Hukum KB (Kajian Fiqih)
Fikih Reproduksi, Keluarga Berencana, Demografi,
dan Aborsi
(Studi Analisis
Maslahah Segi Empirik, Pengaturan Pertumbuhan Penduduk dan Implikasi)
Pendahuluan
Tidaklah mengherankan bahwa Islam memandang keluarga sebagai
suatu unit dasar kemasyarakatan dari masyarakat Islam, dan telah menekankan
bahwa pembentukan keluarga adalah tanggung jawab setiap pasangan. Hubungan
keluarga sangat ditekankan dalam fikih
Islam untuk mencapai kehidupan sejahtera dan bermanfaat bagi para anggotanya.
Hak-hak anak secara khusus telah ditekankan sebagai pembangun masyarakat masa
depan dan pembela Islam.
Namun yang membuat para pemikir sekarang untuk berfikir
kembali, ketika Islam memberikan keprihatinan demikian besar kepada masalah
penjarangan anak dan keluarga berencana, tanpa adanya tekanan kependudukan yang
mendesak, terlebih dalam masalah Aborsi. Pada masa nabi saw telah diizinkan
para sahabat mempraktikkan coitus interruptus atau al-‘azl untuk
menghindari berbagai kesulitan kesehatan, kemasyarakatan, dan ekonomi. Tentulah
tidak ada keraguan akan kemampuan Allah untuk memberikan rizki bagi semua
mahluk.
Hal ini tidak menjadi kejuatan bagi kaum muslim, karena
mereka mengetahui bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur peribadatan saja,
namun juga mengatur sistem kemasyarakatan, kultur, dan peradaban. Hukum Islam
sangat komprehensif dan mengayomi kebutuhan, kegiatan, keprihatinan manusia.
Islam mempertimbangkan pula masalah perencanaan keluarga secara obyektif dan
penuh kasih bagi kaum mukmin, sebagai agama yang memberikan kemudahan atau Yusr
dan bukan memberikan kesulitan atau ‘usr, dan telah mensponsori
perencanaan manusia dalam segala urusan individual, komunal, dan sosial, tidak
terkecuali perencanaan kalahiran.
Namun yang menjadi pertanyaan, apa tujuan dari
pelaksanaan Keluarga Berencana,
berkaitan dengan jumlah kependudukan di Indonesia, ekologi gan geografi,
serta adanya aborsi yang banyak terjadi.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas bagaimana Islam menyikapi tentang, fiqh
reproduksi, keluarga berencana, aborsi, dampak dari implementasi dan
konsekuansinya serta solusi terhadap
laju perkembangan penduduk.
Pembahasan
1.
Pernikahan Sunnah Allah, Sebagai
Tanggung Jawab Yang Khidmat
Perkawinan
adalah hal mendasar dalam pembentukan keluarga Islam. Nabi Muhammad saw memuji
institusi tersebut sebagai bagian dari sunnahnya. Kehidupan manunggal secara
permanen atas kehendak sendiri bukanlah cara Islam.
Perkawinan
menghendaki perencanaan yang khidmat dan karena itu harus direncanakan, dengan
tujuan khusus untuk memastikan kemampuan seorang laki-laki dalam mengurusi
isteri dan rumah tangga, dan kemampuan pasangan tersebut dalam membesarkan anak
sebagai warga yang takwa, sehat, terdidik, berguna, dan berahlak yang baik,
bilamana tidak mampi, maka perkawinan dapat ditunda.[1]
Reproduksi
adalah pengembangbiakan, tiruan hasil ulang, sedangkan reproduksi seksual
adalah perbanyakan melalui penggabungan benih perempuan dan benih laki-laki dan
Tujuan dari reproduksi adalah untuk melanjutkan keturunan.[2]
2. Keluarga Berencana
Angka pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi selama
empat puluh tahun terkhir, ditambah akan kekhawatiran akan perkembangan sosial
dan ekonomi, telah mendorong perdebatan tentang pemakaian sarana Keluarga
Berencana oleh kaum muslim. Sejak awal Islam, komunitas muslim telah mendorong
keluarga besar guna menjamin penduduk muslin yang kuat dan bersemangat. Akan
tetapi, ulama menegaskan bahwa dalam literatur fiqih tentang perkawinan dan
keluarga, agama membolehkan KB. Al-Qur’an juga tidak menyebutkan tindakan KB,
tetapi sejumlah teks hadis menyebut ‘azl (coitus interruptus).
Pembicaraan fikih terpusat pada persoalan diperbolehkannya ‘azl, dan
berbagai madhab beragam pula tanggapannya. ‘Azl dihukumi makruh, namun
ada variabel-veriabel yang menentukan dibolehkannya ‘azl.
Perencanaan
keluarga dalam makalah ini merujuk kepada penggunaan metode-metode kontrasepsi
oleh suami istri atas persetujuan bersama diantara mereka, untuk mengatur
kesuburan mereka dengan tujuan untuk menghindari kesulitan kesehatan,
kemasyarakatan, ekonomi, mengatur jumlah kepadatan penduduk, dan untuk
memungkinkan mereka memikul tanggung jawab
terhadap anak-anaknya dan masyarakat. Perencanaan keluarga disini
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a.
menjarangkan anak untuk
memungkinkan penyusuan dan penjagaan
kesehatan ibu dan anak;
b.
pengaturan masa hamil agar terjadi
pada waktu yang aman;
c.
mengatur jumlah anak, bukan saja
untuk keperluan keluarga melainkan juga untuk kemampuan fisik, finansial,
pendidikan, pemeliharaan anak. Dan menurut aturannya, pilihan semacam itu harus
merupakan suka rela tanpa paksaan hukum yang menetapkan jumlah perkeluarga.[3]
Sejauh
menyangkut masalah perencanaan keluarga, dan dalam sorotan kajian dan
konsultasi yang cermat, tidak ada ayat dalam al-Qur’an atau nas yang jelas yang melarang suami atau Istri menjarangkan
kehamilan atau mengurangi jumlahnya sesuai dengan kemampuan fisik, ekonomi, dan
kulturan mereka. Yakni tidak ada nas yang melarang ‘azl atau
metode-metode kontrasepsi lainnya. Walaupun demikian al-Qur’an telah digunakan
oleh pihak-pihak penentang maupun pembela perencanaan keluarga untuk mendukung
pandangan mereka masing-masing.[4]
Namun disisi lain pendukung
perencanaan keluarga pecaya bahwa masa depan kaum muslimin sekarang lebih berkaitan
dengan kualitas, takwa, dan solidaritas ketimbang jumlah kuantitas semata.
Mereka tidak percaya bahwa dunia Islam kekurangan dalam jumlah, mereka melihat
perlunya solidaritas dan kerja sama yang lebih besar diantara negara-negara
muslim, begitu juga pendidikan dan keunggulan spiritual, sosial, ekonomi, dan
teknologi. Mereka melihat pertumbuhan penduduk yang pesat dikebanyakan negara
Muslim sebagai rintangan yang paling
serius bagi proses pembangunan.
Contoh suatu kasus di negara
Mesir. Presiden Nasser menentang keras program kependudukan selama sepuluh
tahun pertama pemerintahannya. Kemudian, ketika menyadari apa yang telah
dilakukan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali terhadap negaranya,
ia memproklamasikan :
“ pertumbuhan penduduk merupakan
halangan paling berbahaya yang dihadapi rakyat Mesir dalam usaha mereka untuk
mengangkat standar produksi di dalam negaranya secara efektif dan efisian.
Usaha-usaha pad perencanaan keluarga
patut mendapatkan ikhtiar yang sungguh-sungguh dari metode-metode
ilmiyah modern.” [5]
Perubahan dramatis di
Indonesia yang menyangkut kesehatan reproduksi oleh beberapa orang disebut
sebagai "revolusi" dan ini barangkali menjadi salah satu catatan
penting program keluarga berencana di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh
Iwu Dwisetyani Utomo pada bagian kedua (hal 71-124) yang berjudul Women’s
Lives: Fifty Years of Change and Continuity, paling tidak terminologi
revolusi dapat digunakan untuk menjelaskan penurunan rata-rata anggota
keluarga, peningkatan jumlah dan proporsi perempuan yang memperoleh pendidikan
dan terlibat dalam pekerjaan profesional, serta mengharapkan untuk dapat
berpartisipasi secara luas dalam institusi sosial.[6]
Contoh negara yang berhasil
dalam mengatasi pertumbuhan penduduk dengan pelaksanaan program Keluarga
Berencana diantaranya adalah negara Cina. Pertumbuhan jumlah
penduduk di Tiongkok relatif cepat. Menurut statistik, pada tahun 1949, jumlah
penduduk Tiongkok tercatat 540.000.000, sampai tahun 1969 bertambah sampai
800.000.000. Sejak tahun 1970-an, pemerintah menerapkan kebijakan keluarga
berencana untuk meningkatkan mutu kependudukan, dan tingkat kelahiran menurun
dari 34,11 perseribu pada tahun 1969 menjadi 16,57 perseribu pada tahun
1997;
Tingkat pertumbuhan alami penduduk juga menurun
dari 2,6,08 perseribu menjadi 10,06 perseribu. Dihitung berdasarkan tingkat
pertumbuhan alami tahun 1970, dalam waktu selama 20 tahun lebih sampai
dilaksanakannya program keluarga berencana pada tahun 1997, jumlah penduduk
Tiongkok akan bertambah 300.000.000 lebih apabila tidak dilaksanakan program
keluarga berencana.[7]
Begitu juga dengan negara
Indonesia, jika tidak dilaksanakan program KB, maka pada 20-40 tahun kemudian
bangsa Indonesia bukan hal yang mustahil akan mengalami masalah serupa sebagaimana
yang dialami oleh negara cina.
3. Demografi Penduduk Indonesia
Di
Indonesia, setidaknya sejak pemerintahan orde baru, istilah keluarga berencana
semakin populer, bahkan menjadi suatu gerakan bersifat nasional. Untuk tujuan
itulah pemerintah tahun 1970 membentuk
lembaga Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN).[8]
Agaknya istilah keluarga berencana di Indonesia
mempunyai arti Family Planning
dan Planned Parenthood. Dalam peringkat nasional dikenal
organisasi Keluarga Berencana, seperti International Planned Parenthood
Federation (IPPF), yang berkantor pusat di london. Program organisasi ini
dititikberatkan pada perencanaan, pengaturan dan pertanggungjawaban seseorang terhadap anggota keluarganya. Hal
ini berbeda dengan birth control, yang berarti pembatasan dan
penghapusan kelahiran.[9]
Gerakan
keluarga berencana yang digalangkan oleh Pemerintah Indonesia berkaitan erat
dengan keadaan penduduk Indonesia khususnya
dan penduduk dunia umumnya. Dalam teori malthus yang dicetuskan oleh
Thomas Robert (1766-1834), jumlah kepadatan penduduk sangat mempengarui
kemakmuran masyarakat, perekonomian, dan menambah kepada tingkat pengangguran
masyarakat.[10]
Ketika program KB pertama kali dicanangkan di
Indonesia, tingkat perkembangan penduduk Indonesia berkisar antar 2 sampai 2,5
% pertahun. Menurut pengamat kependudukan, setiap 40 sampai 50 tahun, penduduk
dunia akan mengalami peningkatan dua kali lipat, jika laju pentumbuhan
penduduk masih melebihi 2% pertahun.[11]
Menurut pengamatannya, sekitar tahun 60an keadaan penduduk pulau Jawa dan Bali sudah sangat padat,
rata-rata 520 orang perkilometer persegi. Keadaan ini sudah berubah lagi pada
tahun 1980, pada tahun itu kepadatan penduduknya menjadi menjadi 690 orang
perkilometer persegi.[12]
Jumlah
umat Islam di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan dengan umat beragama
lain, karena itu masalah kependudukan
pada hakikatnya juga merupakan masalah umat Islam di Indonesia. Guna
menanggulangi kepadatan penduduk, pemerintah Indonesia telah menempuh dua cara,
yaitu program transmigrasi dan Keluarga
Berencana. Cara yang pertama memerlukan dana yang cukup besar. Selain
menghabiskan dana yang cukup besar, juga sikap masyarakat yang berada di
pulau Jawa dan Bali kurang mendukung
untuk melaksanakan program Transmigrasi tersebut, disamping sebagian mereka ada
yang mendukung, bahkan ada yang melakukan transmigrasi dengan kehendak sendiri.
Tujuan
dari utama dari meprogram ini adalah untuk meratakan penduduk ke wilayah atau
pulau yang masih sedikit di Indonesia.
Sedangkan cara yang kedua, yaitu keluarga Berencana adalah untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk di Indonesia yang dinilai relatif masih tinggi.[13]
4. Aborsi
Ada dua perdebatan publik
mengenai legalisasi aborsi, pertama, masalah aborsi adalah masalah
kesehatan, khususnya kesehatan perempuan. Sebagaimana disepakati dalam
Deklarasi Kairo 1994, aborsi harus
dilihat sebagai masalah kesehatan
masyarakat. Kesepakatan itu muncul karena banyak negara yang membiarkan
perempuan menjadi korban praktik aborsi ilegal, memandang tidak bertanggung
jawab karena hanya melihat aborsi dari segi moralitas tanpa mencari solusi bagi
perempuan yang bingung karena kehamilan yang tidak diinginkan.[14]
Kedua, legalisasi aborsi justru akan meningkatkan
angka aborsi di Indonesia dan cenderung memberikan ruang kepada pasangan yang
tidak sah untuk melakukan hubungan suami isteri
tanpa takut hamil. Sebab cukup mudah
dan sah menggugurkannya.
Hasil penelitian yang
dilakukan delapan swadaya masyarakat (LSM) dengan bantuan dari Asia Pacific
Resource and Research for Women
(Arrow) terhadap 50 perempuan di daerah kumuh di Jakarta dan sekitarnya
memperkuat data yang sudah ada sebelumnya. Atashendartini Habsyah dari
universitas Atma Jaya dan juga aktif di Yayasan Kesehatan Perenpuan, memaparkan
temuan penelitian selama empat bulan
yang selesai dilakukan pada bulan Maret 2004 menyebutkan bahwa aborsi juga
dilakukan oleh istri secara sukarela.[15]
Dalam wawancara mendalam
dengan para Istri tersebut, mereka menyebutkan alasan melakukan aborsi yaitu: karena sudah banyak anak, masih
terikat kerja yang melarang mereka hamil, suami yang memaksa melakukan
hubungan seksual meskipun istri sudah
memberitahu dirinya sedang pada masa subur dan suami tidak mau memakai kondom, usia istri yang sudah tua dan anak-anak sudah besar, tidak boleh hamil
anak keempat karena siibu sudah menjalani tiga kali operasi caesar, suami tidak
mau menerima kehamilan lagi meskipun anak baru satu, umur kehamilan yang terlalu dekat dengan anak terkecil,
alasan ekonomi yakni suami di PHK, sering sakit-sakitan, istri bergaji sedikit,
dan tidak sanggup menanggung anak tambahan.
Sedangkan wawancara terhadap
remaja belum menikah yang melakukan aborsi beralasan kehamilannya terjadi
karena mendapat tekanan dari pacar sebagai tanda cinta, selalu belajar bersama
sehingga jatuh terlena, sengaja hamil agar hubungan disetujui oleh orang tua
tetapi kemudian takut dikucilkan keluarga ketika hamil, diperkosa tetangga,
malu karena diperkosa keluarga sendiri
(informan rata-rata berusia antara 14 – 24 tahun).
Dan permasalahan aborsi juga
mendapatkan payung hukum yaitu dalam Undang-undang (UU) kesehatan Nomor 23
tahun 1992 dengan tidak disebutkan kata “aborsi”, akan tetapi dalam pasal 15
tersirat penegrtian aborsi. Pasal 15 Ayat (1) UU itu meyebutkan, dalam keadaan
darurat sebagai upaya untuk penyelamatan jiwa ibu hamilatau janinnya dapat
dilakukan tindakan medis tertentu. Ayat (2) menyebutkan tindakan medis tertentu
dapat dilakukan
a)
berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya
tindakan tersebut;
b)
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk itu dan dilakukan sesuai
dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli;
c)
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami
atau keluarganya;
d)
pada sarana kesehatan tertentu.
Ayat (3) menetapkan pembuatan peraturan pemerintah untuk
menjelaskan tindakan medis tertentu seperti disebut dalam ayat (1) dan ayat
(2).
Dipandang dari perspektif
agama, larangan aborsi didasari oleh alasan yang sama baik dalam Islam maupun
kristen dengan menegaskan bahwa janin memiliki hak hidup yang mulia. Dalam tradisi kristen, misalnya
sekalipun larangan itu tidak tertulis eksplisit dalam Bible, sejak sebelum 100
tahun Masehi, terdapat catatan bahwa
gereja yang membolehkan praktik aborsi
sebagai dosa besar. Larangan tersebut masih berlaku hingga sekarang.
John Noonan dari Universitas California,
Barkeley, telah menyelidiki seluruh tradisi kristen itu dalam tulisannya, An Almost Absolute
Value in History (1970).[16]
Sedangkan dalam pandangan Islam,
aborsi yang merupakan pengguguran kandungan biasa diartikan sebagai “keadaan
dimana terjadi pengakhiran atau ancaman pengakhiran kehamilan sebelum fetus
hidup diluar kandungan.” [17]
disini dapat dipahami, bahwa gugurnya kandungan ada yang bersifat alamiyah dan
ada pula yang disengaja. Aborsi dalam bentuk yang pertama disebut dengan
abostus spontan, sedangkan yang kedua disebut dengan abortus provokatus.
Aborsi dalam bentuk yang pertama tidak perlu dibahas hukumnya karena tidak ada unsur kesenganjaan didalamnya.
Sedangkan yang abortus provokatus dapat dibedakan lagi menjadi abortus
provokatus medicinalis dan abortus provokatus criminalis.[18]
Para ahli fikih sepakat bahwa pengguguran kndungan yang
telah berusia empat bulan atau 120 hari, haram hukumnnya. Akan tetapi mereka
berbeda pendapat dalam hal pengguguran kandungan yang kurang dari empat bulan,
para ahli fikih dari kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa pengguguran kandungan
yang kurang dari empat bulan dibolehkan, karena sebelum usia tersebut janin belum
mempunyai ruh. Sedangkan menurut sebagian ulama Syafi’i berbeda pendapat
tentang hal ini, yaitu dibolehkan, karena ada alasan medis atau ‘Uzur,
dan makruh, jika tanpa alasan medis. Dan ada pula yang mengharamkan seperti
pendapat Maliki yang mu’tamad.[19]
Adanya ulama yang membolehkan
dan ada pula yang mengharamkan tersebut dikarenakan adanya perbedaan dalam
menafsirkan QS. Al-Mukminun : 12-14. terutama dalam bunyi potongan ayat “ " ثم أنشأناه
خلقا أخر (Kemudian Kami jadikan dia mahluk yang berbentuk lain).
Menurut MUI dan Muhammadiyah,
melakukan aborsi sebelum nafkh ruh adalah haram, bahkan menurut
Muhammadiyah ruh yang ditiupkan kedalam janin yang telah berusia empat bulan
itu bukan ruh hayati, melainkan ruh insani. Penalaran
muhammadiyah ini dipengarui oleh filsafat
Islam dan kedokteran. Dalam filsafat Islam, jiwa bukanlah hayat.
Manusia dalam konsep filsafat Islam, terdiri dari tiga usur: tubuh, hayat,
dan jiwa. Dengan demikian, hayat itu sudah ada sejak terjadinya pembuahan,
bukan setelah janin berusia empat bulan. Peniupan pada janin setelah berbentuk
manusia lengkap itu diartikan dengan ‘ruh insaniyah”. [20]
sedangkan menurut MUI membolehkan aborsi sebelum nakhf ruh dapat menimbulkan
banyak dampak negatif, disamping dampak positif, dalam kaidah fiqhiyyah:
“menghindari kerusakan( hal-hal yang negatif) itu lebih diutamakan dari pada mendatangkan
kemaslahatan”.
Menurut penulis, memberikan pilihan (atau kebolehan)
untuk melakukan aborsi dan terjadi kehamilan yang tidak diinginkan jika dengan
alasan yang dapat dibenarkan agama, yaitu membehayakan fisik dan psikis.[22]
Dari permasalahan diatas
dapatlah diambil sebuah konklusi bahwa tingginya laju pertumbuhan penduduk
suatu negara akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara tempat yang di huni
penduduk dalam suatu wilayah dengan
kebutuhan akan kehidupan, ekologi kehidupan,
begitu juga dengan kondisi perekonomian, social dan pendidikan juga
dapat terpengaruh oleh kepadatan penduduk. Dalam menanggapi hal tersebut
pemerintah dapat mengatur laju pertumbuhan penduduk melalui program keluarga
berencana, program keluarga berencana tersebut bertujuan untuk menekan laju
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, bukan untuk membatasi jumlah anak
yang lahir ataupun upaya pembunuhan terhadap anak.
Namun
menurut penulis, untuk mewujudkan program tersebut pemerintah tidak harus
dengan paksaan melalui undang-undang apalagi jika hal tersebut untuk kepentingan
nasional, tentu saja pemerintah dapat membantu memberikan keputusan yang
bijaksana dengan memberikan kepada mereka kesempatan untuk bertindak sesuai
dengan keputusan mereka sendiri dan juga menciptakan kondisi kehidupan yang
bahagia, terjamin, sejahtera, tidak dengan adanya keluarga besar. Hal ini dapat
dicapai dengan melalui media masa, pendidikan. Dengan menjelaskan keuntungan
suatu keluarga kecil, bahagia sejahtera.
Dengan
demikian upaya KB Nasional bukan hanya semata-mata menyangkut pengendalian
pertumbuhan/pengaturan kelahiran saja, tetapi juga diarahkan untuk membantu
keluarga, termasuk individu agar mengerti hak dan kewajiban dalam berkeluarga,
baik sebagai individu, keluarga, anggota masyarakat, maupun warga negara,
sehingga jika keluarga mampu merencanakan kehidupan keluarganya dengan baik,
maka akan dicapai keluarga berkualitas dan akan didapat generasi yang baik
pula. Ini berarti bahwa program KB Nasional adalah Program Investasi Sumber
Daya Manusia. Yaitu melalui: Program Pemberdayaan Keluarga, Program Keluarga
Berencana, Program Kesehatan Reproduksi Remaja, dan Penguatan Kelembagaan dan
Jaringan KB.
Begitu juga dengan aborsi,
legalitas bebolehannya berdasarkan
kepada dharuriyyah fardiyah, jika terdapat keharusan secara individual
yang menghendaki aborsi adalah sah-sah saja, karena hal tersebut dipandang
sebagai suatu rukhsah fardiyyah,
yang tidak dapat digeneralisir kepada rukhsah jama’iyyah. [23]
Aborsi yang dilakukan dengan alasan menjaga kesehatan ibu dari bahaya fisik dan
psikis juga diperbolehkan selama masih dalam Karidor yang dibenarkan agama.
Solusi
lain ketika kepadatan penduduk sudah tidak dapat terkendali maka dapat juga
dengan menjalankan program transmigrasi
kewilayah yang masih sedikit penduduknya, ataupun dengan penataan tempat
dan ruang suatu wilayah, baik di kota-kota besar yang padat penduduknya maupun
kota-kota kecil di seluruh wilayah Indonesia.
Penutup
Pemasalahan
keluarga sangatlah urgen dalam kehidupan masyarakat karena satu keluarga adalah
dasar berdirinya sebuah masyarakat yang akan membentuk suatu negara, jumlah penduduk yang sangat banyak
pada suatu negara akan berakibat pada ketidak seimbangan antara daya dukung geografi, ekologi dan
perekonomian.
Kepadatan penduduk yang
meningkat dapat diatasi dengan adanya program keluarga berencana, sehingga laju
pentumbuhan penduduk dapat dikendalikan, bukan dengan cara jahiliyah yang
membunuh anak-anaknya, Aborsi tanpa
alasan yang dibenarkan agama, apalagi dengan bom bunuh diri.
BIBLIOGRAFI
‘Umran, ‘Abdurrahim, Islam dan Keluarga Berencana, Jakarta;
Lentera, 1997.
Haq, Syekh
Jadil Haq Ali Jadil, Fatawah al-Islamiyah, Vol, 9, Kairo Dar Al-Ifta
Al-Masriyyah, 1983.
Suroso, A.
Rahmat Rosyadi, Indonesia: Keluarga
Berencana Ditinjau dari Hukum Islam, Bandung; Pustaka, 1986.
Dep.Dik.Bud.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Al-Khamisi,
Moh. Hasan, Al-Qur’an Tafsir wa Bayan,
Beirut: Dar al-Rasid,tt.
Al-Kholi, “Tahdid”,
dalam Minbar al-Islam, 1965.
Djamil,
Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih
Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995.
Muallim,
Amir, Soal Legalisasi Praktik Aborsi,
Opini, Jawa Pos, Sabtu, 24, September
2005.
Sutomo
Suewarto, “Abortus dipandang dari segi kedokteran”, Makalah dalam
Muuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII di Malang, 1989.
Azhar
Basyir, Abortus ditinjau dari syari’at Islamiyah” Makalah dalam Muktamar
Tarjih Muhammadiyah ke XXII, 1989.
Depag, Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003.
Zahrah,
Mohammad Abu, Tandhim Al-Usrah wa Tandhim Al- Nasal, Kairo: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, tt.
http//
www.kompas.com/kesehatan/news/0408/16/071340.htm.
[2] Dep.Dik.Bud. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1999), 836.
[3] Abdurrahim ‘Umran, op. cit. 15.
[4] Al-Kholi, “Tahdid”,
dalam Minbar al-Islam, 1965.
mengatakan bahwa para penentang perencanaan keluarga berargumentasi dengan
gigih bahwa al-'azl atau setiap praktik yang mencegah kehamilan adalah termasuk
pembunuhan anak, hal yang telah dikutuk berulang-ulang dan dilarang dalam
al-quran. Mereka mengajukan argumen sebagai berikut:
1. Q.S. al-An'am: 151
ولا تقتلوا أولادكم من املاق نحن نرزقكم واياهم
....(151)
… dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan…( QS.
Al-An'am: 151)
2. QS. Al-Isra' : 31
ولا تقتلوا أولادكم خشية املاق نحن نرزقهم واياكم ان
قتلهم كان خطئا كبيرا..(31)
Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut akan kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepada kamu…(QS.
Al-Isra' :31)
Sedangkan Argumen pendukung Perencanaan Keluarga. Para pendukung KB tidak
sependapat dengan orang-orang yang menyamakan kontrasepsi dengan pembunuhan
anak atau wa'd, menurut mereka, wa'd terjadi secara biologis ketika seorang
bayi lahir dalam keadaan bernyawa dikuburkan hidup-hidup atau bilamana suatu
janin yang telah berbentuk dugugurkan, yang mana hal tersebut jelas dilarang
agama. Namun dalam hal kontrasepsi hanya
sekedar mencegah kehamilan dan tidak melibatkan pembunuhan.
Dalam argumen ini mereka mngutip imam Ali yang dihadapan khalifah Umar dan
para sahabat yang lain, menyangkal bahwa al-'azl adalah wa'd. Imam Ali
berpendapat bahwa wa'd hanya dapat berlaku setelah janin mencapai tahap tujuh penciptaan, yakni tahap
"suatu ciptaan lain" (khalqan akhar). Ia mendasarkan pendapatnya pada
ayat-ayat dalam QS. Al-Mukminun yang menerangkan tahapan penciptaan manusia.
ولقد خلقنا الانسان من سللة من
طين (12) ثم جعلناه نطفة في قرار مكين(13) ثم خلقنا النطفة علقة فخلقنا العلقة
مضغة فخلقنا المضغة عظاما فكسون العظام
لحما ثم انشأنه خلقا ءاخر فتبارك الله أحسن الخالقين (14)
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari satu saripati dari
tanah,
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (nutfah) dalam tempat yang
kokoh (rahim)
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah ('alaqah)
Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging
Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang;
Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging;
Kemudian Kami jadikan dia suatu Ciptaan lain (khalqan Akhar)
Maka, Maha Suci Allah Pencipta terbaik. (QS. Al-Mukminun:12,13,14) Lihat
juga Abdurrahim ‘Umran, Islam dan Keluarga Berencana, Ibid.
[8] A. Rahmat Rosyadi dan
Suroso, Indonesia: Keluarga Berencana
Ditinjau dari Hukum Islam, (Bandung; Pustaka, 1986), 11-12.
[9] Ibid.
[13] Ibid. 81.
[15] Aborsi Tidak Aman Jadi
Penyebab Kematian Ibu, http//
www.kompas.com/kesehatan/news/0408/16/071340.htm.
[16] Ibid.
[17]Definisi ini dikemukakan oleh World Health Organization (WHO). Fetus
itu dianggap belum dapat hidup diluar kandungan, jika usia kehamilan belum
mencapai 28 minggu. Lihat Sutomo Suewarto, “Abortus dipandang dari segi
kedokteran”, (Makalah dalam Muuktamar Tarjih Muhammadiyah XXII di Malang,
1989), 5.
[20] Azhar Basyir, Abortus
ditinjau dari syari’at Islamiyah” (Makalah dalam Muktamar Tarjih
Muhammadiyah ke XXII, 1989), 11
[22] Ibid.
[23] Mohammad Abu Zahrah, Tandhim Al-Usrah wa
Tandhim Al- Nasal, (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), 99.