslim adalah orang yang
selamat dari perkataan dan perbuatannya orang-orang muslim yang lain, dan
muhajir adalah orang yang berhijrah dari hal-hal yang dilarang Allah.”
Seorang muslim dalam hadits di atas menurut ibnu hajar al- asqolani
menujukkan arti muslim yang sempurna karena al di dalmnya menunjukkan arti
kesempurnaan. Sehingga keislaman seseorang dapat dikatakan sempurna jika bisa
menjaga perkataan dan perbuatannya agar tidak sampai mengganggu orang lain.
Peryataan hadits di atas juga dapat dijadikan penjelasan tentang tanda
kesempurnaan keislaman seseorang yaikni selamatnya kaum muslimin dari buruknya
perkataan dan perbuatannya.. hadits ini juga memberikan motivasi untuk
bermuamalah (berinteraksi) terhadap tuhan dengan baik, dengan
memperbaiki interaksi hubungan sesama manusia. Hadts ini merupakan salah
satu hadits imam Bukhori yang berbeda dengan hadits imam Muslim. Senada dengan
hadits ini juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak dari sahabat Anas “والمؤمن من أمنه الناس”2[2],
senada dengan hadit ini, hadits yang diriwayatkan imam Tirmidzi dalam kitabnya
Jami’ At-tirmidzi :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنِ ابْنِ عَجْلَانَ،
عَنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ حَكِيمٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ : " الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ
وَأَمْوَالِهِمْ "، قَالَ أَبُو عِيسَى: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Juga semakna dengan hadits Imam Ahmad dalam musnadnya:
حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ
بْنِ زَيْدٍ، وَيُونُسَ بْنِ عُبَيْدٍ، وَحُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسٍ يَعْنِي ابْنَ
مَالِكٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ "
الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ، وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السُّوءَ، وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَبْدٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"، حَدَّثَنَاه عَفَّانُ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ عَلِيِّ
بْنِ زَيْدٍ، وَيُونُسَ، وَحُمَيْدٍ، عَنِ الْحَسَنِ أَنّ النَّبِيَّ قَالَ: " الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ
النَّاسُ "، فَذَكَرَ مِثْلَهُ
III.
Realisasi iman dalam menghadapi tetangga, tamu dan bertutur kata
Keimanan seseorang itu juga terealisasi
dalam tindak tanduk keseharianya .
tindak tanduk seorang mukmin itu bisa mencerminkan kadar keimananya terutama.
Salah satu indikator kesmpurnaan iman seseorang dapat dilihat dari kehidupan
sosialnya seperti hubungannya dengan tetangga, bagaimana cara menerima tamu dan
bertutur kata. Ciri orang yang beriman dalam hubungannya dengan tetangga
dituntut untuk berhubungan dengan baik, dalam menerima tamu juga harus
menerimanya dengan baik juga begitu juga dalam bertutur kata dalam rangka
menyempurnakan keimanannya yang berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim :
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيى، أَنْبَأَنَا
ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ رَسُولِ
اللَّهِ قَالَ: " مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ،
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ،
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Senada dengan hadits dalam kitab Sunan Nasa’i Kubro :
عَنْ سُوَيْدِ بْنِ نَصْرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الْمُبَارَكِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلانَ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ
أَبِي هُرَيرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ:
" مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآَخَرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا،
أَوْ لِيَصْمُتْ
Juga sesuai dengan hadits:
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: أَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ
بْنُ يَعْقُوبَ، قَالَ: نَا الْحُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ، وَجَعْفَرُ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحُسَيْنِ، وَأَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ.ح وَأَخْبَرَنَا أَبُو
صَالِحِ بْنُ أَبِي طَاهِرٍ الْعَنْبَرِيُّ، قَالَ: أَنَا جَدِّي يَحْيَى بْنُ
مَنْصُورٍ الْقَاضِي، قَالَ: نَا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالُوا: نَا إِسْحَاقُ
بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: أَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، قَالَ: نَا الأَعْمَشُ،
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، : "
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُحْسِنْ إِلَى جَارِهِ، وَمَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ
".رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي الصَّحِيحِ، عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ،
وَأَخْرَجَاهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الْحَصِينِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ.أَخْبَرَنَاهُ
أَبُو صَالِحِ بْنُ أَبِي طَاهِرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي جَدِّي يَحْيَى بْنُ
مَنْصُورٍ، قَالَ: نَا أَحْمَدُ بْنُ سَلَمَةَ، قَالَ: نَا قُتَيْبَةُ بْنُ
سَعِيدٍ، وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ، قَالا: نَا أَبُو الأَحْوَصِ، عَنْ حَصِينٍ،
عَنْ أَبِي صَالِحٍ، فَذَكَرَهُ، غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ: " فَلا يُؤْذِي
جَارَهُ ".وَكَذَلِكَ قَالَهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ، أَبُو طَاهِرٍ الْفَقِيهُ، قَالَ: أَنَا أَبُو
حَامِدِ بْنُ بِلالٍ، قَالَ: نَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورٍ الْمَرْوَزِيُّ، قَالَ:
نَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ، قَالَ: أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، فَذَكَرَهُ
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Keimanan seseorang itu
mempunyai cabang-cabang yang banyak. Manusia yang merupakan makhluk sosial
perlu untuk menciptakan interaksi yang baik sesama manusia. Islam yang membawa
ajaran yang lengkap dalam kehidupan manusia memberikan petunjuk untuk melakukan
interaksi sesama manusia dengan baik beserta petunjuk-petunjuk lainnya. .
Iman sendiri mempunyai banyak cabang yang
harus dipenuhi untuk menyempurnakan keimanan. Sehingga kualitas keislaman
seseorang itu diukur dari kadar keimanannya. Apabila kadar keimanan seseorang
itu rendah maka bisa dipastika kualitas
keislamannya juga rendah. Sehingga
diperlukan kajian tentang cabang cabang iman secara mendalam yang bersumber
dari hadits hadits soheh, terutama yang berkaitan dengan kehidupan sosial karena
manusia adalah makhluk sosial. Sehingga kajian tentang realisasi iman dalam
kehidupan sosial berdasarkan hadits-hadits shohih sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Hafid Syihabuddin Ahmad bin
Ali bin Muhammad bin hajar Al-Asqolani. 2008. Fathul Bari. DKI, Lebanon.
Husain Afandi, Husunul Hamidiyah
Jawami’ Al-Kalim