Advertisement

Universalisasi Dan Aktualisasi Nilai-Nilai Kepesantrenan Terhadap Sistem Pendidikan Nasional

Universalisasi Dan Aktualisasi Nilai-Nilai Kepesantrenan Terhadap Sistem Pendidikan Nasional



Deskripsi Singkat tentang Pesantren.
Sejarah Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Tertua di Indonesia.
Pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak 1596.Hingga saat ini, masih ditemui beberapa ponpes yang masih menggunakan desain lama. Seperti, tangga yang terhubung ke sumur dengan sederet batu-batu titian.Model ini dipergunakan para santri untuk mencuci kaki terlebih dahulu sebelum memasuki ruang ponpes.
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang tertua dalam sejarah pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan Islam. Namun, kapan pertama kali lembaga pendidikan Islam ini dikenal, hingga sekarang belum ada data pasti awal berdiri dan asal usulnya. Bahkan, sejumlah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dalam dan luar negeri, juga tidak bisa memastikan kapan lembaga tersebut mulai dikenal.
Peneliti Tarekat dan Tradisi Islam di Indonesia asal Belanda, Martin Van Bruinessen, pun ragu-ragu kapan pastinya lembaga pendidikan ini berdiri di Indonesia. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Zamachsyari Dhofier, mantan rektor IAIN Walisongo Semarang (Tradisi Pesantren, 1985), Mahmud Yunus (Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 1979), Soegarda Purbakawatja (Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka, 1970), Murni Jamal (Sejarah Pendidikan Islam, 1984-1985), hingga Nurcholis Madjid (Alm) dalam bukunya, Bilik-Bilik Pesantren (1997), juga tidak menemukan kepastian awal pertama kali lembaga pendidikan Islam ini dikenal. Yang pasti, ketika zaman penjajahan Hindia-Belanda, lembaga pendidikan pondok pesantren mulai bermunculan di masyarakat Jawa.
Belakangan, muncul pendapat yang mengatakan, bahwa pesantren tertua di Indonesia adalah Pondok Pesantren Tegalsari di Ponorogo. Konon, lembaga ini pertama kali berdiri pada tahun 1724. Hal ini didasarkan pada survei yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-19. Dan, Martin Van Bruinessen berpendapat bahwa pesantren telah ada pada abad ke-18.
Unsur-unsur yang ada dalam pesantren.
a. Pondok
Menurut Hasbullah bahwa perkembangan pondok pesantren bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh kiai, tetapi juga sebagai latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Dalam dalam perkembangan selanjutnya, terutama masa sekarang tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa harus menyediakan asrama atau tempat bagi santri, antara lain adalah :
1. Kemasyhuran seorang kiai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam yang dapat menarik perhatian santri-santri jauh;
2. Hampir semua pesantren berada di desa-desa diminta tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santri-santri;
3. Ada sikap timbal balik antara santri dan kiai, dimana para santri menganggap kiai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri. Sedangkan kiai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang senantiasa harus dilindungi.

Fenomena diatas menunjukkan bahwa dalam sistem pendidikan pesantren berlangsung sehari semalam, yang artinya semua tingkah laku santri atau semua kegiatan santri dapat dimonitoring oleh kiai. Sehingga bila terjadi suatu yang menyimpang dari tingkah laku santri dapat langsung ditegur dan diberi bimbingan langsung dari kiai.

b. Masjid
Menurut bahasa, masjid merupakan isim makan (nama tempat) yang diambil dari fiil (kata kerja) bahasa Arab sajada, yang artinya tempat untuk sujud. Pada mulanya yang dimaksud dengan masjid adalah bagian (tempat) di muka bumi yang dipergunakan untuk bersujud, baik dihalaman, lapangan, ataupun di padang pasir yang luas. Akan tetapi, pengertian masjid ini lama kelamaan tumbuh dan berubah sehingga pengertiannya menjadi satu bangunan yang membelakangi arah kiblat dan dipergunakan sebagi tempat sholat baik sendiri atau jamaah.

Masjid merupakan elemen yang yang bisa terpisahkan dari pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat dalam mendidik pesantren, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, berjamaah dan pengajian kitab kuning, sehingga kedudukan masjid sebagai tempat pendidikan pesantren merupakan manivestasi dari universalisme sistem pendidikan tradisional dengan kata lain berkesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak masjid Quba didirikan dekat Madinah pada Masa nabi Muhammad SAW telah menjadikan pusat pendidikan Islam.

c. Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, santri biasanya terdiri dari dua kelompok yaitu santri mukim dan santri kalong sebagaimana dijelaskan oleh Hasbullah bahwa :
(1) Santri mukim adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. Santri mukim yang telah lama tinggal di pesantren biasanya diberi tanggung jawab untuk mengurusi kebutuhannya sehari-hari.
(2) Santri kalong adalah santri yang berasal dari daerah desa sekeliling pesantren yang tidak menetap di pesantren. Mereka biasanya pulang pergi dari rumah ke pesantren.
Adapun alasan santri pergi dan menetap disuatu pesantren karena berbagai alasan, yaitu :
(1) Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam dibawah bimbingan Kiai yang memimpin pesantren tersebut;
(2) Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan bersama, baik dalam bidang pengajaran keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren terkenal;
(3) Ia ingin memusatkan studinya dipesantren tanpa disibukkan kewajiban sehari-hari dikeluarganya.

d. Kiai
Kiai merupakan elemen yang esensial dari suatu pondok pesantren bahkan merupakan pendiri pesantren tersebut. Kiai bukanlah gelar yang bisa didapatkan dari pendidikan formal, akan tetap gelar tresebut diberikan oleh masyarakat kepada orang yang ilmu pengetahuannya mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren dan juga mengajarkan kitab-kitab klasik pada para santrinya .

Dalam hal ini kiai merupakan salah satu unsur terpenting dalam pesantren. Kemashuran seorang kiai menurut Hasbullah banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu pengetahuan, kharismatik, berwibawa serta kemampuan (ketrampilan) kiai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Dengan demikian jelaslah bahwa kepribadian sesosok kiai sangat menentukan perkembangan pesantren ke depan karena kiai merupakan tokoh sentral dalam pesantren.
Predikat kiai akan diperoleh oleh seseorang, apabila terpenuhi beberapa syarat diantaranya :
(1) Keturunan, biasanya kiai besar mempunayi silsilah yang cukup panjang dan valid;
(2) Pengetahuan agama, seseorang tidak akan pernah memperoleh predikat kiai apabila tidak menguasai pengetahuan agama atau kitab Islam klasik, bahkan kepopuleran kiai ditentukan oleh keahliannya menguasai cabang ilmu tertentu;
(3) Jumlah muridnya merupakan indikasi kebesaran kiai yang terlihat banyaknya murid yang mengaji kepadanya;
(4) Cara mengabdi kiai kepada masyarakat.
Menurut Moh. Akhyadi, ada tiga hal utama yang melatar belakangi sentralisnya peran kiai dalam pesantren. Pertama, keunggulan dibidang ilmu dan kepribadian yang dapat dipercaya dan diteladani. kedua, keberadaan Kiai sebagai pemilik tanah wakaf, pendiri pesantren dan ketiga, kultur pesantren yang sangat kondusif bagi terciptanya pola hubungan kiai-santri yang bersifat atasan bawahan, dengan model komunikasi satu arah: sistem komando, sehingga mereka pun menjadikan kiai sebagai sesepuh dan tempat mengembalikan berbagai persoalan hidup. Berdasarkan proses tersebut, dapat kita ketahui bahwa untuk menjadi seorang kiai setiap orang mempunyai kesempatan bilamana mampu memenuhi berbagai kriteria diatas dan dapat diterima oleh masyarakat.

e. Pengajian kitab-kitab klasik
Unsur pokok lain yang membedakan antara pondok pesantren dengan lembaga pendidikan lain adalah bahwa dalam pondok pesantren ini diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang oleh Ulama terdahulu. Di kalangan pesantren kitab-kitab klasik ini bisa disebut dengan kitab kalangan pesantren dengan sebutan kitab gundul.

DASAR DASAR NILAI KEPESANTRENAN (TUJUAN FUNGSI DAN NILAI KEHIDUPAN DALAM PONDOK PESANTREN)
Nilai-nilai kepesantrenan yang didasarkan pada hadits nabi Muhammad SAW. :
من يردالله به خيرا يفقهه في الدين   Yang mana hadits tersebut adalah sebagai acuan utama suatu pondok pesantren dalam mencapai tujuan, menjalankan fungsi serta nilai-nilai kehidupan pesantren.
Benarkah kita telah menyelenggarakan pendidikan? Lantas, bagaimana menjelaskan tindakan premanisme, korup, asusila, dan tindakan amoral dan melanggar hukum lainnya yang justru dilakukan oleh orang-orang terdidik dan dari institusi-institusi dan lembaga terhormat di negeri kita? Dimana letak kesalahan pendidikan selama ini?
Dalam menyikapi realitas pendidikan sebagaimana disinggung, menarik untuk dikaji pula sebuah sikap setengah hati bangsa kita. Di tengah konsensus bahwa sumber krisis berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia adalah krisis moral, tapi sejauh ini, tidak ditemukan gerakan yang menyeluruh dan mendasar yang telah kita lakukan untuk mengentaskannya. Apakah kita telah benar-benar serius untuk dapat meyelesaikan masalah yang kita hadapi?
Pada titik ini, konsepsi pendidikan Islam, yang meletakkan adab dan akhlak sebagai fondasinya, sangat tepat dikemukakan. Sebelum melangkah lebih jauh, segera harus digarisbawahi bahwa adab dan akhlak hendaknya tidak dipahami sebagai dasar-dasar moral tanpa bentuk-bentuk praktis dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana adab dan akhlak juga tidak boleh dipahami sebatas tata krama dan etika praktis, sehingga tidak menyentuh nilai-nilai kecendikiawanan dan tradisi keintelektualan yang menjadi basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan adab dan akhlak di sini adalah kualitas-kualitas mental, spiritual, sikap dan perilaku dan yang mencakup itu semua.
Pendidikan Islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun tulisan ulama yang membahas thalab al-ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini.
Al-Husain ibn Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad! Patut dicatat bahwa majlis-majlis ilmu pada masa itu, sebagaimana dilaporkan Imam az-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh, dalam pendidikan Islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain. Pendahulu-pendahulu saya, tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun. Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib as-Syahid (w. 203 H.), dll. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah mu-addib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan Al-Quran, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.
Penekanan pada aspek adab dan akhlak dalam dalam pendidikan Islam tersebut tampaknya karena, dalam perspektif Islam, belajar bukanlah demi dan untuk belajar itu sendiri. Tapi belajar dianggap sebagai bagian dari usaha mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri.
Imam as-Syafii menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan syair:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي #  فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين

Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.
Di sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan Islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam menilai, jujur, sportif, dsj, nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal, bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih awal.

PENTAFSHILAN NILAI NILAI KEPESANTRENAN
Moral sebagai pokok nilai-nilai kepesantrenan.
Setidak-tidaknya ada delapan ciri nilai karakter (Moral) dalam pendidikan pesantren, sebagai berikut:
Ada hubungan yang akbrab antara santri dengan kiainya. Kiai sangat memperhatikan para santrinya. Hal ini dimungkinkan karena mereka sama-sama tinggal dalam satu kompleks dan sering bertemu, baik di saat belajar maupun dalam pergaulan sehari-hari.
Kepatuhan santri kepada kiai. Para santri mengganggap bahwa menantang kiai, selain tidak sopan juga dilarang agama; bahkan tidak akan memperoleh berkah karena durhaka kepada guru.
Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren. Hidup mewah hampir tidak pernah dialami, bahkan tak sendikit santri yang hidupnya terlalu sederhana/hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatannya.
Kemandirian amat terasa di pesantren. Para santri mencuci pakaian sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri, dan memasak pun sendiri.
Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan (ukhuwah) sangat mewarnai pergaulan pesantren. Ini disebabkan, selain standar dan pola kehidupan yang merata di kalangan santri, juga karena mereka harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaaan yang sama, seperti salat berjamaah, membersihkan masjid dan ruang belajar, memasak, dll.
Disiplin sangat dianjurkan di pesantren. Pagi hari antara pukul 04.30 atau pukul 05.00, kiai sudah membangunkan para santri untuk melaksanakan salat subuh berjamaah. Tidak semua pesantren menerapkan kedisiplinan seperti ini; ada pesantren yang memberikan kebebasan kepada santrinya untuk menentukan sendiri apa yang seharusnya dilakukan. Namun, pembinaan disiplin sejak masa belajar di pesantren akan memberikan pengaruh yang besar pada diri santri; terutama pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah satu segi pendidikan yang diperoleh para santri di pesantren. Ini merupakan pengaruh dari kebiasaan puasa sunat, zikir dan itikaf, salat tahajud di malam hari, dan latihan-latihan spiritual lainnya.
Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu kiai kepada murid atau santrinya untuk mengajarkan sebuah teks kitab setelah dikuasai penuh. Pemberian ijazah ini biasanya diucapkan secara lisan; walupun kadang kala juga ditulis. Catatannya hanya ada pada kiai.
Nilai-nilai karakter utama yang ditumbuh kembangkan di kalangan santri, antara lain patuh kepada kiai (guru), hidup hemat dan sederhana, mandiri di segala hal, berjiwa tolong-menolong, disiplin; sangat dianjurkan dan diterapkan dengan konsisten di pesantren. Ini merupakan cermin terlaksananya pembangunan karakter bagi generasi muda.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh hasan bashri(2001), ada 12 nilai dan prinsip utama yang dipegang teguh oleh pesantren:
Theocentric
Sukarela
Kesederhanaan
Kearifan
Kolektivitas
Mengatur kegiatan bersama
Kebebasan yang terpimpin
Kemandirian
Pesantren tempat mencari ilmu dan mengabdi
Mengamalkan ajaran agama
Belajar dipesantren bukan untuk mencari Ijazah
Restu kyai adalah yang paling utama

UNIVERSALILSASI NILAI NILAI KEPESANTRENAN DALAM SISDIKNAS
Universalisasi moralitas pesantren (sebagai nilai pokok dari beberapa nilai kepesantrenan yang ada) agar menjadi dasar Sisdiknas dalam menetukan sikap dan keputusan terhadap berbagai aspek.
Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1)  Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2)  Kurikulum pondok pesantren; dan 3)  Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan.  Kegiatannya terangkum dalam Tri Dharma Pondok pesantren yaitu: 1)  Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2)  Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3)  Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
            Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1)  Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2)  Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3)  Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4)  Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5)  Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6)  Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.
Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1)  Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2)  Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3)  Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4)  Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1)  Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2)  Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3)  Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)  Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1)  Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2)  Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1)  Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2)  Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3)  Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4)  Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005  2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot  atau terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

AKTUALISASI NILAI NILAI KEPESANTRENAN TERHADAP SISDIKNAS

Refleksi tentang tujuan dan fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No. 20/2003.

UU No 20 Tahun 2003
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pondok pesantren sebagai sub-sistem pendidikan nasional di Indonesia merupakan bagian integral dari lembaga keagamaan yang secara unik memiliki potensi yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya. Hal tersebut dapat disimak dari uraian sebelumnya bahwa eksistensi pondok pesantren yang menegaskan bahwa dari segi managament dan pengelolaannya bersentuhanlangsung dengan pendekatan keagamaan. Ini berkaitan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang beberapa pasalnya menekankan penyelenggaraan pendidikan keagamaan, seperti, pasal 30 ayat (1) bahwa:
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.”
Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan pada pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa :
Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli agama dan menjalankan ajaran agamanya
Pendidikan keagamaan yang dimaksud di atas, adalah pondok pesantren sebagaimana yang diatur dalam PP. 55 pasal 26 ayat (2) yang menyelenggarakan pendidikan diniyah pada tingkat dasar dan menengah. Di samping itu pondok pesantren yang tujuannya untuk menciptakan insan yang taqwa serta konponen lainnya sebagai manusia yang memiliki keahlian dan keterampilan merupakan indikator utama mengenai peran pesantren dalam sub sistem pendidikan Nasional di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dari segi kontekstualisasi UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003, pada bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan di mana UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tersebut, terdiri dari dua pasal yakni pasal 2 dan 3. Dua pasal dalam UU Sisdikanas No. 20 Tahun 2003,secara berturut-turut menjelaskan tentang dasar pendidikan nasional, yakni UUD 1945, kemudian fungsi dan tujuan pendidikan nasional yakni :
Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupanbangsa,bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menajdi warga negara yang demokratis sertabertanggung jawab
Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahami bahwa inti utama tujuan pendidikan nasional kita adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam yang menjadi tujuan pondok pesantren sebagaimana yang dirumuskan Ahmad Farhani, yakni :
Tujuan utama diterapkannya pendidikan Islam adalah untuk mencapai tujuan utama agama Islam itu sendiri. Karena itu, (pendidikan Islam) diharapkan mampu membentuk kepribadian mukmin yang patuh kepada Allah, dan bertaqwa kepada-Nya, serta beribadah kepada-Nya dengan baik demi meraih kebahagiaan di akhirat dan kesejahteraan (hidupnya) di dunia.
Pribadi mukmin yang dimaksud dalam pernyataan di atas memiliki makna sama dengan redaksi agar menjadi manusia yang beriman dan beraqwa sebagaimana disebutkan dalam UU Sisdiknas, yang sasarannya adalah pada pembentukan pribadi muslim yang beriman dan bertakwa.
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Āli Imrān (3): 102, sebagai berikut yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam”.
Seruan kepada orang-orang beriman untuk bertakwa, bermuara pada kemusliman sebagaimana yang termaktub dalam ayat di atas, mengindikasikan bahwa orang yang beriman hendaknya menumbuhkan karakter taqwā pada dirinya. Djamaluddin dan Abdullah Aly menjelaskan bahwa konteks iman dan takwa dalam UU Sisdiknas tersebut memiliki tujuh perincian lebih lanjut, yaitu :
Mempercayai dan mengamalkan ajaran Tuhan dalam bidang ritual;
Berbudi pekerti luhur;
Berpengetahuan dan berketerampilan;
Sehat jasmani dan rohani;
Berkepribadian yang mantap;
Mandiri; dan
Memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Bila diperhatikan ketujuh perincian ini, ternyata telah mencerminkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang telah dikutip dalam UU Sisdiknas.Pada sisi lain, tujuan inti dari UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berkaitan pendidikan agama Islam yang diperankan pondok pesantren, sejalan dengan sila utama dan pertama Pancasila sebagai asas bangsa ini, yakni Ketuhahan Yang Maha Esa. Tujuan pendidikan nasional Indonesia ini, berdampak lagi pada tujuan dalam rangka pengembangan kualitas pengetahuan, keterampilan, atau kemampuan dan sikap yang harus dimiliki oleh setiap peserta didik bangsa Indonesia. Jadi tujuan pendidikan nasional yang juga menjadi tujuan dari pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah berupaya pada penciptaan, pelaksanakan, perwujudan dan pemeliharaan perkembangan cita-cita kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan pada pengamalan ajaran Islam secara utuh dan menyeluruh, dan secara bertanggung jawab.
Selanjutnya dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pada bab III adalah prinsip penyelenggaraan pendidikan yang terdiri atas enam ayat. Naskah enam ayat tersebut adalah:
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa
Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna
Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat
Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, mem-bangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran
Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat
Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Di dalamnya termaktub pula tentang kedudukan Pendidikan Agama, yakni pendidikan di pondok pesantren terutama bila dicermati ayat 1 yakni :Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Nilai Keagamaan dalam kutipan tersebut dalam konteks Islam adalah tentu saja dimaksudkan sebagai pendidikan yang berbasis pesantren yang sarat dengan nilai-nilai keislaman. Lebih dari itu, dan bila dianalisis lebih lanjut, tampak bahwa muatan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang berkenaan dengan pendidikan keagamaan selalu berfokus pada satu tema yang saling terkait antara satu dengan lainnya.Khususnya pada bab IV yang menjadi penekanannya adalah pada masalah peserta didik yang batasannya pada ayat 1 bahwa setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Naskah inilah yang menjadi cita-cita luhur bagi setiap pesantren untuk mendalami ilmu-ilmu agama agar tercipta generasi yang cerdas secara intelektual dan memiliki iman taqwa yang handal serta moralitas sesuai dengan ajaran Islam.
Naskah-naskah bab selanjutnya dalam UU Sisdiknas adalah tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan dalam yang dijelaskan dalam bab VI, terdiri atas sebelas bagian, khusus pada bagian kesembilan menjelaskan tentang pendidikan keagamaan yakni pasal 30 (5 ayat). Ini berarti bahwa kedudukan pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki peran yang urgen dan signifikan sehingga perlu pengembangan lebih lanjut.
Dalam upaya pengembangan pondok pesantren, tampaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu pengembangan dari segi eksternal dan dari segi internal. Pengembangan dari aspek eksternal dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu;
Tetap menjaga agar citra pondok pesantren dimata masyarakat. Khususnya, mutu keluaran atau output pondok harus mempunyai nilai tambah dari keluaran pendidikan lainnya yang sederajat;
Santri-santri dalam pondok hendaknya dipersiapkan untuk mampu berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk. Setidaknya proses itu dapat dimulai sejak awal hingga diprediksi tingkat keompetensinya sudah mampu;
Pondok hendaknya terbuka terhadap setiap perkembangan pengetahuan dan temuan-temuan ilmiah dalam masyarakat, termasuk temuan baru dalam dunia pendidikan.

Sedangkan pengembangan dari segi internal yang dapat dilakukan, yaitu;
Kurikulum pondok pesantrenharus menepis anggapan yang bersifat dikotomi dan memisahkan pengetahuan agama dengan pengetahuan umum. Dalam konteks kekinian, kurikulum sebaiknya berdiferensiasi, yaitu kurikulum yang direncanakan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan anak didik, kurikulum ini sekaligus dapat menyatuhkan dengan baik antara aspek intelektual emosional, agama spritual, dan kinerja psikomotor;
Tenaga pengajar pada pondok pesantren. Untuk pengembangan dimasa mendatang, kiranya perlu kriteria-kriteria khusus dalam merekrut tenaga pengajar. Setidaknya, ia mempunyai pengetahuan agama yang cukup mantap,namun juga profesional dalam bidang ilmu yang diajarkan dan memiliki kemampuan mentransfer ilmunya dengan baik.
Sarana pendidikan di pondok, karena sarana sangat menentukan, hampir bisa dipastikan dengan sarana yang lengkap dapat mencapai hasil yang maksimal. Misalnya ruang belajar yang baik, perpustakaan yang lengkap dan media belajar yang lainnya.

Dengan mengembangkan pondok pesantren dari segi internal dan eksternalnya akan memberikan warna dan corak khas dalam sub sistem pendidikan Nasional di Indonesia, apalagi secara kultural pondok pesantren telah diterima dan ikut serta membentuk dan memberikan peran dalam kehidupandan pemberdayaan masyarakat.Fungsinya sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia dianggap banyak memberikan andil dalam perjalanan bangsa dan kenegaraan, baik pada masa kolonial hingga sekarang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa eksistensi lembaga pendidikan pesantren masih dibutuhkan dalam rangka mencerdaskan dan memberdayakan bangsa. Akhirnya, warga masih tetap diberikan pilihan untuk menyekolahkan putra puttri mereka di lembagapendidikan yang diinginkan, termasuk pilihannya ke pesantren. Potensi pondok pesantren dalam upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk upaya transformasi sosial, sangatlah besar. Setidaknya ada beberapa alasan, yaitu :
Pertama; potensi kuantitatif yang dapat diberdayakan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Keterikatan pondok pesantren dengan masyarakat yang sangat mengakar melalui kharisma kyainya sekaligus tempat kepercayaan masyarakat pendukungnya merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup pondok pesantren sekarang ini.
Upaya pemberdayaan pondok pesantren sebagai pusat pengembangan potensi umat, menjadikan sasaran pembangunan pendidikan nasional yang signifikan.
Sebagai lembaga pengembangan dan pembentukan watak, pesantren dapat terus berdampingan hidup dengan masyarakat.

Next Post Previous Post

Advertisement

Advertisement