Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia
Makalah Pendidikan Islam Yang Admin Saef-sworofgod Posting kali ini berjudul
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN ISLAM
SEBAGAI PARADIGMA ALTERNATIF PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB : I
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia, secara umum, seringkali diklaim kurang mampu dalam menjawab tantangan, perubahan, dan tuntutan masyarakat. Pendidikan yang diyakini oleh kalangan ahlinya menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan visi kehidupan dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu menghadapi perubahan, masih jauh dari yang diharapkan. Sehingga out-put nya kurang memiliki kesiapan riil bagi kepentingan profesi dan juga pengembangan bagi disiplinnya.
Pendidikan yang seharusnya berwatak dinamis kreatif telah dijerat oleh kepentingan-kepentingan emosional yang sifatnya semu. Banyak muatan yang sifatnya “sesaat” telah dirakit sedemikian rupa seolah menjadi inti yang harus digeluti. Sehingga kritik tajam pada waktu ini perhatian dunia pendidikan pada umumnya, adalah sampai pada waktu ini perhatian dunia pendidikan selalu disibukkan pada masalah-masalah teknis yang sangat dangkal, seperti praktek-praktek pendidikan agar lulusnya mampu berproduksi secara nyata, siap pakai, sesuai dengan perkembangan industri, dan semacamnya, tanpa mempertimbangkan lagi aktivitas pendidikan yang lebih esensial dan substansial.
Sampai kapan pun sulit bagi dunia pendidikan untuk memproduk lulusannya agar siap pakai. Orang sekolah bukan untuk menjadi tukang, tetapi mendidik orang untuk “menjadi” (to be) dirinya. Karena bagaimanapun teknologi terus berkembang, oleh karena itu, dunia pendidikan harus membekali peserta didik dan out-put pendidikan untuk siap kembang (ready for develop), siap didik (ready for learning), dan siap latih (ready for train).
Untuk melihat peluang pendidikan Islam di kancah globalisasi, tampaknya sangat bermakna kalau kita lebih dahulu bagaimana pergaulan global itu dijalankan.
Dewasa ini, peradaban dunia secara keseluruhan berada dalam tatanan global yang secara mendasar ditopang oleh perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi. Semuanya ini membuat dunia semakin global dan sempit karena mudahnya dijangkau. Di sisi lain abad ini disebut secara pasca modern, suatu keadaan yang dapat dipandang sangat demokratis. Disebut sangat demokratis karena abad ini memberikan kesempatan terhadap semua untuk berbicara membangun suatu peradaban semesta. Inilah fenomena globalisasi, yang secara sederhana dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian budaya, politik, ekonomi, dan informasi nasional bangsa-bangsa ke ruang lingkup dan tatanan baru sistem jaringan dunia global.
Pada tahun 1990, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000, merumuskan sepuluh kecenderungan peralihan yang secara mendasar mengubah wajah kehidupan dunia global. Kesepuluh trend tersebut adalah: Pertama, ledakan ekonomi global dan globalisasi ekonomi. Kedua, kebangkitan kembali seni budaya. Ketiga, munculnya ekonomi global sosialis. Keempat, berkembangnya gaya hidup global dan nasionalisme kultural. Kelima, swastanisasi negara-negara sejahtera. Keenam, bangkitnya wilayah pasifik. Ketujuh, bangkitnya kepemimpinan wanita. Kedelapan, kejayaan era biologi. Kesembilan, kebangkitan kembali era agama. Kesepuluh, berjayanya individual.
Kemudian pada tahun 1996, Naisbitt kembali mengejutkan dengan ramalannya tentang fenomena yang akan terjadi di kawasan Asia di era global. Dalam buku Megatrends Asia, ia mengidentifikasi delapan kecenderungan utama yang sedang dan akan berlangsung di Asia dan berpengaruh besar pada perkembangan dunia kini dan masa depan. Kedelapan kecenderungan itu adalah: Pertama, peralihan dari negara bangsa (nation state) menuju sistem jaringan. Kedua, peralihan dari tradisi-tradisi menuju pilihan-pilihan. Ketiga, peralihan dari orientasi ekspor menuju orientasi konsumen. Keempat, peralihan dari kontrol pemerintah menuju orientasi pasar. Kelima, peralihan dari pertanian menuju kota super. Keenam, peralihan dari padat karya menuju teknologi tinggi. Ketujuh, peralihan dari dominasi laki-laki menuju kebangkitan perempuan. Kedelapan, peralihan dari Barat menuju Timur.
Setelah beberapa tahun berlalu dari terbitnya kedua buku Naisbitt di atas, kini kita bisa menyaksikan bahwa sampai pada tingkat tertentu, prediksi tersebut telah banyak yang menjadi kenyataan. Sebagian mungkin belum, tapi indikasi dan kecenderungan ke arah itu sudah mulai terlihat atau semakin jelas penampakannya.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa secara umum pergaulan global yang terjadi saat ini dan yang akan datang dapat dirumuskan ciri-cirinya sebagai berikut: Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kekuatan (balance of interest). Kedua, hubungan antara negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling ketergantungan (interdependency), hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar-menawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.
Kehidupan global akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini kita lihat betapa kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa batas ini. Lihat saja kepada berbagai bentuk life style yang mulai melanda anak-anak, generasi muda, orang dewasa, orang tua, baik yang berprofesi sebagai pelajar, pegawai negeri, karyawan, ekonom, politisi, dan bahkan golongan agamawan. Cara hidup global, tontonan global, makanan global, cita rasa global, telah memasuki kehidupan masyarakat kita.
Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan di atas, di samping mendatangkan sejumlah kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan sejumlah efek negatif yang sangat merepotkan di sana-sini. Dampak negatif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan tidak rasional. Kedua, kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan manusia. Ketiga, peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi urusan sains (sekularistik). Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan tindakan. Kelima, gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, individulaistik. Keluarga pada umumnya kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, tidak lagi bertanggung jawab pada keluarga. Ikatan moral pada keluarga semakin lemah, dan keluarga dianggap sebagai lembaga teramat tradisional. Ketujuh, terjadinya frustasi eksistensial, dengan ciri-cirinya: 1) hasrat yang berkelebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang untuk berkuasa, bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure), yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan mengejar kenikmatan seksual (the will to sex); 2) kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, hidupnya tidak bermakna, dan lain-lain; 3) neuroses nogenik, perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tidak mempunyai tujuan, dan sebagainya. Keadaan semacam ini semakin banyak melanda manusia, hari demi hari. Kedelapan, terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin, konsumeris, kekurangan, dan sebagainya.
Globalisasi adalah hal yang tidak dapat dihindari dan memang tidak perlu untuk dihindari. Persoalannya adalah bagaimana menampilkan visi pendidikan Islam dalam kancah global tersebut. Agar pendidikan Islam dapat berperan dalam masyarakat global tersebut marilah kita coba untuk mencermati dan merenungkan kembali bagaimana filsafat, teori, dan kurikulum pendidikan Islam sekarang. Karena variabel tersebut merupakan substansi yang harus ada dalam kegiatan pendidikan, yang akan memberikan arah dan model macam apa yang diinginkan oleh pendidikan itu sendiri.
B. PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya, kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dari pendidikannya. Pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga, merosotnya indeks pembangunan pada tahun 2002. Akankan nasib KBK yang sedang menjadi kiblat pengembangan kurikulum pendidikan kita memuai nasib yang sama setelah ganti menteri dan habis proyeknya?
Belum lagi perubahan-perubahan kebijakan sekolah kejuruan, IKIP yang berubah jadi Universitas, IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), SMA menjadi SMU, wajib bejalar 9 tahun, pendidikan dasar 9 tahun, Ebtanas, NEM, NUN, dan masih banyak lagi. Sudahkah kebijakan tersebut dipikirkan secara matang dan mempertimbangkan strategi jangka panjang yang jelas? Seringkali kebijakan dibuat setelah pejabat mengunjungi suatu negara, mengamati apa yang dilakukan negara itu, dan kemudian mengadopsi kebijakan tersebut seperti apa yang dilihatnya di luar negeri, tanpa mempertimbangkan kultur, kompetensi, komitmen, dan konsistensi.
Untuk menentukan visi pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek, maka perlu direnungkan kembali aspek filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsafat pendidikan diyakini dapat menentukan arah pendidikan suatu bangsa. Jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsafat pendidikannya.
Bangsa Indonesia, sebenarnya, telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari perilaku kehidupannya; namun demikian formulasi dari nilai-nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsafat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan. Meskipun sangat sukar merumuskan filsafat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?” telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, filosofi, psikolog, dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang “siapa manusia itu?” maka semakin kelihatan betapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Makanya Alexis Carrel dalam bukunya Man, the Unknown, menjuluki manusia sebagai sebuah misteri.
Aristoteles (384 — 322 SM), seorang filsuf besar Yunani Kuno, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Sementara D.C. Mulder (seorang sarjana Protestan), manusia adalah makhluk yang berakal, akallah yang merupakan perbedaan pokok di antara manusia dan binatang; akallah yang menjadi dasar dari segala kebudayaan. Sementara menurut Marxisme (ajaran Karl Marx) manusia adalah makhluk yang memakai alat-alat, makhluk yang bekerja, makhluk yang berproduksi.
Berbeda dengan konsepsi para filosofi dan ilmuwan di atas, dalam konsep Islam, manusia terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat, dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosofi Islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan juga ada jiwa. Tetapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk itu mati, jiwa pun ikut hancur.
Lebih terinci lagi, al-Qur'an menyebut manusia dengan menggunakan tiga kategori: Pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya terdiri dari struktur organ-organ fisik (Q.S. al-Hijr [15]: 28; al-Tin [95]: 4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah (Q.S. al-Rum [30]: 30), qalb (Q.S. al-Hajj [22]: 46), dan akal (Q.S. Ali Imran [3]: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya yang berbeda dengan makhluk lainnya (Q.S. al-Isra [17]: 70). Tetapi bila potensi rohani dan akal tersebut tidak digunakan, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (Q.S. al-Araf [7]: 179; Q.S. al-Furqan [25]: 44), sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan amalnya (Q.S. al-Tin [95]: 6). Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al-naas) mempunyai tugas sosial dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai Abdullah (hamba Allah) (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56), tetapi juga sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) (Q.S. al-Baqarah [2]: 30; Q.S. Yunus [10]: 14), dengan mandat untuk mewujudkan kemakmuran (Q.S. Hud [11]: 61) dan kebahagiaan (Q.S. al-Ahzab [33]: 71; Q.S. al-Rad [13]: 29) dalam kehidupan di dunia dan akhirat (Q.S. al-Qashash [28]: 7). Manusia dengan fungsinya sebagai makhluk sosial tersebut harus bisa mengembangkan nilai-nilai insani yang islami dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut meliputi persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (taawun) saling kenal mengenal (taaruf), perdamaian (islah), kasih sayang (rahmat), kebaikan (ihsan), toleransi (tasamuh), dan pemaaf (afwun).
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa timur mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong; bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan dan santun terhadap orang lain, ramah kepada sesama, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan, dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, keterampilan, produktivitas dan daya saingnya. Untuk itu semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintahan di semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Lebih terperinci, tujuan pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No.II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni, pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin, dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.
Dalam UUSPN No.2 tahun 1989 dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Begitu juga dalam UUSPN tahun 2003, yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dijelaskan: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan kemampuan serta pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia. Sementara pada pasal 4, yang menjelaskan tentang tujuan, dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita berpedoman pada landasan yuridis pendidikan nasional sebagaimana diuraikan di atas, tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan kehidupan individu, kehidupan sosial, dan kehidupan profesional. Kehidupan individu bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan individu-individu, seperti agama, hak, tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, dan persiapan untuk menjalani kehidupan dunia akhirat. Kehidupan sosial bisa meliputi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan profesional bisa meliputi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan.
SEBAGAI PARADIGMA ALTERNATIF PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB : I
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia, secara umum, seringkali diklaim kurang mampu dalam menjawab tantangan, perubahan, dan tuntutan masyarakat. Pendidikan yang diyakini oleh kalangan ahlinya menyimpan kekuatan yang luar biasa untuk menciptakan keseluruhan visi kehidupan dan dapat memberikan informasi yang paling berharga mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu menghadapi perubahan, masih jauh dari yang diharapkan. Sehingga out-put nya kurang memiliki kesiapan riil bagi kepentingan profesi dan juga pengembangan bagi disiplinnya.
Pendidikan yang seharusnya berwatak dinamis kreatif telah dijerat oleh kepentingan-kepentingan emosional yang sifatnya semu. Banyak muatan yang sifatnya “sesaat” telah dirakit sedemikian rupa seolah menjadi inti yang harus digeluti. Sehingga kritik tajam pada waktu ini perhatian dunia pendidikan pada umumnya, adalah sampai pada waktu ini perhatian dunia pendidikan selalu disibukkan pada masalah-masalah teknis yang sangat dangkal, seperti praktek-praktek pendidikan agar lulusnya mampu berproduksi secara nyata, siap pakai, sesuai dengan perkembangan industri, dan semacamnya, tanpa mempertimbangkan lagi aktivitas pendidikan yang lebih esensial dan substansial.
Sampai kapan pun sulit bagi dunia pendidikan untuk memproduk lulusannya agar siap pakai. Orang sekolah bukan untuk menjadi tukang, tetapi mendidik orang untuk “menjadi” (to be) dirinya. Karena bagaimanapun teknologi terus berkembang, oleh karena itu, dunia pendidikan harus membekali peserta didik dan out-put pendidikan untuk siap kembang (ready for develop), siap didik (ready for learning), dan siap latih (ready for train).
Untuk melihat peluang pendidikan Islam di kancah globalisasi, tampaknya sangat bermakna kalau kita lebih dahulu bagaimana pergaulan global itu dijalankan.
Dewasa ini, peradaban dunia secara keseluruhan berada dalam tatanan global yang secara mendasar ditopang oleh perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi. Semuanya ini membuat dunia semakin global dan sempit karena mudahnya dijangkau. Di sisi lain abad ini disebut secara pasca modern, suatu keadaan yang dapat dipandang sangat demokratis. Disebut sangat demokratis karena abad ini memberikan kesempatan terhadap semua untuk berbicara membangun suatu peradaban semesta. Inilah fenomena globalisasi, yang secara sederhana dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian budaya, politik, ekonomi, dan informasi nasional bangsa-bangsa ke ruang lingkup dan tatanan baru sistem jaringan dunia global.
Pada tahun 1990, John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000, merumuskan sepuluh kecenderungan peralihan yang secara mendasar mengubah wajah kehidupan dunia global. Kesepuluh trend tersebut adalah: Pertama, ledakan ekonomi global dan globalisasi ekonomi. Kedua, kebangkitan kembali seni budaya. Ketiga, munculnya ekonomi global sosialis. Keempat, berkembangnya gaya hidup global dan nasionalisme kultural. Kelima, swastanisasi negara-negara sejahtera. Keenam, bangkitnya wilayah pasifik. Ketujuh, bangkitnya kepemimpinan wanita. Kedelapan, kejayaan era biologi. Kesembilan, kebangkitan kembali era agama. Kesepuluh, berjayanya individual.
Kemudian pada tahun 1996, Naisbitt kembali mengejutkan dengan ramalannya tentang fenomena yang akan terjadi di kawasan Asia di era global. Dalam buku Megatrends Asia, ia mengidentifikasi delapan kecenderungan utama yang sedang dan akan berlangsung di Asia dan berpengaruh besar pada perkembangan dunia kini dan masa depan. Kedelapan kecenderungan itu adalah: Pertama, peralihan dari negara bangsa (nation state) menuju sistem jaringan. Kedua, peralihan dari tradisi-tradisi menuju pilihan-pilihan. Ketiga, peralihan dari orientasi ekspor menuju orientasi konsumen. Keempat, peralihan dari kontrol pemerintah menuju orientasi pasar. Kelima, peralihan dari pertanian menuju kota super. Keenam, peralihan dari padat karya menuju teknologi tinggi. Ketujuh, peralihan dari dominasi laki-laki menuju kebangkitan perempuan. Kedelapan, peralihan dari Barat menuju Timur.
Setelah beberapa tahun berlalu dari terbitnya kedua buku Naisbitt di atas, kini kita bisa menyaksikan bahwa sampai pada tingkat tertentu, prediksi tersebut telah banyak yang menjadi kenyataan. Sebagian mungkin belum, tapi indikasi dan kecenderungan ke arah itu sudah mulai terlihat atau semakin jelas penampakannya.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa secara umum pergaulan global yang terjadi saat ini dan yang akan datang dapat dirumuskan ciri-cirinya sebagai berikut: Pertama, terjadinya pergeseran dari konflik ideologi dan politik ke arah persaingan perdagangan, investasi, dan informasi; dari keseimbangan kekuatan (balance of power) ke arah keseimbangan kekuatan (balance of interest). Kedua, hubungan antara negara/bangsa secara struktural berubah dari sifat ketergantungan (dependency) ke arah saling ketergantungan (interdependency), hubungan yang bersifat primordial berubah menjadi sifat tergantung kepada posisi tawar-menawar (bargaining position). Ketiga, batas-batas geografis hampir kehilangan arti operasionalnya. Kekuatan suatu negara ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Keempat, persaingan antar negara sangat diwarnai oleh perang penguasaan teknologi tinggi. Setiap negara terpaksa menyediakan dana yang besar bagi penelitian dan pengembangan. Kelima, terciptanya budaya dunia yang cenderung mekanistik, efisien, tidak menghargai nilai dan norma yang secara ekonomi tidak efisien.
Kehidupan global akan melahirkan kebudayaan global. Dewasa ini kita lihat betapa kebudayaan global telah mulai melanda kehidupan global yang tanpa batas ini. Lihat saja kepada berbagai bentuk life style yang mulai melanda anak-anak, generasi muda, orang dewasa, orang tua, baik yang berprofesi sebagai pelajar, pegawai negeri, karyawan, ekonom, politisi, dan bahkan golongan agamawan. Cara hidup global, tontonan global, makanan global, cita rasa global, telah memasuki kehidupan masyarakat kita.
Pergaulan global dengan cirinya seperti diuraikan di atas, di samping mendatangkan sejumlah kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan sejumlah efek negatif yang sangat merepotkan di sana-sini. Dampak negatif tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, pemiskinan nilai spiritual. Tindakan sosial yang tidak mempunyai implikasi materi (tidak produktif) dianggap sebagai tindakan tidak rasional. Kedua, kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi makhluk material, yang menyebabkan nafsu hayawaniyyah menjadi pemandu kehidupan manusia. Ketiga, peran agama digeser menjadi urusan akhirat sedang urusan dunia menjadi urusan sains (sekularistik). Keempat, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan, dan tulisan, tetapi tidak hadir dalam perilaku dan tindakan. Kelima, gabungan ikatan primordial dengan sistem politik modern melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme. Keenam, individulaistik. Keluarga pada umumnya kehilangan fungsinya sebagai unit terkecil pengambil keputusan. Seseorang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, tidak lagi bertanggung jawab pada keluarga. Ikatan moral pada keluarga semakin lemah, dan keluarga dianggap sebagai lembaga teramat tradisional. Ketujuh, terjadinya frustasi eksistensial, dengan ciri-cirinya: 1) hasrat yang berkelebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang untuk berkuasa, bersenang-senang untuk mencari kenikmatan (the will to pleasure), yang biasanya tercermin dalam perilaku yang berlebihan untuk mengumpulkan uang (the will to money), untuk bekerja (the will to work), dan mengejar kenikmatan seksual (the will to sex); 2) kehampaan eksistensial berupa perasaan serba hampa, hidupnya tidak bermakna, dan lain-lain; 3) neuroses nogenik, perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis, tidak mempunyai tujuan, dan sebagainya. Keadaan semacam ini semakin banyak melanda manusia, hari demi hari. Kedelapan, terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya dan miskin, konsumeris, kekurangan, dan sebagainya.
Globalisasi adalah hal yang tidak dapat dihindari dan memang tidak perlu untuk dihindari. Persoalannya adalah bagaimana menampilkan visi pendidikan Islam dalam kancah global tersebut. Agar pendidikan Islam dapat berperan dalam masyarakat global tersebut marilah kita coba untuk mencermati dan merenungkan kembali bagaimana filsafat, teori, dan kurikulum pendidikan Islam sekarang. Karena variabel tersebut merupakan substansi yang harus ada dalam kegiatan pendidikan, yang akan memberikan arah dan model macam apa yang diinginkan oleh pendidikan itu sendiri.
B. PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya, kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia ini tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dari pendidikannya. Pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa ini. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga, merosotnya indeks pembangunan pada tahun 2002. Akankan nasib KBK yang sedang menjadi kiblat pengembangan kurikulum pendidikan kita memuai nasib yang sama setelah ganti menteri dan habis proyeknya?
Belum lagi perubahan-perubahan kebijakan sekolah kejuruan, IKIP yang berubah jadi Universitas, IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), SMA menjadi SMU, wajib bejalar 9 tahun, pendidikan dasar 9 tahun, Ebtanas, NEM, NUN, dan masih banyak lagi. Sudahkah kebijakan tersebut dipikirkan secara matang dan mempertimbangkan strategi jangka panjang yang jelas? Seringkali kebijakan dibuat setelah pejabat mengunjungi suatu negara, mengamati apa yang dilakukan negara itu, dan kemudian mengadopsi kebijakan tersebut seperti apa yang dilihatnya di luar negeri, tanpa mempertimbangkan kultur, kompetensi, komitmen, dan konsistensi.
Untuk menentukan visi pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek, maka perlu direnungkan kembali aspek filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsafat pendidikan diyakini dapat menentukan arah pendidikan suatu bangsa. Jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsafat pendidikannya.
Bangsa Indonesia, sebenarnya, telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari perilaku kehidupannya; namun demikian formulasi dari nilai-nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsafat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan. Meskipun sangat sukar merumuskan filsafat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?” telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, filosofi, psikolog, dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang “siapa manusia itu?” maka semakin kelihatan betapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Makanya Alexis Carrel dalam bukunya Man, the Unknown, menjuluki manusia sebagai sebuah misteri.
Aristoteles (384 — 322 SM), seorang filsuf besar Yunani Kuno, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Sementara D.C. Mulder (seorang sarjana Protestan), manusia adalah makhluk yang berakal, akallah yang merupakan perbedaan pokok di antara manusia dan binatang; akallah yang menjadi dasar dari segala kebudayaan. Sementara menurut Marxisme (ajaran Karl Marx) manusia adalah makhluk yang memakai alat-alat, makhluk yang bekerja, makhluk yang berproduksi.
Berbeda dengan konsepsi para filosofi dan ilmuwan di atas, dalam konsep Islam, manusia terdiri dari tiga unsur: tubuh, hayat, dan jiwa. Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosofi Islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan juga ada jiwa. Tetapi eksistensi jiwa di sini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk itu mati, jiwa pun ikut hancur.
Lebih terinci lagi, al-Qur'an menyebut manusia dengan menggunakan tiga kategori: Pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya terdiri dari struktur organ-organ fisik (Q.S. al-Hijr [15]: 28; al-Tin [95]: 4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah (Q.S. al-Rum [30]: 30), qalb (Q.S. al-Hajj [22]: 46), dan akal (Q.S. Ali Imran [3]: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya yang berbeda dengan makhluk lainnya (Q.S. al-Isra [17]: 70). Tetapi bila potensi rohani dan akal tersebut tidak digunakan, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (Q.S. al-Araf [7]: 179; Q.S. al-Furqan [25]: 44), sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan amalnya (Q.S. al-Tin [95]: 6). Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al-naas) mempunyai tugas sosial dan tanggung jawab sosial terhadap alam semesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai Abdullah (hamba Allah) (Q.S. al-Dzariyat [51]: 56), tetapi juga sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) (Q.S. al-Baqarah [2]: 30; Q.S. Yunus [10]: 14), dengan mandat untuk mewujudkan kemakmuran (Q.S. Hud [11]: 61) dan kebahagiaan (Q.S. al-Ahzab [33]: 71; Q.S. al-Rad [13]: 29) dalam kehidupan di dunia dan akhirat (Q.S. al-Qashash [28]: 7). Manusia dengan fungsinya sebagai makhluk sosial tersebut harus bisa mengembangkan nilai-nilai insani yang islami dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut meliputi persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (taawun) saling kenal mengenal (taaruf), perdamaian (islah), kasih sayang (rahmat), kebaikan (ihsan), toleransi (tasamuh), dan pemaaf (afwun).
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa timur mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong; bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan dan santun terhadap orang lain, ramah kepada sesama, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan, dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, keterampilan, produktivitas dan daya saingnya. Untuk itu semua warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintahan di semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Lebih terperinci, tujuan pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No.II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni, pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin, dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.
Dalam UUSPN No.2 tahun 1989 dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Begitu juga dalam UUSPN tahun 2003, yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dijelaskan: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan kemampuan serta pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia. Sementara pada pasal 4, yang menjelaskan tentang tujuan, dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita berpedoman pada landasan yuridis pendidikan nasional sebagaimana diuraikan di atas, tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan kehidupan individu, kehidupan sosial, dan kehidupan profesional. Kehidupan individu bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan individu-individu, seperti agama, hak, tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, pertumbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, dan persiapan untuk menjalani kehidupan dunia akhirat. Kehidupan sosial bisa meliputi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan profesional bisa meliputi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan.
Baca Juga : Artikel artikel Agama dan khutbah jumat Kekinian yang sangat di sini
C. PROBLEMATIKA SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Sistem pendidikan di Indonesia mewarisi dua tradisi yang telah berakar di dalam budaya masyarakat Indonesia sendiri, yakni tradisi Islam dan tradisi pendidikan modern yang dibawa oleh Belanda. Dua tradisi ini kemudian melahirkan dua model sistem dan penyelenggaraan pendidikan yang tetap bertahan hingga dewasa ini. Tradisi Islam mewarisi sistem pendidikan model pondok pesantren yang menekankan pada pengkajian dan pendalaman khazanah ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus sebagai pusat gerakan dakwah penyebaran Islam kepada masyarakat. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, para pembaru Islam memperkenalkan model pendidikan madrasah yang merupakan “jalan tengah” antara model pendidikan Islam tradisional (pesantren) dengan model pendidikan modern (sekolah). Madrasah selain tetap memberikan pengajaran ilmu-ilmu keislama, juga mulai memperkenalkan ilmu-ilmu sekuler (umum), terutama ilmu alam dan matematika, meskipun dalam porsi yang relatif kecil.
Sementara itu, pemerintah kolonial Belanda mewarisi tradisi pendidikan modern yang menekankan pada aspek pendidikan sains dan keterampilan. Pada awalnya, sekolah-sekolah yang didirikan Belanda di Nusantara lebih dimaksudkan sebagai tempat pelatihan calon-calon pegawai rendahan di dalam birokrasi lokal Belanda. Tetapi kalangan yang bisa mengikuti pendidikan Belanda sangat terbatas pada kelompok elite priyayi, keluarga ningrat dan kaya, di perkotaan. Sementara kalangan miskin pedesaan hampir tidak memperoleh kesempatan pendidikan sama sekali.
Setelah kemerdekaan, dualisme tersebut justru diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang No.4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang menjadi acuan bagi kebijakan pendidikan di Indonesia tidak secara eksplisit mengatur keberadaan madrasah. UU tersebut menegaskan dan melegalisasikan adanya dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah sekuler (umum) berada di bawah pengelolaan dan pembinaan Kementerian Pendidikan, sedangkan madrasah dikelola dan dikembangkan oleh Kementrian Agama.
Dualisme pendidikan ini selanjutnya ditegakkan di dalam ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Tahapan Pertama Tahun 1961-1968”. Dalam kaitannya dengan pendidikan, ketetapan ini antara lain menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat/sekolah dasar sampai universitas-universitas/perguruan tinggi, dengan pengertian murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya. Dalam Tap MPRS tersebut juga dijelaskan bahwa “madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom di bawah pengawasan Departemen Agama dan bukan di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”. Dengan Tap MPRS ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional.
Perbedaan naungan institusional di pemerintahan tersebut selanjutnya melahirkan perbedaan dan dualisme baik menyangkut struktur kurikulum, penyediaan tenaga pendidikan, dan pembiayaan. Struktur kurikulum madrasah hingga awal 1970-an hampir 90% bernuansa Islam. Sedangkan sekolah umum mengembangkan kurikulum yang 100 % bermuatan akademik dan pelajaran keagamaan hanya berupa kurikulum pilihan.
Upaya pemerintah untuk mengakhiri dikotomi ini sebenarnya sudah mulai dilakukan pada tahun 1972. Keppres No.34/1972, yang kemudian dipertegas dengan Inpres No.15/1974 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan latihan. Inti dari kebijakan itu hanya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaanlah yang memiliki tugas dan tanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan. Otomatis hal ini berarti lembaga pendidikan dan kejuruan yang berada di bawah Departemen Agama dan departemen lainnya harus diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun demikian, ketegangan politik antara pemerintah Orde Baru dengan umat Islam pada awal tahu 1970-an mendorong kalangan Islam untuk menolak gagasan dasar Keppres tersebut. Tetapi penolakan tersebut melahirkan kompromi besar yang menentukan masa depan madrasah, yakni lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 24 Maret 1975 No. 0371 U/1975, No.6 Tahun 1975, dan No.16 Tahun 1975. SKB tersebut memberikan dasar bagai ketetapan madrasah di bawah Departemen Agama dan transformasi internal dan kurikulum pendidikan madrasah dengan memasukkan 30% mata pelajaran akademik (non-agama).
Selanjutnya, lahirlah SKB 2 Menteri tahun 1984, yang salah satu isinya adalah revisi struktur kurikulum nasional dan kurikulum madrasah, yang kemudian dikenal dengan Kurikulum 1984. Inti dari perubahan kurikulum ini adalah kompetensi dasar (basic competence) di sekolah umum dan madrasah diupayakan harus sama agar memberikan kesempatan pada siswa lulusannya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional semakin menemukan bentuk dalam UUSPN No.2 tahun 1989. Melalui UUSPN ini, madrasah mengalami perubahan definisi, dari “sekolah agama” menjadi “sekolah umum berciri khas Islam”. Perubahan definisi ini penting artinya karena dengan demikian berarti madrasah tidak hanya telah menjadi lembaga pendidikan modern, tetapi ia jug amendapat legitimasi sepenuhnya sebagai dari sistem pendidikan nasional.
Perubahan definisi itu selanjutnya juga menuntut adanya perubahan kurikulum, maka lahirlah kurikulum 1994. Karena madrasah tidak lagi sekolah agama, maka kurikulumnya 100% sama dengan sekolah umum di Departemen pendidikan.
Semua upaya pengintegrasian madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional tersebut menemukan titik puncaknya pada awal tahun 2000, setelah Presiden RI ke-4, K.H., Abdurrahman Wahid mengubah struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan” menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Perubahan ini memperluas horizon departemen hingga memayungi semua bentuk, jenis, dan keragaman lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Berdasarkan hal itu, presiden K.H. Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem pendidikan nasional dan memiliki status dan hak yang sama. Inilah yang diharapkan akan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan “pendidikan Islam”.
Dengan terintegrasinya sistem pendidikan menjadi satu atap, apakah persoalan lama seperti dikotomi, ambivalensi, dan disintegratif berarti sudah selesai dan tuntas? Jawabannya, ternyata belum. Sampai saat ini, masih terjadi dikotomi: Pertama, dikotomi institusi, dan kedua, dikotomi keilmuan.
Pertama, dikotomi institusi. Departemen Agama masih mengurusi pendidikan (madrasah) sebagaimana masa-masa lalu. Oleh karena itu, perlu adanya restrukturisasi institusi, di mana seluruh madrasah yang masih dikelola oleh Departemen Agama mulai dari tingkat pusat sampai di daerah diserahkan kepada Departemen Pendidikan. Tentu ini tidak mudah karena menyangkut sejarah, aset, politik, ideologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, dua departemen tersebut perlu untuk merumuskan bentuk dan model “pendidikan satu atap”. Sejauh ini, implementasi “pendidikan satu atap” masih sulit diwujudkan. Perlu adanya jiwa besar dari pejabat di Departemen Agama untuk menyerahkan aset-aset pendidikannya kepada Departemen Pendidikan, begitu juga harus ada ketulusan dan komitmen dari Departemen Pendidikan Nasional untuk memperlakukan madrasah secara adil dan sejajar dengan sekolah umum yang lebih dulu jadi tanggung jawabnya. Apabila sikap ini terwujud, maka tidak ada lagi kebijakan diskriminasi terhadap madrasah dan pendidikan Islam lainnya seperti terjadi selama ini.
Kedua, dikotomi keilmua. Problem dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum atau antara ilmu agama dan ilmu umum telah muncul sejak lama dan sampai sekarang masih berlangsung. Secara simbolik, dikotomi jenis keilmuan ini masih terlihat dengan jelas antara madrasah dan sekolah umum. Pembagian kurikulum di madrasah masih bermuara pada ilmu umum dan ilmu agama; begitu juga di sekolah umum masih ada mata pelajaran umum dan juga agama. Di madrasah mata pelajaran agama Islam dibagi ke dalam beberapa sub mata pelajaran, yaitu al-Qur'an, Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah, Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab, yang masing-masing berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Sedangkan di sekolah umum, mata pelajaran agama Islam di atas digabung menjadi satu, dan porsinya hanya dua jam per-Minggu. Untuk menghapus dikotomi tersebut, perlu adanya reformulasi (perumusan kembali) kurikulum yang benar-benar integratif. Ajaran-ajaran Islam tidak lagi diberikan dalam bentuk mata pelajaran umum. Ini memang sulit dan membutuhkan pemikiran yang serius, namun apabila dapat dilakukan maka akan dikotomi akan bisa dihilangkan. Sehingga tidak dikenal lagi pembedaan mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, baik di madrasah maupun di sekolah umum. Konsekuensinya diperlukan guru-guru yang mampu mengintegrasikan wawasan imtaq (iman dan taqwa) dan Iptek, diperlukan buku-buku teks yang bernuansa agamis dan bermuatan pesan-pesan religius pada setiap bidang atau mata pelajaran. Untuk upaya ke arah itu, sebenarnya Departemen Agama telah memulai langkah besar dengan menyusun buku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islami, akan tetapi belum bisa menghapus sepenuhnya dikotomi tersebut.
BAB : II
PENDIDIKAN ISLAM
SEBAGAI PARADIGMA ALTERNATIF PENDIDIKAN
DI INDONESIA
A. PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam sebagai Aliran Filsafat
Sekalipun agama Islam telah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII M, pemikiran di kalangan kaum muslimin dalam catatan sejarah baru dimulai dari awal abad VIII M. Hal ini disebabkan karena pada satu abad pertama perkembangan Islam tidak terdapat isme-isme selain wahyu. Namun demikian, filsafat baru dianggap berkembang dengan baik mulai abad IX M hingga abad XII M, dan kemudian padam tanpa berpengaruh sejak abad XV M. Keberadaan filsafat di kalangan dunia Islam yaitu selama masa daulah Abbasiyah di Baghdad (750 — 1258 M) dan Daulah Amawiyah di Spanyol (755 — 1492 M).
Periode pemikiran filsafat kaum muslimin dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu:
Periode Kalam Pertama
Periode ini melahirkan kelompok mutakalimin/aliran dalam ilmu kalam, yakni Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mutazilah, dan Ahl Sunnah. Dalam kaitannya dengan filsafat yang paling menonjol adalah aliran Mutazilah yang dimotori oleh Wasil ibn Atha dan dianggap sebagai rasionalisme Islam. Timbulnya aliran ini antara lain sebagai jawaban atas tantangan yang timbol berupa paham mengenai masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu faham tasybih (antropomorphisme), Jabariyah, dan Khawarij. Mutazilah memberikan jawaban dengan konsep dan ajarannya, yaitu Keesaan Tuhan (tauhid), kebebasan kehendak (al-iradah), keadilan Tuhan (al-adalah), posisi tengah (al-manzilah bain al-manzilataini), dan amar maruf nahi munkar.
Periode Filsafat Pertama
Periode ini ditandai dengan munculnya tokoh ilmuwan dan ahli dalam berbagai bidang yang menaruh perhatian terhadap filsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles. Periode ini adalah periode munculnya para filosofi Muslim di dunia Timur, seperti al-Kindi (806 — 873 M), al-Raz (865 — 925 M), al-Farabi (870 — 950 M), dan Ibnu Sina (980 — 1037 M).
Periode Kalam Kedua
Pada periode ini tokoh kalam penting dan besar pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu kalam adalah pertama, al-Asyari (873 — 957 M). Semula ia adalah penganut Mu'tazilah tetapi karena tidak puas dengan ajran yang diberikan gurunya, al-Jubai, akhirnya ia keluar dari Mu'tazilah. Aliran dan fahamnya disebut al-Asariyah. Di samping al-Asyari juga ada al-Mturidi, ajarannya disebut Maturidiayh. Kedua, al-Ghazali (1065 — 1111 M). ia adalah tokoh Muslim yang berpengaruh besar terhadap dunia Islam dan bergerak hujjat al-Islam. Semula ia adalah seorang mutakallim, tetapi karena tidak menemukan kepuasan dengan metode pemikiran kalam, beralih ke lapangan filsafat namun di bidang ini pun tidak menemukan kepuasan akhirnya beralih ke lapangan tasawuf. Di bidang inilah ia menemukan sesuatu yang dicarinya. Sikapnya terhadap filsafat dan para filusuf tercermin melalui bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof).
Periode Filsafat Kedua
Periode ini ditandai dengan tampilnya sarjana dan ahli dalam berbagai bidang yang juga meminati filsafat. Merkea hidup dalam masa daulah Amawiyah di Spanyol pada saat Eropa sedang dalam masa kegelapan alam pikiran. Dengan tampilnya para filosof Muslim di Eropa ini ilmu dan peradaban tumbuh dengan pesat. Mereka adalah Ibnu Bajjah (m. 1138 M), Ibnu Tufail (1110 — 1185 M), dan Ibnu Rusyd (1126 — 1138 M). Dapat ditambahkan bahwa Ibnu Rusyd menjunjukkan sikap pembelaannya terhadap filsafat dan para filosof atas serangan al-Ghazali. Pembelaannya tercermin dari judul bukunya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam Kerancuan). Lewat buku ini Ibnu Rusyd ingin menyampaikan pesan bahwa yang kacau itu sebenarnya al-Ghazali dalam memahami alam pikir para filosof.
Periode Kebangkitan
Periode ini ditandai lahirnya kesadaran dan kebangkitan kembali dunia Islam setelah mengalami kemerosotan sejak abad XV — XIX M. Oleh karena itu, periode ini ada yang menyebutnya sebagai renaissance dunia Islam. Di antara tokoh yang berpengaruh adalah Jamauddin al-Afghani, M. Abduh, dan M. Iqbal.
Kebanyakan ahli sejarah Islam memberikan keterangan bahwa filsafat Islam dimulai dari filsafat Yunani. Keterangan ini kemudian diselidiki dan ternyata tidak sepenuhnya benar, karena tokoh-tokoh Muslim saat itu juga mengambil pemikiran filsafat dari India dan Persia. Bahan-bahan filsafat tersebut digodok dan diseleksi, dan kemudian menghasilkan filsafat yang bercorak Islam. Corak filsafat Islam adalah karakternya yang tidak terlepas dari agama, meskipun ia berdiri sendiri, tetapi ia tidak terlepas dari agama. Muara akhir dari perjalanan pemikiran filsafat Islam adalah untuk sampai kepada Allah.
Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Islam
Hakekat Pendidikan
Hakekat pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apa pun dalam Islam. Dengan berpijak dari kedua sumber itu diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakekat pendidikan Islam.
Muhammad S.A. Ibrahim, memandang bahwa hakekat pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga ia dengan mudah dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam. Pemahaman itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip Islami yang diamanatkan oleh Allah kepada manusia sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendefinisikan hakekat pendidikan Islam sebagai proses tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya dengan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Pendidikan tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Di samping itu, pendidikan tersebut menekankan aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam semesta.
M. Fadhil al-Jamaly memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong, dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulai, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. Dari penjelasan al-Jamaly ini, pendidikan Islam mengemban misi untuk mengembangkan potensi anak didik dari sudut otak, hati, dan juga keterampilan.
Kemudian dari hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, didapatkan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Pengertian ini mengandung arti dalam proses pendidikan Islam usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat dengan tujuan yang ditetapkan yaitu menanamkan takwa, akhlak, dan menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah manusia yang berkepribadian dan berbudi luhur4 sesuai dengan ajaran Islam.
Azra dengan mengutip al-Qardhawi menjelaskan tentang hakekat pendidikan Islam yaitu pendidikan manusia setutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlaknya dan ketrampilannya, karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Azra (dalam halaman yang sama) mengutip Hasan Langgulung bahwa pendidikan Islam itu ialah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Dari beberapa kutipan pemikiran para ahli di atas, maka hakekat pendidikan Islam meliputi lima prinsip pokok, yaitu pertama, proses transformasi dan internalisasi, yakni pelaksanaan pendidikan Islam harus dilakukan secara bertahap, berjenjang, dan kontinyu dengan upaya pemindahan, penanaman, pengarahan, pengajaran, dan pembimbingan yang dilakukan secara terencana, sistematis, dan terstruktur dengan menggunakan pola dan sistem tertentu. Kedua, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, yakni upaya yang diarahkan kepada pemberian dan penghayatan serta pengalaman ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Ketiga, pada diri anak didik, yakni pendidikan itu diberikan kepada anak didik yang mempunyai potensi rohani. Dengan potensi itu anak didik dimungkinkan dapat dididik, sehingga pada akhirnya mereka dapat mendidik. Keempat, melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, yakni tugas pendidikan Islam menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi laten manusia agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan, minat, dan bakatnya. Dengan demikian terciptalah dan terbentuklah kreativitas dan produktivitas anak didik. Kelima, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, yakni tujuan akhir dari proses pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil, manusia yang dapat menyelaraskan kebutuhan hidup jasmani-rohani, struktur kehidupan dunia-akhirat, seimbang pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah. Akhirnya, pendidikan Islam seperti di atas dapat menjadikan anak didik penuh bahagia, sejahtera, dan penuh kesempurnaan.
Tujuan Pendidikan
Abdurrahman Saleh Abdullah menyatakan tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu pertama, tujuan pendidikan jasmani. Mempersiapkan diri manusia sebagai pengembang tugas khalifah di bumi melalui pengembangan keterampilan fisik. Kedua, tujuan pendidikan rohani. Meningkatkan jiwa kesetiaan hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani Nabi Muhammad dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur'an. Ketiga, tujuan pendidikan akal. Pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebab dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan ayat-ayatNya yang membawa iman kepada Sang Pencipta. Tahapan pendidikan ini ialah pencapaian kebenaran ilmiah, pencapaian kebenaran empiris, dan pencapaian kebenaran meta-empiris (metafisika). Keempat, tujuan pendidikan sosial. Membentuk kepribadian yang utuh dari roh, tubuh, dan akal.
Sedangkan menurut Ali Asraf, tujuan pendidikan Islam adalah pertama, mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern. Kedua, membekali anak didik dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan nasional. Ketiga, mengembangkan kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah. Kelima, membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan membimbing prses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep pengetahuan yang dituntut. Keenam, mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa Latin (asing).
Sementara menurut M. Athiyah al-Abrasyi, tujuan pendidikan Islam adalah: 1) Membentuk akhlak yang mulia; 2) Menitikberatkan pada kehidupan dunia dan akhirat; 3) Bersifat vokasional dan profesional; 4) menumbuhkan semangat ilmiah dan menumbuhkan rasa ingin tahu; dan 5) menyiapkan peserta didik yang profesional.
Menurut pemikir lain, seperti Oemar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah: pertama, tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaian, dan pada pertumbuhan yang diinginkan para pribadi mereka, dan pada persiapan yang dipastikan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, dengan perubahan dan pertumbuhan, dan dengan memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diingini. Ketiga, tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktivitas, dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tidak terbatas oleh waktu. Hal ini karena hakekat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsep Islam life long education (Q.S. al-Hijr [15]: 99). Demikian juga tugas yang diberikan pendidikan Islam bersifat dinamis dan progresif mengikuti kebutuhan anak didik dalam arti yang luas.
Untuk menelaah tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, pendidikan sebagai pengembangan potensi. Manusia mempunyai sejumlah potensi, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan potensi-potensi tersebut. Dalam bahasa Islam potensi tersebut dinamakan fitrah. Hal tersebut memelihara fitrah anak didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program tersebut secara bertahap. Pengembangan berbagai potensi fitrah dapat dilakukan dengan kegiatan belajar yaitu melalui institusi-institusi, baik institusi sekolah, keluarga maupun masyarakat dan institusi sosial lainnya.
Kedua, pewarisan budaya. Tugas pendidikan Islam selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami. Hal ini karena budaya Islami akan mati bila nilainya dan normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan pada generasi berikutnya. Proses pewarisan nilai budaya dalam pendidikan Islam dapat ditempuh dengan berbagai jalan, yakni: 1) melalui pengajaran, berarti pemindahan pengetahuan; 2) melalui latihan, bermakna membiasakan diri melakukan pekerjaan untuk memperoleh kemahiran dalam pekerjaan tertentu; 3) Indoktrinasi, proses yang melibatkan seseorang meniru atau mengikuti apa yang diperintahkan seseorang kepada yang lain.
Ketiga, interaksi antara potensi dan budaya. Manusia mempunyai potensi dasar sebagai potensi yang melengkapi manusia untuk tegaknya peradaban dan kebudayaan Islam. Dalam versi lain, tugas pendidikan Islam adalah menegakkan bimbingan anak agar menjadi dewasa. Yang dimaksud dengan dewasa adalah: 1) Kedewasaan psikologis, anak didik dapat berkembang fungsi jiwanya, matang emosi, dan moralnya; 2) Kedewasaan biologis, peserta didik dapat memfungsikan naluri biologisnya sesuai dengan ajaran Islam; 3) Kedewasaan sosial, anak didik dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya secara wajar; d) Kedewasaan paedagogis, anak didik dapat menyadari hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab terhadap perbuatannya; 5) Kedewasaan religius, anak didik dapat melaksanakan ajaran Islam dengan penuh ketaatan dan keikhlasan.
Dari beberapa uraian tugas pendidikan itu, maka dapat dipahami bahwa tugas pokok pendidikan Islam adalah membantu pembinaan anak didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi keimanan, keislaman, dan keikhlasan. Selain itu, tugas pendidikan tugas mempertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, beserta manfaat dan aplikasinya dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan serta meningkatkan bakat yang dimilikinya. Dengan proses semacam itu, diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas anak didik, melestarikan nilai-nilai, dan membekali kemampuan produktivitas pada anak didik.
Kurikulum Pendidikan
Landasan pokok penyusunan kurikulum Islami harus memuat prinsip: 1) Mengandung nilai kesatuan dasar bagi persamaan nilai-nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; 2) mengandung nilai kesatuan diri persamaan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam; 3) mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual, dan jasmaniah.
Abudrrahman al-Nahlawi memberikan batasan tentang ciri khas kurikulum yang Islami adalah sebagai berikut: 1) Sistem dan perkembangan kurikulum selaras dengan fitrah manusia; 2) Diarahkan untuk mencapai target akhir pada peserta didik yaitu ikhlas dan taat beribadah kepada Allah; 3) Memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik, tipologi, sifat, dan gender; 4) Hendaknya memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat sambil tetap bertopang pada jiwa dan cita-cita ideal Islam; 5) Tidak menimbulkan pertentangan dalam arti yang umum; 6) Dapat direalisasikan sesuaikan dengan situasi dan kondisi; 7) bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi dan situasi setempat dengan mengingat pula faktor perbedaan individu yang menyangkut bakar, minat, dan kemampuan anak didik; 8) Bersifat afektif, menyampaikan dan menggugah perangkat nilai edukatif yang membuahkan tingkah laku yang positif; 9) Memperhatikan perkembangan peserta didik (perasaan keagamaan dan pertumbuhan bahasa); 10) Memperhatikan tingkah laku amaliah Islamiah.
Tentang prinsip yang menjadi pertautan dasar kurikulum, al-Syaibani memberikan uraian sebagai berikut; pertama, pertautan yang sempurna dengan ajaran dan jiwa agama. Kedua, bersifat universal yang meliputi segala aspek pribadi peserta didik. Ketiga, memperhatikan aspek keseimbangan antara spiritual dan material. Keempat, berkaitan dengan bakat dan minat serta kemampuan anak didik dan kondisi sosial lingkungannya. Kelima, pemeliharaan perbedaan individu anak didik, alam sekitar, dan masyarakat. Keenam, prinsip perkembangan dan perubahan kurikulum untuk progresifitas dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Ketujuh, pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
3. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN ISLAM
Dalam kehidupan sehari-hari banyak contoh yang menunjukkan tidak sedikit orang dengan kemampuan intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Berikut ilustrasi kasus yang menggambarkan statemen ini.
Sebuah nasib tragis: guru fisika di sekolah menengah, David Pologruto, justru ditikam dengan sebelah pisau dapur oleh salah seorang siswa yang sangat brillian di kelasnya. Ceritanya, Jason H, siswa kelas dua sebuah SMU di Coral Springs Florida USA, yang selalu mendapat nilai A, bercita-cita masuk fakultas kedokteran. Bukan sekedar fakultas kedokteran, ia memimpikan Harvard. Tetapi, Pologruto, guru fisikanya, memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa nilai itu — yang hanya B — akan menghalang-halangi cita-citanya. Jason membawa sebelah pisau dapur ke sekolah dan dalam pertengkaran dengan gurunya di laboratorium fisika, ia menusuk gurunya di tulang selangka.
Robert Sternberg, ahli psikologi dari Yale University, USA, menceritakan kisah yang patut direnungkan mengenai dua orang mahasiswa, Penn dan Matt. Penn seorang mahasiswa yang cemerlang dan kreatif, sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Yale University. Masalah yang dihadapi oleh Penn adalah bahwa ia sadar dengan keluarbiasaannya, maka seperti kata salah seorang profesor, mahasiswa ini “luar biasa sombong”. Penn, kendati sangat hebat, tidak disukai orang lain, terutama yang harus bekerja sama dengannya. Meskipun begitu, ia mengagumkan sekali dalam ujian-ujian, dan perusahaan terkemuka dalam bidangnya menawarinya wawancara untuk bekerja. Ternyata ia memang yang terbaik, setidak-tidaknya kalau dilihat dari prestasi akademiknya. Namun, keangkuhan Penn begitu nyata dalam wawancara-wawancara tersebut, sehingga hanya satu saja yang menawarinya pekerjaan, itu pun dari perusahaan kelas dua.
Matt, juga seorang mahasiswa Yale sejurusan dengan Penn, secara akademik tidak begitu cemerlang. Namun, ia pandai bergaul, disukai oleh setiap orang yang bekerja sama dengannya. Sesudah lulus, Matt diterima bekerja oleh tujuh dari delapan perusahaan yang mewawancarainya, sementara Penn dipecat kendati baru dua tahun bekerja pada perusahaan kelas dua yang menerimanya tadi. Matt, memiliki kecerdasan emosi, sedang Penn tidak. Itulah sebabnya mengapa banyak orang yang secara intelektual cerdas sekali bukanlah orang yang paling berhasil dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi mereka.
Adalah Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University, melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1995, bahwa tingkat intelegensi yang tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional. Kecerdasan intelektual (IQ) sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Inilah argumen epistemology Goleman untuk menggeser paradigma “intelligence quotient” (IQ) ke arah paradigma “emotional intelligence” (EQ). berbagai temuan riset baru dipaparkan Goleman, sekedar untuk menegaskan bahwa EQ dapat sama ampuhnya, dan terkadang lebih ampuh daripada IQ. Bahkan, dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas. Cara yang disebutnya “kecerdasan emosional” (EQ).
Kira-kira awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar. Isu yang membidik cerdas atau tidaknya otak kita melalui tes yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT). Bayangkan, dua juta pria Amerika dipilih melalui tes bakat ini secara massal, khususnya selama Perang Dunia I. Waktu itu, tes IQ baru selesai disusun oleh ahli psikologi Universitas Stanford, Lewis Terman. Tes ini cukup khas dan membentuk “pola pikir IQ”: kita cerdas ataukah tidak, seperti sudah taken for granted. Takdir? Sulit dirubah. Kekhasan pola pikir IQ terletak pada pemikiran rasional dan logis. Cara berpikir IQ cenderung linier, dan merupakan derivasi dari aspek formal, berlogika Aristotelian serta matematis, seperti 2 + 2 = 4. Model kecerdasan ini memang banyak diilustrasikan dengan komputer yang memiliki tingkat IQ yang tinggi karena dapat beroperasi hampir tanpa kesalahan sama sekali. Manusia yang ber-IQ tinggi, otak kecerdasannya seringkali diumpamakan dengan kecanggihan kecerdasan komputer. Sampai-sampai pola berpikir IQ ini merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan hidup, dan sebaliknya ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depan hidupnya.
Ukuran kecerdasan IQ berdasarkan Stanford Revision yang dibuat oleh Terman dan Merrill adalah sebagai berikut:
Tabel
Distribusi Kecerdasan IQ
Diadaptasi dari Stanford Revision
IQ
Klasifikasi
140 — 169
Amat Superior
120 — 139
Superior
110 — 119
Rata-Rata Tinggi
90 — 109
Rata-Rata
80 — 89
Rata-Rata Rendah
70 — 79
Batas Lemah Mental
20 — 69
Lemah Mental
Pola pikir IQ mengindikasikan dominasi rasionalitas. Rasionalitas dapat berbenturan dengan nilai-nilai tradisi yang emosional, termasuk nilai-nilai tradisi yang emosional, termasuk nilai-nilai agama. Rasionalitas juga mengimplikasikan dominasi rasio atau nalar dalam kehidupan. Dominasi rasio ini menyebabkan melemahnya kehidupan beragama, sebagaimana dapat dilihat dari perkembangan sekulerisme di dunia Barat yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Setelah Perang Dunia II, terutama sejak tahun 70-an, banyak pemikir Barat yang menyadari akibat-akibat negatif dari dominasi rasio itu. Baumer (1977) misalnya, mengatakan telah terjadi dekadensi dalam kebudayaan Barat, yang antara lain ditandai oleh semakin jauhnya individu dan masyarakat dari agama. Dominasi rasio berkembang pesat melalui pendidikan, termasuk di Indonesia. Selama pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, terlalu menekankan pada aspek akademik, kecerdasan otak atau IQ saja.
Salah satu perbedaan dasar antara masyarakat Barat dan Timur ialah bahwa masyarakat Barat cenderung lebih mendengarkan kata kepala, sedangkan masyarakat Timur lebih mendengarkan kata hati. Mulai tahun 80-an, anggapan tersebut tampaknya berubah, Harvey Cox (1984), mengatakan religion return to secular city (agama kembali bangkit dalam masyarakat sekular). Kemudian dalam tahun 90-an, Naisbitt (1990), misalnya, meramalkan kebangkitan agama dalam millennium ketiga. Lebih penting lagi ialah penemuan kecerdasan emosional (EQ) dalam psikologi, yang sebelumnya tidak disadari.
Apa itu kecerdasan emosional (EQ)? EQ, menunjuk kepada suatu kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir, dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang terkendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian, kecerdasan emosi tidak mengabaikan kecerdasan intelektual, tetapi melengkapi agar menjadi satu kegiatan intern dalam diri seseorang.
Adapun ciri-ciri kecerdasan emosi ada lima, yaitu:
Kesadaran diri (self-awareness): mengetahui apa yang kita rasakan pada sautu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Unsur-unsur self-awareness, terdiri dari:
Kesadaran emosi (emotional awareness): Mengenali emosi sendiri dan efeknya.
Penilaian diri secara teliti (accurate self-assessment): Mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
Percaya (self-confidence): keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
Pengaturan diri (self-regulation): Menangani emosi diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi.
Unsur-unsur self-regulation, adalah:
a. Kendali diri (self-control): mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak.
Sifat dapat dipercaya (trustworthiness): Memelihara norma kejujuran dan integritas.
c. Kehati-hatian (conscientiousness): Bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
d. Adaptabilitas (adaptability): Keluwesan dalam menghadapi perubahan.
Inovasi (innovation): Mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
Motivasi (motivation): Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi.
Unsur-unsur motivation, adalah:
Dorongan prestasi (achievement drive): Dorongan untuk menjadi yang lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
Komitmen (commitment): Menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
Inisiatif (initiative): Kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
Optimisme (optimism): Kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
Empati (empathy): Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
Memahami orang lain (understanding others): Mengindera perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
Mengembangkan orang lain (developing others): Mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
Orientasi pelayanan (service orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity): Menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.
Kesadaran politis (political awareness): Mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok dan hubungannya dengan perasaan.
Keterampilan sosial (social skills): Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.
Unsur-unsur social skills, adalah:
Pengaruh (influence): Memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
Komunikasi (communication): Mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
Manajemen konflik (conflict management): Negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
Kepemimpinan (leadership): Membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang lain.
Katalisator perubahan (change catalyst): Memulai dan mengelola perubahan.
Membangun hubungan (building bonds): Menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
Kolaborasi dan koperasi (collaboration and cooperation): Kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama.
Kemampuan tim (team capabilities): Menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
Itulah paradigma EQ yang dikonstruksi oleh Goleman. EQ lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi. Sebab apabila emosi tidak terkendali, orang akan cepat marah-marah. Sikap marah-marah akan mematikan sistem kerja nalar dan intelektual, yang bisa berakibat pada disfungsinya potensi IQ. Di sinilah keunggulan EQ dibandingkan dengan IQ. Dalam praktek kerja sehari-hari, keunggulan EQ dapat diukur dari indikator: penuh motivasi dan kesadaran diri, empati, simpati, bersolidaritas tinggi, dan sarat kehangatan emosional dalam interaksi kerja, sebagaimana telah diuraikan secara terperinci di atas. Inilah ukuran orang yang ber-EQ cerdas, yang tidak selalu dimiliki orang yang ber-IQ tinggi sekalipun.
Lantas, bagaimana dengan temuan jenis “Q” ketiga, Spiritual Intelligence (SQ), yang disebut Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai The Ultimate Intelligence, Kecerdasan puncak? Kemudian, SQ itu apa? Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan rohaniah, kecerdasan hati, dan kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangunkan diri kita secara utuh. Banyak sekali di antara kita yang saat ini menjalani hidup yang penuh luka dan berantakan. Pengaruh gaya hidup material-reduksi, lalu terperangkap pada paham sekulerisme, yang memproklamirkan terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama.
SQ akan mengembalikan manusia kepada makhluk spiritual, yang merupakan fitrah kejadiannya. Tetapi dalam perjalanan hidupnya, manusia berjalan menjauh dari fitrah tersebut karena godaan-godaan duniawi dan hiruk pikuknya kehidupan modern. Kebahagiaan sejati terletak pada pemenuhan yang bersifat spiritual ini. Karena itu, keburukan manusia yang bersifat spiritual dan kecenderungan untuk kembali kepada agama adalah bersifat perennial-abadi, kekal, dan akan selalu hadir selama.
Danah Zohar dan Ian Marshall (2000), mengatakan bahwa kita dapat memperoleh SQ yang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial di belakang semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalani agama tertentu, namun ia tidak akan bersikap picik, eksklusif, dan ekstrim, sebaliknya ia akan menunjukkan sikap inklusif, toleran dan pluralis.
Titik kekuatan SQ sebenarnya terletak pada berkembangnya dengan baik jiwa dan hati manusia. Dua esensi manusia itu apabila dikembangkan maka akan mencapai tingkat ketajaman “mata hati” (ain al-qalb), satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta. Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa hati yang terlatih akan mampu mencapai tingkatan nafsu-al muthmainnah (jiwa yang damai). Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontrak spiritual dengan Tuhannya.
Tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik, menurut Zohar dan Marshall, mencakup hal-hal berikut:
Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).
Tingkat kesadaran diri yang tinggi
Kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan “holistic”)
Kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.
Seseorang yang tinggi SQ-nya juga cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggungjawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya. Dengan perkataan lain, seseorang yang memberikan inspirasi, membantu, dan memberi motivasi untuk kesuksesan orang lain.
B. REFORMULASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik memiliki peran di masa datang. Masa mendatang yang bisa diprediksi dari fenomena sekarang adalah masa yang akan ditandai oleh 6 (enam) kompleksitas yang saling berkaitan dan telah ambil peran dalam menggerakkan proses peradaban universal, yakni melalui: Pertama, perkembangan teknik dan industri. Kedua, kemantapan sistem ekonomi global dan pasar bebas. Ketiga, kemantapan yang tak terpisahkan dari hal di atas, yakni jangkauan yang lebih canggih dari bidang komunikasi dan informasi: radio, televisi, telepon, dan internet, perkembangan sistem persenjataan yang memiliki daya penghancur dahsyat. Keempat, pengetahuan mengenai penghancuran yang semakin destruktif terhadap sumber daya alam bagi kelestarian kemanusiaan yang sudah akut, menakutkan, serta dampak perkembangan teknologi industri dan ekonomi. Kelima, ledakan jumlah penduduk di berbagai negara dengan pengertian bahwa sekarang dan masa depan yang tak terkendalikan oleh kebijakan setiap kelompok yang terpisah-pisah baik etnis, bangsa, negara atau blok-blok negara. Dengan demikian, tidak ada pilihan kecuali menerima kehadiran kehidupan multi etnik, budaya, ideologi, religius dalam masyarakat global.
Jika kita memandang pendidikan dari sudut persoalan kompleksitas global tersebut, baik dari sudut resiko yang dihadapi maupun peluang yang terbuka menjadi jelas. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dewasa ini dihadapkan pada tugas baru yang besar dan berat. Ilmu pendidikan, para pendidik, dan unsur kependidikan harus berlaku bagi seluruh bangsa, negara, dan kebudayaan. Wawasan pendidikan harus bebas dari jeratan dan sekat-sekat pemikiran yang sempit, primordial dan eksklusif.
Dalam menghadapi konstelasi global dan peradaban baru yang terbentuk atas paradigma teknologi industrial, peran dan eksistensi pendidikan terus dituntut mengadakan perubahan dan pembahasan. Fungsi pendidikan pun selalu berubah, sejalan dengan beralihnya kekuasaan pengontrolannya. Pendidikan kini tak lagi mengutamakan upaya memanusiakan manusia (agar tak kasar dan primitive) melainkan sudah terasah dan terarah menjadi makhluk yang etis dan estetis, berbudi dan berbudaya. Kini pendidikan yang harus sudah mengutamakan terciptanya manusia baru yang produktif, terlihat dari sosoknya sebagai homo-economicus yang rasional, lugas, efektif, dan efisien.
Tak pelak lagi idealisme manusia sebagai manusia yang berkepribadian untuh dalam keseimbangan akal, emosi, dan keyakinan yang tak layak lagi tersisih sebagai arahan dan dalam materi pendidikan. Pragmatisme ekonomi dan rasionalitas teknis teknologi, banyak merebut porsi besar dalam materi pendidikan. Bermaterikan demikian, dengan berbagai ragam kemasan dan bumbuh-bumbu rakitan yang mengesankan, pendidikan menjadi bagian dari sistem produksi, atau kalau tidak demikian, sekurang-kurangnya pendidikan akan di-link and match-kan yang bermakna disubordinatkan kebutuhan industri.
Fungsi pendidikan sebagai education for the heart untuk membangun kepekaan evaluatif, etis, dan estetik akan mundur dan akan digantikan model education for the brain guna mengembangkan teknis aplikatif. Maka jadilah pendidikan hanya menggeluti hal-hal teknik sesaat dan akhirnya pendidikan itu sendiri tak ubahnya sebagai training for the hands.
Dalam kaitannya dengan hal-hal di atas bagaimana peran, visi, dan antisipasi pendidikan Islam? Akankah ikut arus tanpa melakukan selective borrowing yang berlandaskan fundamental dan filosofis? Sudahkah pendidikan Islam berpikir dan diarahkan ke sana? Mampukah pendidikan Islam eksis dan kompetitif dalam jaringan global itu? Apa pula variabel dan teori pendidikan yang harus dikembangkan?
Sebutan “pendidikan Islam” tidak hanya sekedar ciri khas dari ragam pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Tetapi lebih merupakan pemahaman “pendidikan Islam” menceriterakan karakteristik berikut: Pertama, dasar filosofis. Penyelenggaraan dan pendirian pendidikan Islam didorong oleh hasrat dan semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai dan misi keislaman. Di sini Islam dijadikan sebagai sumber-sumber nilai dan spirit filosofis yang akan diwujukan dalam selurh kegiatan pendidikannya. Kedua, program pendidikan. Pendidikan akan memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam berbagai pengetahuan untuk materi pengajaran, obyek kajian, dan diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, penggagas dan pemrakarsa. Adalah orang-orang Islam yang memiliki kepedulian besar terhadap kelangsungan dan kebenaran Islam. Agar ajaran dan nilai Islam dapat diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, maka perlu didirikan institusi pendidikan yang bernuansa Islam sebagai wahana mentransmisikan nilai-nilai dan budaya Islam. Keempat, segi institutisonal atau kelembagaan. Biasanya nama kelembagaan selalu memakai simbol-simbol keislaman baik secara formal “Islam” dipakai untuk lembaga atau mengambil tokoh-tokoh ilmuwan, ulama atau pejuang Islam, atau mengambil nama organisasi Islam sebagai nama lembaga.
Dari beberapa kemungkinan di atas, yang jelas pendidikan Islam mengemban misi dan tanggung jawab yang berat, karena sebuah institusi keislaman yang bergerak di bidang pendidikan, di samping dituntut untuk menjaga, mentransmisikan dan mengaktualkan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam kondisi demikian, bagaimana profil pendidikan Islam selama ini? Sudah mampukah dengan tuntutan idealisme di atas?
Sebagai ilustratif saja, sejauh ini pendidikan Islam seringkali diklaim kurang mampu dan lamban mengantisipasi tantangan, perubahan, dan tuntutan masyarakat. Sehingga produknya kurang memiliki kesiapan riil baik untuk mensuplai tenaga kerja siap pakai atau ready for used and marketable maupun untuk pengembang profesi dan keilmuan bagi disiplinnya. (sebagai pemikir dan ilmuwan).
Dari alur pikiran dan analisis di atas, beberapa statemen hipotesa dapat diturunkan sebagai berikut: Pertama, lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, dan sekolah Islam, program pendidikannya belum relevan dengan sasaran yang hendak dicapai. Baik untuk sasaran profesional seperti menjadi dai penyebar agama Islam dan membina perilaku umat secara Islami. Maupun untuk sasaran akademik, menjadi ahli dalam salah satu atau beberapa bidang studi “ilmu-ilmu agama”.
Kedua, lembaga pendidikan umum yang melaksanakan pendidikan Islam, termasuk “sekolah Islam” tidak memberikan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat untuk memberikan kemampuan bersaing dan dapat mengikuti tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta mencapai hasil yang secara kompetitif diakui memiliki kemampuan profesional, sebagai tenaga terampil yang mampu mengaplikasikan kemampuan teknologisnya atau sebagai insan akademis yang menunukkan kepakaran di bidang disiplin ilmu.
Ketiga, tradisi ilmiah yang semata-mata pembuktian kebenaran hanya didasarkan kepada bukti-bukti kuantitatif empirik dan melahirkan lulusannya yang terbelah (dikotomis), tidak mampu mengintegrasikan nilai dan fungsi ke dalam satu kesatuan bangunan epistemology ilmu dan implikasi di dalam tugas-tugas pembangunan umat Islam dan bangsanya.
Keempat, sikap dan kerangka pemikiran dikotomik tersebut, membutuhkan terobosan baru dengan menggunakan pendekatan integralistik dalam mengkolaborasi kebenaran, yaitu memadukan antara lain dan fungsi dengan struktur dan metodologi ilmu.
Kelima, melakukan pembenahan dalam menetapkan tujuan dan teori, penjabaran dan sasaran pendidikan, substansi, struktur organisasi, metodologi, manajemen, pengelolaannya, kompartementalisai kurikulum, desain mutasi dan spesialisasi programnya.
Keenam, melaksanakan sistem pengadaan, rekruitmen, dan pengembanan tenaga pendidik (guru/dosen) yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan tuntutan baru dengan dunia pendidikan secara rasional dan obyektif.
Hipotesa persoalan di atas, akan semakin rumit apabila dihadapkan pada tantangan pendidikan Islam pada masa kini dalam percaturan dunia global. Pada satu sisi, pendidikan Islam dituntut untuk tetap mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai, moral, dan etika Islam kepada anak didik. Pada sisi yang lain, pendidikan Islam semakin dituntut aktualitas dan daya antisipatifnya dalam wacana dunia global.
Dalam khazanah historis kejayaan Islam klasik, terdapat beragam saluran atau lembaga pendidikan Islam. Pertama, sistem pendidikan maktab (pendidikan dasar). Orientasi pendidikan ini mempunyai keunggulan dalam membentuk kepribadian, jiwa, intelek, dan spiritual anak didik. Pada lembaga ini anak-anak diajarkan prinsip-prinsip agama, menghormati guru, menyenangi subyek yang diajarkan, dan sebagai ajang persiapan studi lebih lanjut di mana sains diajarkan dan dikembangkan.
Kedua, sistem pendidikan madrasah. Madrasah merupakan institusi pendidikan formal yang berkembang pada masa awal sejarah Islam, lalu menjadi sistem akademi dan universitas, dan mencapai puncaknya pada zaman kerajaan Utsmani di mana sistem tersebut dikembangkan secara sistematis, dipelihara, dan ditunjang oleh pejabat “Syaikh Islam” dengan kecakapan dan efisiensi administrasi yang tinggi. Madrasah-madrasah dalam bentuk universitas yang besar, misalnya Universitas Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir (perdana menteri) Dinasti Seljuk, dan Universitas al-Azhar di Kairo. Dalam madrasah-madrasah ini, dari jenjang yang bawah diajarkan pengetahuan agama, seperti ilmu tauhid, ushul al-din, syariah, dan semacamnya sampai tingkat tinggi (universitas) diajarkan baik sains-sains aqli maupun naqli dengan pembahasan tingkat tinggi.
Ketiga, di pusat-pusat sufi, seperti zawiyah dan khanqah, juga berlangsung aktivitas pendidikan. Di pusat-pusat ini, terutama diajarkan sains-sains tertinggi, seperti pengetahuan Ilahi (marifat atau irfan) atau bisa juga disebut scientia sacra. Keempat, di luar lembaga-lembaga di atas, juga berkembang, apa yang disebut “halaqah” (majelis), yang dipimpin oleh seorang profesor (syaikh, hakim atau ustadz) di forum ini didiskusikan dan dibahas berbagai sains yang religius maupun filosofis.
Dengan sistem dan model pendidikan di atas, ternyata mampu melahirkan ulama, ilmuwan, filosofi, sufi, sastrawan, dan penyair-penyair terkenal sampai sekarang. Melihat kenyataan historis semacam ini, bagaimana kita dapat merekonstrukti dan mereformulasikan ke dalam sistem pendidikan Islam sekarang?
Membangun sistem pendidikan Islam yang tepat untuk zaman sekarang memang bukanlah pekerjaan yang sederhana. Karena memerlukan adanya pemikiran dan perencanan yang terpadu dan menyeluruh. Pendekatan yang digunakan juga tidak sekedar pendekatan tambal sulam (scissor and paste approach), tapi harus menggunakan pendekatan integralistik (integralistical approach).
Untuk menuju kepada pendekatan integralistik, dan dalam upaya memadukan keunggulan warisan klasik Islam dengan kemajuan sistem modern, maka langkah-langkah berikut perlu dipikirkan kembali.
Arti dan Makna Pendidikan
Pendidikan, dalam konsep Islam, mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran dan menyampaikan pengetahuan (talim), tetapi juga pelatihan seluruh diri anak didik (tarbiyah). Guru atau pendidik, bukan sekedar seorang mualim (penyampai pengetahuan) tetapi juga sekaligus seorang murabbi (pelatihan jiwa dan kepribadian).
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan Islam, tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi secara utuh. Pendidikan Islam tidak pernah memandang alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan cara memperolehnya absah tanpa dibarengi dengan kualitas-kualitas moral dan spiritual (transfer of moral and spiritual). Dengan sistem seperti ini, pendidikan Islam akan melahirkan insan-insan yang memiliki kualitas intelektual dan kualitas spiritual. Antara pengembangan fakultas pikir dan fakultas dzikir dapat berjalan secara serasi dan seimbang.
Jenjang Pendidikan
Kapan pendidikan harus dimulai dan di institusi pendidikan seperti apa yang harus dipilih? Islam memberikan konsep tentang jenjang-jenjang pendidikan tersebut sebagai berikut:
Pertama, pendidikan pre-natal (sebelum individu dilahirkan). Pendidikan ini bisa berwujud dalam dua bentuk: 1) Sewaktu seorang lelaki atau perempuan memilih calon pasangannya; agama, moral, kepribadian, keturunan, dan intelektualnya atau dalam istilah Jawa disebut bibit, bebet, dan bobot, akan mempengaruhi anak yang akan dilahirkannya; 2) Sewaktu anak masih dalam kandungan, apa yang diperbuat oleh orangtuanya akan berpengaruh secara psikologis pada anak tersebut.
Kedua, pendidikan post-natal (mulai anak dilahirkan), yang merupakan fase awal atau pendidikan primer. Pendidikan ini harus diperoleh anak dalam keluarga. Peranan orang tua sangat dominan dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Kepada anak harus diajarkan agama dan sekaligus pengalamannya di bawah kontrol langsung orang tua. Di samping itu, orang tua perlu memperkenalkan budaya dan adat-istiadat masyarakat sekelilingnya.
Ketiga, fase pendidikan dasar: Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SLTP). Pada fase-fase ini, anak harus dimasukkan ke sekolah-sekolah agama. Sekolah agama yang paling awal tidak saja memperkenalkan anak didik dengan dasar keagamaan bagi kehidupannya, masyarakat, dan peradaban, tetapi juga berfungsi sebagai pengantar ke arah penguasaan bahasa, sebagai persiapan untuk menerima pengetahuan yang lebih tinggi dan luas.
Keempat, fase sekolah menengah atas. Pada fase ini anak didik mulai dilatih penalaran dan diperkenalkan pada berbagai macam ilmu pengetahuan. Kelima, fase jamiah atau perguruan tinggi. Di tingkat ini, mahasiswa diajarkan berbagai macam sains dan filsafat dengan pendekatan dialogis, ilmiah, rasional, dan filosofis.
Restrukturisasi Kurikulum
Kurikulum dipandang penting dalam proses pendidikan, karena ia akan memberikan arahan dan patokan keahlian apa yang harus dipunyai oleh anak didik. Dalam persoalan ini, para ilmuwan muslim mengklasifikasikan gradasi sains. Pertama, sains keagamaan (sains naqli), dan Ilahi (syariah), prinsip-prinsipnya (ushul), dan jurisprudensi (fiqh). Kedua, sains-sains intelektual (sains aqli) yang meliputi, misalnya matematika dan sains kealaman lainnya, filsafat, logika, dan semacamnya.
Pengajaran kedua jenis sains tersebut haru integral, tidak boleh persial. Pengajaran sains aqli tidak terlepas dari keterikatannya dengan agama. Bahkan di puncak sains-sains aqli berdiri filsafat atau kebijaksanaan Ilahi (al-hikmah al-ilahiyah).
Kurikulum pendidikan Islam, sampai pada saat ini, masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan dengan subyek-subyek sekuler, dan pada sisi yang lain, dengan subyek-subyek keagamaan. Subyek-subyek sekuler biasanya terdiri dari jenis keilmuan umum seperti matematika, fisika, biologi, kedokteran, sosiologi, ekonomi, politik, botani, zoology, dan sebagainya. Sementara, subyek-subyek keagamaan terdiri dari jenis sains wahyu seperti al-Qur'an, al-Hadits, fiqh, teologi, tasawuf, tauhid, dan semacamnya.
Dari dikotomi di atas, kurikulum pendidikan Islam masih banyak didominasi oleh sains jenis kedua, sementara pengkajian terhadap jenis sains-sains alam masih kurang. Padahal, menurut terminologi filsafat Islam, Tuhan menurunkan Qur'an-Nya dalam dua bentuk: al-Qur'an yang tertulis (recorded Quran), yaitu wahyu yang terulis dalam lembaran buku yang dibaca oleh umat Islam setiap hari; dan Al-Qur'an yang terhampar (created Qur'an), yaitu alam semesta, jagat raya atau kosmologi ini.
Mengkaji dan meneliti kedua jenis sains tersebut sama pentingnya. Memang harus ada prioritas mana yang harus didahulukan, karena mempelajari keduanya secara bersamaan akan dirasakan berat. Menurut para ahli pendidikan Islam, sebelum mendalami sains-sains sekuler, anak didik harus dibekali sikap religiusitas yang kuat sejak mulai pendidikan dasar seperti shalat, membaca al-Qur'an, tafsir, Hadits, bahasa Arab, puasa, dan ilmu ketauhidan. Dengan demikian, ketiga mereka mengambil spesialisasi sains-sains sekuler sudah memiliki landasan agama yang kokoh, sehingga diharapkan mampu menahan godaan subyek-subyek sekuler pada tingkat tinggi. Dengan dasar agama yang kokoh dan penguasaan sains-sains alam yang mendalam, maka anak didik akan dapat menjelaskan term-term ajaran Islam dalam bahasa dan logika sains modern.
Kategori sains-sains di atas, apabila dibuat skema kira-kira sebagai berikut:
Skema 1: Segitiga Sai
Ketiga kutub tersebut merupakan satu kesatuan, dan dari padanya diharapkan dapat diperoleh pengertian, penghayatan, dan pengamalan ke arah terbentuknya intektualisme muslim. Yakni, pribadi yang utuh, yang pemikirannya bisa menyatukan ketiga kutub ilmu tersebut.
Lembaga pendidikan Islam baik yang masih tradisional maupun yang sudah modern perlu mengintegrasikan antara subyek-subyek keagamaan dengan subyek-subyek sekuler dalam satu paket pembelajaran. Dengan terintegrasinya ketiga paradigma ilmu tersebut, maka untuk terciptanya kualitas anak didik yang mempunyai kemampuan 3H, yaitu head (aspek kognitif dan kecerdasan otak), heart (aspek afektif dan kecerdasan emosi dan spiritual), dan hand (aspek psikomotorik dan kecakapan teknis), dapat diwujudkan.
Berangkat dari pola pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat, maka pendidikan umum pada hakekatnya adalah pendidikan agama juga; begitu sebaliknya, pendidikan agama adalah juga pendidikan umum. Idealnya, tidak perlu terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. A.M. Saefuddin (1991) mengajukan formula pemikiran kreatif untuk dapat mengintegrasikan secara padu. Perpaduan itu harus terjadi sebagai proses pelarutan, dan bukan sekedar proses percampuran biasa. Perbedaan antara proses pelarutan dan proses pencampuran secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut:
Skema 2: Integrasi Kurikulum
A = materi pendidikan agama
U = materi pendidikan umum
X = hasil perpaduan A dan U, berbeda secara substantif maupun formatif dengan A maupun U.
Y = hasil percampuran antara A dan U, secara substantif maupun formatif tidak ada perbedaan antara A & U semula dengan A & U dalam Y.
Skema 3: Integralisasi Ilmu dalam Islam
Pemikiran ini mengandaikan penemuan suatu bentuk perpaduan materi-materi pendidikan agama dengan umum yang barangkali akan merupakan konsep ilmu Islami. Disebut ilmu Islami, karena nilai-nilai al-Qur'an dapat diaktualisasikan tidak dalam perwujudan rancangan sistem pendidikan saja, tetapi dalam langkah-langkah operasionalisasinya mesti pula berpedoman pada kaidah-kaidah Qurani, sesuai dengan kesatuan tiga serangkai perangkat tindak, yakni motivasi — cara — tujuan.
Dengan adanya penyatuan ilmu/sains dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tetapi akan dibedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah (ayat-ayat yang tersurat dalam al-Qur'an/Hadits dan ilmu tentang ayat-ayat kauniyah (ilmu/pengetahuan tentang kealaman).
Kurikulum pendidikan Islam selanjutnya dapat disusun berdasarkan wawasan ilmu pengetahuan yang telah terintegrasi tersebut. Hal ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap struktur, tujuan, pendekatan, materi, dan institusi pendidikan yang dipersiapkan.
Teori dan Metode Pembelajaran
Teori pendidikan akan memberi arahan, antara lain dalam hal: Macam-macam kewajiban manusia kepada Tuhan-nya dan bagaimana tata cara beribadah manusia untuk bisa dekat kepada-Nya (aspek transcendental), tugas dan tujuan hidup manusia di dunia, menentukan macam-macam tujuan pendidikan, konsep-konsep tentang pembawaan dan pengaruh lingkungan dalam pendidikan, kurikulum yang dijadikan standar, cara mengembangkan kurikulum sesuai dengan konsep yang diputuskan, metodologi mendidik dan mengajar untuk merealisasikan konsep itu, berbagai penunjang proses belajar-mengajar, lingkungan dan iklim pendidikan yang cocok, model-model evaluasi, perbedaan konsep antara jalur sekolah dengan jalur sekolah.
Berpijak dari filsafat dan teori pendidikan yang telah dirumuskan itu, target pendidikan yang diidealkan akan mudah tercapai. Dengan demikian, tanpa mengesampingkan sasaran-sasaran yang bersifat teknis dan jangka pendek, filsafat dan teori pendidikan akan mengantarkan pada cakupan yang lebih komplet yang menyeluruh.
Dalam rangka transformasi ilmu kepada anak didik, selain memakai metode-metode yang telah berjalan dengan baik, seperti Sorogan, Wekson, Cerita, dan lain-lain para pendidik perlu mencoba mengadopsi metode pembelajaran yang baru negtren, di antaranya:
Quantum Learning dan Quantum Teaching
Quantum learning berakar dari sebuah kondisi sugesti (suggestology/ suggestopedia) yang berprinsip bahwa, setiap sugesti dapat mempengaruhi situasi belajar, baik secara linear maupun siklikal. Ini artinya sekecil dan sedetail apapun dapat menjadi sebuah sugesti, baik positif ataupun negatif. Hampir sama dengan suggestology adalah apa yang disebut dengan accelerated learning, yaitu suatu proses percepatan belajar yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang impresif, dalma situasi dan kondisi serta usaha yang normal yang dibarengi dengan perasaan gembira dan senang. Cara ini dimaksudkan untuk menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan; seperti, hiburan, warna, berpikir positif, fasilitas fisik, dan kesehatan emosional. Unsur-unsur tersebut dimodifikasi dan dibentuk menjadi sebuah lingkungan yang asri dan menyenangkan, sehingga dapat memicu sugesti subyek yang negatif menjadi suasana yang tenang, nyaman dan comfortable.
Quantum learning didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Ini berangkat dari teori Einstein yang mengatakan semua kehidupan adalah energi. Tubuh kita secara fisik dalam materi. Sebagai pelajar tujuan utamanya adalah meraih dan mendapatkan sebanyak mungkin cahaya, dengan cara berinteraksi, hubungan inspirasi agar menghasilkan energi cahaya. Di dunia pendidikan apapun yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan merupakan sebuah energi pembelajaran. Kehidupan individu subyek, kemampuan subyek, kecerdasan subyek merupakan entitas yang berbeda-beda. Justru dari perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi sebuah ruang inkubasi pendidikan yang pada waktu tertentu akan berubah menjadi illuminasi penyadaran anak didik. Formulasi dari fisika quantum adalah massa x kecepatan cahaya kuadrat atau E = Mc2.
Gambaran quantum learning, dapat kita analogikan dengan sebuah orkestra yang terdiri dari berbagai ragam alat musik. Setiap spesifikasi alat musk tersebut merupakan satuan energi yang berbeda, baik dari sisi bentuk, fungsi dan alunan suaranya. Satuan energi yang berbeda tersebut kemudian digabungkan oleh seorang composer dengan nada yang telah didesain sehingga menghasilkan kelompok energi yang indah, bagus dan menyenangkan. Begitu juga dengan pebelajar, mereka terdiri dari individu, latar belakang, kemampuan, kecenderungan dan kesukaan yang berbeda. Tugas pendidikan adalah bagaimana memaksimalkan potensi energi yang berbeda tersebut menjadi sebuah energi besar yang dapat menjadi cahaya bagi setiap peserta didik.
Skema 4: Quantum
Open Learning
Dalam pengajaran dan pembelajaran, prinsip-prinsip performativitas tampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam melaksanakan program pendidikan tinggi, baik hal itu menyangkut tentang tapa yang dipelajari dan bagaimana pelajaran tersebut didapatkan. Dalam situasi seperti itu, pendidik secara perlahan diganti oleh mesin dan komputer, dari pada sebuah proses transmisi pengetahuan dari guru kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu sudah saatnya kita menerapkan pembelajaran terbuka (open learning), di mana tugas dan fungsi guru tidak lagi sebagai transmitor ilmu pengetahuan yang hanya dapat menyampaikan isi dan esensi dari suatu materi, namun pendidik mempunyai fungsi sebagai penasehat, pembimbing atau pelindung peserta didik, untuk mengarahkan pada proses pembelajaran yang relevan; dan memberikan mereka keahlian tertentu guna mencapai proses pembelajaran yang lebih sukses. Dengan kata lain, belajar bagaimana untuk belajar adalah tujuan dari pendidikan tinggi.
Model pembelajaran terbuka memungkinkan siswa untuk mengekspresikan kebebasannya dalam belajar serta dapat mengakses materi-materi yang dia sukai. Hal ini membawa penilaian bahwa pembelajaran terbuka sangat berpengaruh bagi efisiensi mekanisme sosial yang telah diatur oleh pembuat kebijakan. Oleh sebab itu pendidik yang terlibat dalam open learning harusnya lebih mempunyai kesadaran bahwa mereka tidak boleh secara ambigu melegistimasi retorika-retorika pembelajaran tertentu. Meskipun terdapat fragmentasi ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya nanti harus ada integrasi bagian-bagian materi tersebut dengan para peserta didik.
Pembelajaran Eksperiensial Post Modernisme
Pendidikan post-modernisme mempunyai keinginan untuk mengembangkan hasrat peserta didik melalui pengalaman, sebagai respon atas kondisi ekonomi dan fragmentasi sosial yang diinspirasikan oleh dasar ilmu pengetahuan yang tidak menentu, serta membatasi teknik rasional dan sebagai media antisipatif dari konsekuensi kegagalan proyek modernisme pendidikan. Dalam konteks ini, pembelajaran eksperimen — baik secara teori maupun praktis — adalah untuk mengubah situasi dari pengembangan teologis dan nalar kepada pengembangan yang lebih terbuka; dengan kata lain dari modern ke postmodern. Pengembangan ini lebih diarahkan untuk menciptakan kelompok kapitalis baru, menumbuhkan kebenaran baru, membentuk kelas menengah baru serta mewujudkan perubahan-perubahan sosial, seperti feminisme dan anti-rasisme. Ada tiga alasan mengapa pembelajaran eksperimensial sangat penting dalam konteks post-modernisme. Pertama, bahwa model pembelajaran ini ternyata mempunyai bentuk yang paling valid dibanding dengan model pembelajaran yang lainnya. Kedua, adanya eksplorasi bagaimana seseorang belajar dari pengalaman-pengalamannya. Ketiga, dalam proses persiapan model pembelajaran ini lebih dapat mewujudkan transformasi gerakan sosial baru, memberikan keleluasaan kepada setiap person untuk membentuk kelas menengah baru dan secara praktis dapat menemukan kebenaran baru yang didukung dengan langkah-langkah eksplorasi.
Skema 5: Pembelajaran Eksperiensial Post-Modernisme
Tujuan dan Tugas Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah menyempurnakan dan mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki anak didik untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki anak didik untuk mencapai pengetahuan tertinggi tentang Tuhan yang merupakan tujuan hidup manusia. Tugas pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia, sedangkan tujuan ultimate-nya adalah tercapainya kebahagiaan hidup yang permanen di alam baka (al-akhirat).
Melihat komparasi dan pemikiran baru di atas, maka dapat diambil sebuah formulasi — sintesis, bahwa sistem pendidikan Islam klasik yang selama berabad-abad menghasilkan banyak filosof, ilmuwan, yuris-yuris, teolog, sastrawan, dan para pakar di berbagai bidang ilmuwan, harus dijadikan contoh model bagi pengembangan pemikiran pendidikan sekarang, agar pendidikan tidak kehilangan daya mobilitasnya, baik mobilitas vertikal maupun horisontal dalam menghadapi perkembangan zaman. Institusi-institusi pendidikan Islam, selain menjadi khazanah budaya, adalah juga paling signifikan untuk tercapainya perjumpaan kemegahan Islam klasik dan modernisme.
Dari kajian dan pemaparan di atas, bagaimana pendidikan Islam dapat berperan dalam kancah kompetisi global tersebut? Agar umat Islam dapat berkiprah dalam masyarakat global, maka pendidikan Islam diharapkan tampil dengan nuasanya sebagai berikut:
Pertama, menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegerahan hidup manusia modern. Tawaran ini mengharuskan umat Islam menghayati nilai-nilai universal yang diajarkan Islam dan teologi inklusif yang diperankan oleh Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, tawaran ini akan menghapus kehampaan spiritual dan kekosongan batin manusia modern sebagai gaya hidup Firaunis akibat hiruk pikuk kehidupan global yang hedonistic dan materialistic.
Kedua, Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun dianutnya, sebab Islam adalah agama rahmatan lil-alamin, mendatangkan kebaikan dan kedamaian untuk semua. Dengan sikap ini, Islam mengakui tentang pluralisme, baik dalam keragaman pendapat, pemahaman, ideologi, etnis maupun agama.
Ketiga, menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif, sehingga bisa membebaskan umat Islam dari belenggu-belenggu dan penjara taqlid, status quo, menyukai kemapanan, dan alergi terhadap pembaruan, harus ditinggalkan. Karena sikap-sikap tersebut menyebabkan kreatifitas dan dinamisnya sebagai manusia menjadi hilang.
Keempat, menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan, dan etos pembangunan. Karena sepanjang sejarah, kelima etos itulah yang dapat mendatangkan kejayaan umat Islam.
Kelima, menampilkan revivalitas Islam, dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), yakni membangun kesalahan intrinsik dan esoteris, dari pada intensifikasi ke luar (outward oriented) yang bersifat ekstrinsik dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas. Orientasi pemahaman intrinsik dan esoteris ini menjadi penting, karena akhir-akhir ini banyak bermunculan pemahaman yang lebih mementingkan simbol dan bentuk luar, dari pada susbtansi ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman seperti ini akan mencegah lahirnya bentuk-bentuk fundamentalisme dan radikalisme agama yang justru menimbulkan citra negatif bagi Islam dan umat Islam.
KESIMPULAN
Dari serangkaian analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konstruksi pemikiran pendidikan Islam berwawasan masa depan perlu diarahkan pada:
Peningkatan daya jawabnya terhadap problema kehidupan kontemporer, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah.
Kepekaan menangkap perkembangan terkini menjadikan pendidikan Islam reposif terhadap kemajuan, sementara dengan tetap berpegang teguh pada kedua sumber otentik Islam tersebut, maka pendidikan Islam akan mempunyai ruh dan kekuatan moral menghadapi setiap perubahan yang ditimbulkan oleh arus globalisasi.
Nilai-nilai dan kandungan moral al-Qur'an dan al-Sunnah harus dapat ditransformasikan kepada anak didik dalam menghadapi kehidupan modern masyarakatnya.
Setiap persoalan kemodernan harus dipecahkan dengan bingkai dan spirit al-Qur'an dan al-Sunnah. Inilah peran strategis pendidikan Islam. Strategisnya tidak saja terletak pada kemampuannya dalam merespon perubahan global, tetapi yang lebih penting adalah kemampuannya membingkai setiap perubahan dalam sinaran moral al-Qur'an dan al-Sunnah dan sekaligus mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan anak didik. Dengan demikian, output pendidikan Islam nantinya akan peka terhadap perubahan (kalau bisa justru mempeloporinya) dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran agamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 1982. Educational Theory: Quranic Outlook. Mekkah: Ummu al-Qura Univerity.
Ahmed, Akbar S. 1994. Islam in the Age of Postmodernity, An Article in Islam, Globalization, and Postmodernity. London: Routledge.
Al-Attas, Syed Naquib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
Al-Jamaly, M. Fahil. 1986. Filsafat Pendidikan dalam al-Qur'an. Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Nahlawi. 1979. Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibuha. Beirut: Darul Fikr.
Al-Toumy, Oemar M,. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Arifin. 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Firdaus.
Azra, Azyumardi. 1998. Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Baumer, Franklin F. 1977. Modern European Thought: Continuity and Chang in Ideas 1600-1950. New York: Macmillan Publishing Co.Inc.
Budaiman, Arief. 1994. Setelah Pasca Modernisme Apa? Dalam Ulumul Qur'an. No.1, Vol. V.
Carrel, Alexis. 1967. Man, The Unknown. New York: Harper and Row Publisher.
Cox, Harvey. 1984. Religion in the Secular City: Toward a Post Modern Theology. New York: Simon Schuster.
Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Mengapa EI lebih penting dari pada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Harahap, Syahrin. 1997. Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur'an dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Harjono, Anwar. 1996. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hoesen, Oemar Amin. 1961. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Maksum. 1997. Madrasah: Sejarah & Perkembangannya. Jakarta: Logos.
Maksun, Ali, Lulu Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: Ircisod.
Muhaimin, et.al. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta, PSAPM Surabaya & Pustaka Pelajar.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.
Naisbitt, John and Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000. London: Sidgwick.
Naisbitt, John and Patricia Aburdene. 1996. Megatrends Asia: Eight Megatrends That Are Reshaping Our World. New York: Simon & Schuster
Nasr, Seyyed Hossein. 1968. Science and Civilization in Islam. Cambridge — Massachusett: Harvard University Press.
Nasution, Harun. 1975. Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1983. Manusia Menurut Konsep Islam, dalam Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Jakarta.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Saefuddin, AM.. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.
Sukidi. 2000. Spiritual Intelligence, Menggeser Intelligence Quotient dan Emotional Intelligence, KATALIS Indonesia, Vol. I, No.1.
Sumardi, Mulyanto. 1977. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975. Jakarta: LPIAK Balitbang Depag.
Surakhmad, Winarno, et.al. 2003. Mengurai Benang Kusut Pendidikan: Gagasan Para Pakar Pendidikan. Yogyakarta: Transformasi UNJ dan Pustaka Pelajar.
Syahrin Harahap (Ed.). 1998. Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana & IAIN SU.
Tadjab. 1987. Posisi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, thesis. Yogyakarta: Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Tampubolon, Daulat P. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Semarang: Aneka Ilmu, 1992.
Usher, Robin and Richard Edwards. 1994. Postmodernism and Education. London & New York: Routledge.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001 SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Terj. oleh Rahmani Astuti, dkk. Bandung: Mizan.
C. PROBLEMATIKA SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Sistem pendidikan di Indonesia mewarisi dua tradisi yang telah berakar di dalam budaya masyarakat Indonesia sendiri, yakni tradisi Islam dan tradisi pendidikan modern yang dibawa oleh Belanda. Dua tradisi ini kemudian melahirkan dua model sistem dan penyelenggaraan pendidikan yang tetap bertahan hingga dewasa ini. Tradisi Islam mewarisi sistem pendidikan model pondok pesantren yang menekankan pada pengkajian dan pendalaman khazanah ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus sebagai pusat gerakan dakwah penyebaran Islam kepada masyarakat. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, para pembaru Islam memperkenalkan model pendidikan madrasah yang merupakan “jalan tengah” antara model pendidikan Islam tradisional (pesantren) dengan model pendidikan modern (sekolah). Madrasah selain tetap memberikan pengajaran ilmu-ilmu keislama, juga mulai memperkenalkan ilmu-ilmu sekuler (umum), terutama ilmu alam dan matematika, meskipun dalam porsi yang relatif kecil.
Sementara itu, pemerintah kolonial Belanda mewarisi tradisi pendidikan modern yang menekankan pada aspek pendidikan sains dan keterampilan. Pada awalnya, sekolah-sekolah yang didirikan Belanda di Nusantara lebih dimaksudkan sebagai tempat pelatihan calon-calon pegawai rendahan di dalam birokrasi lokal Belanda. Tetapi kalangan yang bisa mengikuti pendidikan Belanda sangat terbatas pada kelompok elite priyayi, keluarga ningrat dan kaya, di perkotaan. Sementara kalangan miskin pedesaan hampir tidak memperoleh kesempatan pendidikan sama sekali.
Setelah kemerdekaan, dualisme tersebut justru diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang No.4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang menjadi acuan bagi kebijakan pendidikan di Indonesia tidak secara eksplisit mengatur keberadaan madrasah. UU tersebut menegaskan dan melegalisasikan adanya dualisme dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah sekuler (umum) berada di bawah pengelolaan dan pembinaan Kementerian Pendidikan, sedangkan madrasah dikelola dan dikembangkan oleh Kementrian Agama.
Dualisme pendidikan ini selanjutnya ditegakkan di dalam ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 tanggal 3 Desember 1960 tentang “Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Tahapan Pertama Tahun 1961-1968”. Dalam kaitannya dengan pendidikan, ketetapan ini antara lain menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat/sekolah dasar sampai universitas-universitas/perguruan tinggi, dengan pengertian murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya. Dalam Tap MPRS tersebut juga dijelaskan bahwa “madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom di bawah pengawasan Departemen Agama dan bukan di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan”. Dengan Tap MPRS ini, madrasah tetap berada di luar sistem pendidikan nasional.
Perbedaan naungan institusional di pemerintahan tersebut selanjutnya melahirkan perbedaan dan dualisme baik menyangkut struktur kurikulum, penyediaan tenaga pendidikan, dan pembiayaan. Struktur kurikulum madrasah hingga awal 1970-an hampir 90% bernuansa Islam. Sedangkan sekolah umum mengembangkan kurikulum yang 100 % bermuatan akademik dan pelajaran keagamaan hanya berupa kurikulum pilihan.
Upaya pemerintah untuk mengakhiri dikotomi ini sebenarnya sudah mulai dilakukan pada tahun 1972. Keppres No.34/1972, yang kemudian dipertegas dengan Inpres No.15/1974 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan latihan. Inti dari kebijakan itu hanya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaanlah yang memiliki tugas dan tanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan. Otomatis hal ini berarti lembaga pendidikan dan kejuruan yang berada di bawah Departemen Agama dan departemen lainnya harus diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Namun demikian, ketegangan politik antara pemerintah Orde Baru dengan umat Islam pada awal tahu 1970-an mendorong kalangan Islam untuk menolak gagasan dasar Keppres tersebut. Tetapi penolakan tersebut melahirkan kompromi besar yang menentukan masa depan madrasah, yakni lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 24 Maret 1975 No. 0371 U/1975, No.6 Tahun 1975, dan No.16 Tahun 1975. SKB tersebut memberikan dasar bagai ketetapan madrasah di bawah Departemen Agama dan transformasi internal dan kurikulum pendidikan madrasah dengan memasukkan 30% mata pelajaran akademik (non-agama).
Selanjutnya, lahirlah SKB 2 Menteri tahun 1984, yang salah satu isinya adalah revisi struktur kurikulum nasional dan kurikulum madrasah, yang kemudian dikenal dengan Kurikulum 1984. Inti dari perubahan kurikulum ini adalah kompetensi dasar (basic competence) di sekolah umum dan madrasah diupayakan harus sama agar memberikan kesempatan pada siswa lulusannya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional semakin menemukan bentuk dalam UUSPN No.2 tahun 1989. Melalui UUSPN ini, madrasah mengalami perubahan definisi, dari “sekolah agama” menjadi “sekolah umum berciri khas Islam”. Perubahan definisi ini penting artinya karena dengan demikian berarti madrasah tidak hanya telah menjadi lembaga pendidikan modern, tetapi ia jug amendapat legitimasi sepenuhnya sebagai dari sistem pendidikan nasional.
Perubahan definisi itu selanjutnya juga menuntut adanya perubahan kurikulum, maka lahirlah kurikulum 1994. Karena madrasah tidak lagi sekolah agama, maka kurikulumnya 100% sama dengan sekolah umum di Departemen pendidikan.
Semua upaya pengintegrasian madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional tersebut menemukan titik puncaknya pada awal tahun 2000, setelah Presiden RI ke-4, K.H., Abdurrahman Wahid mengubah struktur kementrian pendidikan dari “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan” menjadi “Departemen Pendidikan Nasional”. Perubahan ini memperluas horizon departemen hingga memayungi semua bentuk, jenis, dan keragaman lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Berdasarkan hal itu, presiden K.H. Abdurrahman Wahid menggulirkan ide “pendidikan satu atap” sistem pendidikan nasional dan memiliki status dan hak yang sama. Inilah yang diharapkan akan mengakhiri dikotomi “pendidikan umum” dan “pendidikan Islam”.
Dengan terintegrasinya sistem pendidikan menjadi satu atap, apakah persoalan lama seperti dikotomi, ambivalensi, dan disintegratif berarti sudah selesai dan tuntas? Jawabannya, ternyata belum. Sampai saat ini, masih terjadi dikotomi: Pertama, dikotomi institusi, dan kedua, dikotomi keilmuan.
Pertama, dikotomi institusi. Departemen Agama masih mengurusi pendidikan (madrasah) sebagaimana masa-masa lalu. Oleh karena itu, perlu adanya restrukturisasi institusi, di mana seluruh madrasah yang masih dikelola oleh Departemen Agama mulai dari tingkat pusat sampai di daerah diserahkan kepada Departemen Pendidikan. Tentu ini tidak mudah karena menyangkut sejarah, aset, politik, ideologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, dua departemen tersebut perlu untuk merumuskan bentuk dan model “pendidikan satu atap”. Sejauh ini, implementasi “pendidikan satu atap” masih sulit diwujudkan. Perlu adanya jiwa besar dari pejabat di Departemen Agama untuk menyerahkan aset-aset pendidikannya kepada Departemen Pendidikan, begitu juga harus ada ketulusan dan komitmen dari Departemen Pendidikan Nasional untuk memperlakukan madrasah secara adil dan sejajar dengan sekolah umum yang lebih dulu jadi tanggung jawabnya. Apabila sikap ini terwujud, maka tidak ada lagi kebijakan diskriminasi terhadap madrasah dan pendidikan Islam lainnya seperti terjadi selama ini.
Kedua, dikotomi keilmua. Problem dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum atau antara ilmu agama dan ilmu umum telah muncul sejak lama dan sampai sekarang masih berlangsung. Secara simbolik, dikotomi jenis keilmuan ini masih terlihat dengan jelas antara madrasah dan sekolah umum. Pembagian kurikulum di madrasah masih bermuara pada ilmu umum dan ilmu agama; begitu juga di sekolah umum masih ada mata pelajaran umum dan juga agama. Di madrasah mata pelajaran agama Islam dibagi ke dalam beberapa sub mata pelajaran, yaitu al-Qur'an, Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Sejarah, Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab, yang masing-masing berdiri sendiri sebagai mata pelajaran. Sedangkan di sekolah umum, mata pelajaran agama Islam di atas digabung menjadi satu, dan porsinya hanya dua jam per-Minggu. Untuk menghapus dikotomi tersebut, perlu adanya reformulasi (perumusan kembali) kurikulum yang benar-benar integratif. Ajaran-ajaran Islam tidak lagi diberikan dalam bentuk mata pelajaran umum. Ini memang sulit dan membutuhkan pemikiran yang serius, namun apabila dapat dilakukan maka akan dikotomi akan bisa dihilangkan. Sehingga tidak dikenal lagi pembedaan mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum, baik di madrasah maupun di sekolah umum. Konsekuensinya diperlukan guru-guru yang mampu mengintegrasikan wawasan imtaq (iman dan taqwa) dan Iptek, diperlukan buku-buku teks yang bernuansa agamis dan bermuatan pesan-pesan religius pada setiap bidang atau mata pelajaran. Untuk upaya ke arah itu, sebenarnya Departemen Agama telah memulai langkah besar dengan menyusun buku panduan guru mata pelajaran umum yang bernuansa Islami, akan tetapi belum bisa menghapus sepenuhnya dikotomi tersebut.
BAB : II
PENDIDIKAN ISLAM
SEBAGAI PARADIGMA ALTERNATIF PENDIDIKAN
DI INDONESIA
A. PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam sebagai Aliran Filsafat
Sekalipun agama Islam telah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII M, pemikiran di kalangan kaum muslimin dalam catatan sejarah baru dimulai dari awal abad VIII M. Hal ini disebabkan karena pada satu abad pertama perkembangan Islam tidak terdapat isme-isme selain wahyu. Namun demikian, filsafat baru dianggap berkembang dengan baik mulai abad IX M hingga abad XII M, dan kemudian padam tanpa berpengaruh sejak abad XV M. Keberadaan filsafat di kalangan dunia Islam yaitu selama masa daulah Abbasiyah di Baghdad (750 — 1258 M) dan Daulah Amawiyah di Spanyol (755 — 1492 M).
Periode pemikiran filsafat kaum muslimin dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu:
Periode Kalam Pertama
Periode ini melahirkan kelompok mutakalimin/aliran dalam ilmu kalam, yakni Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Mutazilah, dan Ahl Sunnah. Dalam kaitannya dengan filsafat yang paling menonjol adalah aliran Mutazilah yang dimotori oleh Wasil ibn Atha dan dianggap sebagai rasionalisme Islam. Timbulnya aliran ini antara lain sebagai jawaban atas tantangan yang timbol berupa paham mengenai masalah Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan, yaitu faham tasybih (antropomorphisme), Jabariyah, dan Khawarij. Mutazilah memberikan jawaban dengan konsep dan ajarannya, yaitu Keesaan Tuhan (tauhid), kebebasan kehendak (al-iradah), keadilan Tuhan (al-adalah), posisi tengah (al-manzilah bain al-manzilataini), dan amar maruf nahi munkar.
Periode Filsafat Pertama
Periode ini ditandai dengan munculnya tokoh ilmuwan dan ahli dalam berbagai bidang yang menaruh perhatian terhadap filsafat Yunani, terutama filsafat Aristoteles. Periode ini adalah periode munculnya para filosofi Muslim di dunia Timur, seperti al-Kindi (806 — 873 M), al-Raz (865 — 925 M), al-Farabi (870 — 950 M), dan Ibnu Sina (980 — 1037 M).
Periode Kalam Kedua
Pada periode ini tokoh kalam penting dan besar pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu kalam adalah pertama, al-Asyari (873 — 957 M). Semula ia adalah penganut Mu'tazilah tetapi karena tidak puas dengan ajran yang diberikan gurunya, al-Jubai, akhirnya ia keluar dari Mu'tazilah. Aliran dan fahamnya disebut al-Asariyah. Di samping al-Asyari juga ada al-Mturidi, ajarannya disebut Maturidiayh. Kedua, al-Ghazali (1065 — 1111 M). ia adalah tokoh Muslim yang berpengaruh besar terhadap dunia Islam dan bergerak hujjat al-Islam. Semula ia adalah seorang mutakallim, tetapi karena tidak menemukan kepuasan dengan metode pemikiran kalam, beralih ke lapangan filsafat namun di bidang ini pun tidak menemukan kepuasan akhirnya beralih ke lapangan tasawuf. Di bidang inilah ia menemukan sesuatu yang dicarinya. Sikapnya terhadap filsafat dan para filusuf tercermin melalui bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof).
Periode Filsafat Kedua
Periode ini ditandai dengan tampilnya sarjana dan ahli dalam berbagai bidang yang juga meminati filsafat. Merkea hidup dalam masa daulah Amawiyah di Spanyol pada saat Eropa sedang dalam masa kegelapan alam pikiran. Dengan tampilnya para filosof Muslim di Eropa ini ilmu dan peradaban tumbuh dengan pesat. Mereka adalah Ibnu Bajjah (m. 1138 M), Ibnu Tufail (1110 — 1185 M), dan Ibnu Rusyd (1126 — 1138 M). Dapat ditambahkan bahwa Ibnu Rusyd menjunjukkan sikap pembelaannya terhadap filsafat dan para filosof atas serangan al-Ghazali. Pembelaannya tercermin dari judul bukunya Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam Kerancuan). Lewat buku ini Ibnu Rusyd ingin menyampaikan pesan bahwa yang kacau itu sebenarnya al-Ghazali dalam memahami alam pikir para filosof.
Periode Kebangkitan
Periode ini ditandai lahirnya kesadaran dan kebangkitan kembali dunia Islam setelah mengalami kemerosotan sejak abad XV — XIX M. Oleh karena itu, periode ini ada yang menyebutnya sebagai renaissance dunia Islam. Di antara tokoh yang berpengaruh adalah Jamauddin al-Afghani, M. Abduh, dan M. Iqbal.
Kebanyakan ahli sejarah Islam memberikan keterangan bahwa filsafat Islam dimulai dari filsafat Yunani. Keterangan ini kemudian diselidiki dan ternyata tidak sepenuhnya benar, karena tokoh-tokoh Muslim saat itu juga mengambil pemikiran filsafat dari India dan Persia. Bahan-bahan filsafat tersebut digodok dan diseleksi, dan kemudian menghasilkan filsafat yang bercorak Islam. Corak filsafat Islam adalah karakternya yang tidak terlepas dari agama, meskipun ia berdiri sendiri, tetapi ia tidak terlepas dari agama. Muara akhir dari perjalanan pemikiran filsafat Islam adalah untuk sampai kepada Allah.
Pendidikan dalam Perspektif Filsafat Islam
Hakekat Pendidikan
Hakekat pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, karena kedua sumber tersebut merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apa pun dalam Islam. Dengan berpijak dari kedua sumber itu diharapkan akan diperoleh gambaran yang jelas tentang hakekat pendidikan Islam.
Muhammad S.A. Ibrahim, memandang bahwa hakekat pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam sehingga ia dengan mudah dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam. Pemahaman itu mengacu pada perkembangan kehidupan manusia masa depan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip Islami yang diamanatkan oleh Allah kepada manusia sehingga manusia mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
Omar Muhammad al-Toumi al-Syaibani mendefinisikan hakekat pendidikan Islam sebagai proses tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya dengan pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat. Pendidikan tersebut memfokuskan perubahan tingkah laku manusia yang konotasinya pada pendidikan etika. Di samping itu, pendidikan tersebut menekankan aspek produktivitas dan kreativitas manusia dalam peran dan profesinya dalam kehidupan di masyarakat dan alam semesta.
M. Fadhil al-Jamaly memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai upaya pengembangan, mendorong, dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulai, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. Dari penjelasan al-Jamaly ini, pendidikan Islam mengemban misi untuk mengembangkan potensi anak didik dari sudut otak, hati, dan juga keterampilan.
Kemudian dari hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, didapatkan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Pengertian ini mengandung arti dalam proses pendidikan Islam usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat dengan tujuan yang ditetapkan yaitu menanamkan takwa, akhlak, dan menegakkan kebenaran, sehingga terbentuklah manusia yang berkepribadian dan berbudi luhur4 sesuai dengan ajaran Islam.
Azra dengan mengutip al-Qardhawi menjelaskan tentang hakekat pendidikan Islam yaitu pendidikan manusia setutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlaknya dan ketrampilannya, karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup, baik dalam damai dan perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Azra (dalam halaman yang sama) mengutip Hasan Langgulung bahwa pendidikan Islam itu ialah proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
Dari beberapa kutipan pemikiran para ahli di atas, maka hakekat pendidikan Islam meliputi lima prinsip pokok, yaitu pertama, proses transformasi dan internalisasi, yakni pelaksanaan pendidikan Islam harus dilakukan secara bertahap, berjenjang, dan kontinyu dengan upaya pemindahan, penanaman, pengarahan, pengajaran, dan pembimbingan yang dilakukan secara terencana, sistematis, dan terstruktur dengan menggunakan pola dan sistem tertentu. Kedua, ilmu pengetahuan dan nilai-nilai, yakni upaya yang diarahkan kepada pemberian dan penghayatan serta pengalaman ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Ketiga, pada diri anak didik, yakni pendidikan itu diberikan kepada anak didik yang mempunyai potensi rohani. Dengan potensi itu anak didik dimungkinkan dapat dididik, sehingga pada akhirnya mereka dapat mendidik. Keempat, melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya, yakni tugas pendidikan Islam menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, dan menjaga potensi laten manusia agar ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan, minat, dan bakatnya. Dengan demikian terciptalah dan terbentuklah kreativitas dan produktivitas anak didik. Kelima, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup dalam segala aspeknya, yakni tujuan akhir dari proses pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil, manusia yang dapat menyelaraskan kebutuhan hidup jasmani-rohani, struktur kehidupan dunia-akhirat, seimbang pelaksanaan fungsi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah. Akhirnya, pendidikan Islam seperti di atas dapat menjadikan anak didik penuh bahagia, sejahtera, dan penuh kesempurnaan.
Tujuan Pendidikan
Abdurrahman Saleh Abdullah menyatakan tujuan pendidikan Islam diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu pertama, tujuan pendidikan jasmani. Mempersiapkan diri manusia sebagai pengembang tugas khalifah di bumi melalui pengembangan keterampilan fisik. Kedua, tujuan pendidikan rohani. Meningkatkan jiwa kesetiaan hanya kepada Allah semata dan melaksanakan moralitas Islami yang diteladani Nabi Muhammad dengan berdasarkan pada cita-cita ideal dalam al-Qur'an. Ketiga, tujuan pendidikan akal. Pengarahan intelegensi untuk menemukan kebenaran dan sebab-sebab dengan telaah tanda-tanda kekuasaan Allah dan menemukan pesan ayat-ayatNya yang membawa iman kepada Sang Pencipta. Tahapan pendidikan ini ialah pencapaian kebenaran ilmiah, pencapaian kebenaran empiris, dan pencapaian kebenaran meta-empiris (metafisika). Keempat, tujuan pendidikan sosial. Membentuk kepribadian yang utuh dari roh, tubuh, dan akal.
Sedangkan menurut Ali Asraf, tujuan pendidikan Islam adalah pertama, mengembangkan wawasan spiritual yang semakin mendalam dan mengembangkan pemahaman rasional mengenai Islam dalam konteks kehidupan modern. Kedua, membekali anak didik dengan berbagai kemampuan pengetahuan dan kebajikan, baik pengetahuan praktis, kesejahteraan, lingkungan sosial, dan pembangunan nasional. Ketiga, mengembangkan kemampuan kreatif dapat berkembang dan berfungsi mengetahui norma-norma Islam yang benar dan yang salah. Kelima, membantu anak yang sedang tumbuh untuk belajar berpikir secara logis dan membimbing prses pemikirannya dengan berpijak pada hipotesis dan konsep-konsep pengetahuan yang dituntut. Keenam, mengembangkan, menghaluskan, dan memperdalam kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tulis dan bahasa Latin (asing).
Sementara menurut M. Athiyah al-Abrasyi, tujuan pendidikan Islam adalah: 1) Membentuk akhlak yang mulia; 2) Menitikberatkan pada kehidupan dunia dan akhirat; 3) Bersifat vokasional dan profesional; 4) menumbuhkan semangat ilmiah dan menumbuhkan rasa ingin tahu; dan 5) menyiapkan peserta didik yang profesional.
Menurut pemikir lain, seperti Oemar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, tujuan pendidikan Islam adalah: pertama, tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, pelajaran dan dengan pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu-individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaian, dan pada pertumbuhan yang diinginkan para pribadi mereka, dan pada persiapan yang dipastikan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, dengan perubahan dan pertumbuhan, dan dengan memperkaya pengalaman dan kemajuan yang diingini. Ketiga, tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi, dan sebagai suatu aktivitas, dan sebagai suatu aktivitas di antara aktivitas-aktivitas masyarakat.
Tugas Pendidikan
Tugas pendidikan Islam senantiasa bersambung dan tidak terbatas oleh waktu. Hal ini karena hakekat pendidikan Islam merupakan proses tanpa akhir sejalan dengan konsep Islam life long education (Q.S. al-Hijr [15]: 99). Demikian juga tugas yang diberikan pendidikan Islam bersifat dinamis dan progresif mengikuti kebutuhan anak didik dalam arti yang luas.
Untuk menelaah tugas pendidikan Islam, dapat dilihat dari tiga pendekatan. Pertama, pendidikan sebagai pengembangan potensi. Manusia mempunyai sejumlah potensi, sedangkan pendidikan merupakan proses untuk menumbuhkan potensi-potensi tersebut. Dalam bahasa Islam potensi tersebut dinamakan fitrah. Hal tersebut memelihara fitrah anak didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki, dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan, serta merealisasikan program tersebut secara bertahap. Pengembangan berbagai potensi fitrah dapat dilakukan dengan kegiatan belajar yaitu melalui institusi-institusi, baik institusi sekolah, keluarga maupun masyarakat dan institusi sosial lainnya.
Kedua, pewarisan budaya. Tugas pendidikan Islam selanjutnya adalah mewariskan nilai-nilai budaya Islami. Hal ini karena budaya Islami akan mati bila nilainya dan normanya tidak berfungsi dan belum sempat diwariskan pada generasi berikutnya. Proses pewarisan nilai budaya dalam pendidikan Islam dapat ditempuh dengan berbagai jalan, yakni: 1) melalui pengajaran, berarti pemindahan pengetahuan; 2) melalui latihan, bermakna membiasakan diri melakukan pekerjaan untuk memperoleh kemahiran dalam pekerjaan tertentu; 3) Indoktrinasi, proses yang melibatkan seseorang meniru atau mengikuti apa yang diperintahkan seseorang kepada yang lain.
Ketiga, interaksi antara potensi dan budaya. Manusia mempunyai potensi dasar sebagai potensi yang melengkapi manusia untuk tegaknya peradaban dan kebudayaan Islam. Dalam versi lain, tugas pendidikan Islam adalah menegakkan bimbingan anak agar menjadi dewasa. Yang dimaksud dengan dewasa adalah: 1) Kedewasaan psikologis, anak didik dapat berkembang fungsi jiwanya, matang emosi, dan moralnya; 2) Kedewasaan biologis, peserta didik dapat memfungsikan naluri biologisnya sesuai dengan ajaran Islam; 3) Kedewasaan sosial, anak didik dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya secara wajar; d) Kedewasaan paedagogis, anak didik dapat menyadari hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab terhadap perbuatannya; 5) Kedewasaan religius, anak didik dapat melaksanakan ajaran Islam dengan penuh ketaatan dan keikhlasan.
Dari beberapa uraian tugas pendidikan itu, maka dapat dipahami bahwa tugas pokok pendidikan Islam adalah membantu pembinaan anak didik pada ketakwaan dan berakhlak karimah yang dijabarkan dalam pembinaan kompetensi keimanan, keislaman, dan keikhlasan. Selain itu, tugas pendidikan tugas mempertinggi kecerdasan dan kemampuan dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, beserta manfaat dan aplikasinya dan dapat meningkatkan kualitas hidup dengan memelihara, mengembangkan serta meningkatkan bakat yang dimilikinya. Dengan proses semacam itu, diharapkan dapat menumbuhkan kreativitas anak didik, melestarikan nilai-nilai, dan membekali kemampuan produktivitas pada anak didik.
Kurikulum Pendidikan
Landasan pokok penyusunan kurikulum Islami harus memuat prinsip: 1) Mengandung nilai kesatuan dasar bagi persamaan nilai-nilai Islam pada setiap waktu dan tempat; 2) mengandung nilai kesatuan diri persamaan kepentingan dalam mengembangkan misi ajaran Islam; 3) mengandung materi yang bermuatan pengembangan spiritual, intelektual, dan jasmaniah.
Abudrrahman al-Nahlawi memberikan batasan tentang ciri khas kurikulum yang Islami adalah sebagai berikut: 1) Sistem dan perkembangan kurikulum selaras dengan fitrah manusia; 2) Diarahkan untuk mencapai target akhir pada peserta didik yaitu ikhlas dan taat beribadah kepada Allah; 3) Memperhatikan periodesasi perkembangan peserta didik, tipologi, sifat, dan gender; 4) Hendaknya memelihara segala kebutuhan nyata kehidupan masyarakat sambil tetap bertopang pada jiwa dan cita-cita ideal Islam; 5) Tidak menimbulkan pertentangan dalam arti yang umum; 6) Dapat direalisasikan sesuaikan dengan situasi dan kondisi; 7) bersifat luwes sehingga dapat disesuaikan dengan berbagai kondisi dan situasi setempat dengan mengingat pula faktor perbedaan individu yang menyangkut bakar, minat, dan kemampuan anak didik; 8) Bersifat afektif, menyampaikan dan menggugah perangkat nilai edukatif yang membuahkan tingkah laku yang positif; 9) Memperhatikan perkembangan peserta didik (perasaan keagamaan dan pertumbuhan bahasa); 10) Memperhatikan tingkah laku amaliah Islamiah.
Tentang prinsip yang menjadi pertautan dasar kurikulum, al-Syaibani memberikan uraian sebagai berikut; pertama, pertautan yang sempurna dengan ajaran dan jiwa agama. Kedua, bersifat universal yang meliputi segala aspek pribadi peserta didik. Ketiga, memperhatikan aspek keseimbangan antara spiritual dan material. Keempat, berkaitan dengan bakat dan minat serta kemampuan anak didik dan kondisi sosial lingkungannya. Kelima, pemeliharaan perbedaan individu anak didik, alam sekitar, dan masyarakat. Keenam, prinsip perkembangan dan perubahan kurikulum untuk progresifitas dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan sosial. Ketujuh, pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang terkandung dalam kurikulum.
3. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN ISLAM
Dalam kehidupan sehari-hari banyak contoh yang menunjukkan tidak sedikit orang dengan kemampuan intelektual luar biasa namun gagal karena rendahnya kecerdasan emosi yang dimiliki. Berikut ilustrasi kasus yang menggambarkan statemen ini.
Sebuah nasib tragis: guru fisika di sekolah menengah, David Pologruto, justru ditikam dengan sebelah pisau dapur oleh salah seorang siswa yang sangat brillian di kelasnya. Ceritanya, Jason H, siswa kelas dua sebuah SMU di Coral Springs Florida USA, yang selalu mendapat nilai A, bercita-cita masuk fakultas kedokteran. Bukan sekedar fakultas kedokteran, ia memimpikan Harvard. Tetapi, Pologruto, guru fisikanya, memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes. Karena yakin bahwa nilai itu — yang hanya B — akan menghalang-halangi cita-citanya. Jason membawa sebelah pisau dapur ke sekolah dan dalam pertengkaran dengan gurunya di laboratorium fisika, ia menusuk gurunya di tulang selangka.
Robert Sternberg, ahli psikologi dari Yale University, USA, menceritakan kisah yang patut direnungkan mengenai dua orang mahasiswa, Penn dan Matt. Penn seorang mahasiswa yang cemerlang dan kreatif, sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh Yale University. Masalah yang dihadapi oleh Penn adalah bahwa ia sadar dengan keluarbiasaannya, maka seperti kata salah seorang profesor, mahasiswa ini “luar biasa sombong”. Penn, kendati sangat hebat, tidak disukai orang lain, terutama yang harus bekerja sama dengannya. Meskipun begitu, ia mengagumkan sekali dalam ujian-ujian, dan perusahaan terkemuka dalam bidangnya menawarinya wawancara untuk bekerja. Ternyata ia memang yang terbaik, setidak-tidaknya kalau dilihat dari prestasi akademiknya. Namun, keangkuhan Penn begitu nyata dalam wawancara-wawancara tersebut, sehingga hanya satu saja yang menawarinya pekerjaan, itu pun dari perusahaan kelas dua.
Matt, juga seorang mahasiswa Yale sejurusan dengan Penn, secara akademik tidak begitu cemerlang. Namun, ia pandai bergaul, disukai oleh setiap orang yang bekerja sama dengannya. Sesudah lulus, Matt diterima bekerja oleh tujuh dari delapan perusahaan yang mewawancarainya, sementara Penn dipecat kendati baru dua tahun bekerja pada perusahaan kelas dua yang menerimanya tadi. Matt, memiliki kecerdasan emosi, sedang Penn tidak. Itulah sebabnya mengapa banyak orang yang secara intelektual cerdas sekali bukanlah orang yang paling berhasil dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi mereka.
Adalah Daniel Goleman, seorang psikolog dari Harvard University, melaporkan hasil penelitiannya pada tahun 1995, bahwa tingkat intelegensi yang tinggi tidak menjamin gengsi, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesuksesan hidup. Ada kecerdasan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional. Kecerdasan intelektual (IQ) sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Inilah argumen epistemology Goleman untuk menggeser paradigma “intelligence quotient” (IQ) ke arah paradigma “emotional intelligence” (EQ). berbagai temuan riset baru dipaparkan Goleman, sekedar untuk menegaskan bahwa EQ dapat sama ampuhnya, dan terkadang lebih ampuh daripada IQ. Bahkan, dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas. Cara yang disebutnya “kecerdasan emosional” (EQ).
Kira-kira awal abad ke-20, IQ menjadi isu besar. Isu yang membidik cerdas atau tidaknya otak kita melalui tes yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT). Bayangkan, dua juta pria Amerika dipilih melalui tes bakat ini secara massal, khususnya selama Perang Dunia I. Waktu itu, tes IQ baru selesai disusun oleh ahli psikologi Universitas Stanford, Lewis Terman. Tes ini cukup khas dan membentuk “pola pikir IQ”: kita cerdas ataukah tidak, seperti sudah taken for granted. Takdir? Sulit dirubah. Kekhasan pola pikir IQ terletak pada pemikiran rasional dan logis. Cara berpikir IQ cenderung linier, dan merupakan derivasi dari aspek formal, berlogika Aristotelian serta matematis, seperti 2 + 2 = 4. Model kecerdasan ini memang banyak diilustrasikan dengan komputer yang memiliki tingkat IQ yang tinggi karena dapat beroperasi hampir tanpa kesalahan sama sekali. Manusia yang ber-IQ tinggi, otak kecerdasannya seringkali diumpamakan dengan kecanggihan kecerdasan komputer. Sampai-sampai pola berpikir IQ ini merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyarakat: ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan hidup, dan sebaliknya ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depan hidupnya.
Ukuran kecerdasan IQ berdasarkan Stanford Revision yang dibuat oleh Terman dan Merrill adalah sebagai berikut:
Tabel
Distribusi Kecerdasan IQ
Diadaptasi dari Stanford Revision
IQ
Klasifikasi
140 — 169
Amat Superior
120 — 139
Superior
110 — 119
Rata-Rata Tinggi
90 — 109
Rata-Rata
80 — 89
Rata-Rata Rendah
70 — 79
Batas Lemah Mental
20 — 69
Lemah Mental
Pola pikir IQ mengindikasikan dominasi rasionalitas. Rasionalitas dapat berbenturan dengan nilai-nilai tradisi yang emosional, termasuk nilai-nilai tradisi yang emosional, termasuk nilai-nilai agama. Rasionalitas juga mengimplikasikan dominasi rasio atau nalar dalam kehidupan. Dominasi rasio ini menyebabkan melemahnya kehidupan beragama, sebagaimana dapat dilihat dari perkembangan sekulerisme di dunia Barat yang memisahkan agama dari kehidupan bernegara. Setelah Perang Dunia II, terutama sejak tahun 70-an, banyak pemikir Barat yang menyadari akibat-akibat negatif dari dominasi rasio itu. Baumer (1977) misalnya, mengatakan telah terjadi dekadensi dalam kebudayaan Barat, yang antara lain ditandai oleh semakin jauhnya individu dan masyarakat dari agama. Dominasi rasio berkembang pesat melalui pendidikan, termasuk di Indonesia. Selama pendidikan di Indonesia mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, terlalu menekankan pada aspek akademik, kecerdasan otak atau IQ saja.
Salah satu perbedaan dasar antara masyarakat Barat dan Timur ialah bahwa masyarakat Barat cenderung lebih mendengarkan kata kepala, sedangkan masyarakat Timur lebih mendengarkan kata hati. Mulai tahun 80-an, anggapan tersebut tampaknya berubah, Harvey Cox (1984), mengatakan religion return to secular city (agama kembali bangkit dalam masyarakat sekular). Kemudian dalam tahun 90-an, Naisbitt (1990), misalnya, meramalkan kebangkitan agama dalam millennium ketiga. Lebih penting lagi ialah penemuan kecerdasan emosional (EQ) dalam psikologi, yang sebelumnya tidak disadari.
Apa itu kecerdasan emosional (EQ)? EQ, menunjuk kepada suatu kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir, dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang terkendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik. Dengan demikian, kecerdasan emosi tidak mengabaikan kecerdasan intelektual, tetapi melengkapi agar menjadi satu kegiatan intern dalam diri seseorang.
Adapun ciri-ciri kecerdasan emosi ada lima, yaitu:
Kesadaran diri (self-awareness): mengetahui apa yang kita rasakan pada sautu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Unsur-unsur self-awareness, terdiri dari:
Kesadaran emosi (emotional awareness): Mengenali emosi sendiri dan efeknya.
Penilaian diri secara teliti (accurate self-assessment): Mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
Percaya (self-confidence): keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
Pengaturan diri (self-regulation): Menangani emosi diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi.
Unsur-unsur self-regulation, adalah:
a. Kendali diri (self-control): mengelola emosi-emosi dan desakan-desakan hati yang merusak.
Sifat dapat dipercaya (trustworthiness): Memelihara norma kejujuran dan integritas.
c. Kehati-hatian (conscientiousness): Bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
d. Adaptabilitas (adaptability): Keluwesan dalam menghadapi perubahan.
Inovasi (innovation): Mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
Motivasi (motivation): Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, serta bertahan untuk menghadapi kegagalan dan frustasi.
Unsur-unsur motivation, adalah:
Dorongan prestasi (achievement drive): Dorongan untuk menjadi yang lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
Komitmen (commitment): Menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
Inisiatif (initiative): Kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan.
Optimisme (optimism): Kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
Empati (empathy): Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
Memahami orang lain (understanding others): Mengindera perasaan dan perspektif orang lain, dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
Mengembangkan orang lain (developing others): Mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
Orientasi pelayanan (service orientation): Mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan.
Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity): Menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang.
Kesadaran politis (political awareness): Mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok dan hubungannya dengan perasaan.
Keterampilan sosial (social skills): Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, serta untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.
Unsur-unsur social skills, adalah:
Pengaruh (influence): Memiliki taktik-taktik untuk melakukan persuasi.
Komunikasi (communication): Mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
Manajemen konflik (conflict management): Negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
Kepemimpinan (leadership): Membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang lain.
Katalisator perubahan (change catalyst): Memulai dan mengelola perubahan.
Membangun hubungan (building bonds): Menumbuhkan hubungan yang bermanfaat.
Kolaborasi dan koperasi (collaboration and cooperation): Kerja sama dengan orang lain demi tujuan bersama.
Kemampuan tim (team capabilities): Menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
Itulah paradigma EQ yang dikonstruksi oleh Goleman. EQ lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi. Sebab apabila emosi tidak terkendali, orang akan cepat marah-marah. Sikap marah-marah akan mematikan sistem kerja nalar dan intelektual, yang bisa berakibat pada disfungsinya potensi IQ. Di sinilah keunggulan EQ dibandingkan dengan IQ. Dalam praktek kerja sehari-hari, keunggulan EQ dapat diukur dari indikator: penuh motivasi dan kesadaran diri, empati, simpati, bersolidaritas tinggi, dan sarat kehangatan emosional dalam interaksi kerja, sebagaimana telah diuraikan secara terperinci di atas. Inilah ukuran orang yang ber-EQ cerdas, yang tidak selalu dimiliki orang yang ber-IQ tinggi sekalipun.
Lantas, bagaimana dengan temuan jenis “Q” ketiga, Spiritual Intelligence (SQ), yang disebut Danah Zohar dan Ian Marshall sebagai The Ultimate Intelligence, Kecerdasan puncak? Kemudian, SQ itu apa? Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan rohaniah, kecerdasan hati, dan kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu kita menyembuhkan dan membangunkan diri kita secara utuh. Banyak sekali di antara kita yang saat ini menjalani hidup yang penuh luka dan berantakan. Pengaruh gaya hidup material-reduksi, lalu terperangkap pada paham sekulerisme, yang memproklamirkan terbebasnya manusia dari kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama.
SQ akan mengembalikan manusia kepada makhluk spiritual, yang merupakan fitrah kejadiannya. Tetapi dalam perjalanan hidupnya, manusia berjalan menjauh dari fitrah tersebut karena godaan-godaan duniawi dan hiruk pikuknya kehidupan modern. Kebahagiaan sejati terletak pada pemenuhan yang bersifat spiritual ini. Karena itu, keburukan manusia yang bersifat spiritual dan kecenderungan untuk kembali kepada agama adalah bersifat perennial-abadi, kekal, dan akan selalu hadir selama.
Danah Zohar dan Ian Marshall (2000), mengatakan bahwa kita dapat memperoleh SQ yang lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ membawa kita ke jantung segala sesuatu, ke kesatuan dibalik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata. SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial di belakang semua agama besar. Seseorang yang memiliki SQ tinggi mungkin menjalani agama tertentu, namun ia tidak akan bersikap picik, eksklusif, dan ekstrim, sebaliknya ia akan menunjukkan sikap inklusif, toleran dan pluralis.
Titik kekuatan SQ sebenarnya terletak pada berkembangnya dengan baik jiwa dan hati manusia. Dua esensi manusia itu apabila dikembangkan maka akan mencapai tingkat ketajaman “mata hati” (ain al-qalb), satu-satunya elemen esensi manusia yang sanggup menatap bayang-bayang Tuhan yang diisyaratkan oleh alam semesta. Dalam al-Qur'an dijelaskan bahwa hati yang terlatih akan mampu mencapai tingkatan nafsu-al muthmainnah (jiwa yang damai). Jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontrak spiritual dengan Tuhannya.
Tanda-tanda dari SQ yang telah berkembang dengan baik, menurut Zohar dan Marshall, mencakup hal-hal berikut:
Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif).
Tingkat kesadaran diri yang tinggi
Kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit
Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan “holistic”)
Kecenderungan nyata untuk bertanya “Mengapa?” atau “Bagaimana jika?” untuk mencari jawaban-jawaban yang mendasar.
Seseorang yang tinggi SQ-nya juga cenderung menjadi seorang pemimpin yang penuh pengabdian, yaitu seseorang yang bertanggungjawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi kepada orang lain dan memberikan petunjuk penggunaannya. Dengan perkataan lain, seseorang yang memberikan inspirasi, membantu, dan memberi motivasi untuk kesuksesan orang lain.
B. REFORMULASI PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik memiliki peran di masa datang. Masa mendatang yang bisa diprediksi dari fenomena sekarang adalah masa yang akan ditandai oleh 6 (enam) kompleksitas yang saling berkaitan dan telah ambil peran dalam menggerakkan proses peradaban universal, yakni melalui: Pertama, perkembangan teknik dan industri. Kedua, kemantapan sistem ekonomi global dan pasar bebas. Ketiga, kemantapan yang tak terpisahkan dari hal di atas, yakni jangkauan yang lebih canggih dari bidang komunikasi dan informasi: radio, televisi, telepon, dan internet, perkembangan sistem persenjataan yang memiliki daya penghancur dahsyat. Keempat, pengetahuan mengenai penghancuran yang semakin destruktif terhadap sumber daya alam bagi kelestarian kemanusiaan yang sudah akut, menakutkan, serta dampak perkembangan teknologi industri dan ekonomi. Kelima, ledakan jumlah penduduk di berbagai negara dengan pengertian bahwa sekarang dan masa depan yang tak terkendalikan oleh kebijakan setiap kelompok yang terpisah-pisah baik etnis, bangsa, negara atau blok-blok negara. Dengan demikian, tidak ada pilihan kecuali menerima kehadiran kehidupan multi etnik, budaya, ideologi, religius dalam masyarakat global.
Jika kita memandang pendidikan dari sudut persoalan kompleksitas global tersebut, baik dari sudut resiko yang dihadapi maupun peluang yang terbuka menjadi jelas. Pendidikan dan ilmu pengetahuan dewasa ini dihadapkan pada tugas baru yang besar dan berat. Ilmu pendidikan, para pendidik, dan unsur kependidikan harus berlaku bagi seluruh bangsa, negara, dan kebudayaan. Wawasan pendidikan harus bebas dari jeratan dan sekat-sekat pemikiran yang sempit, primordial dan eksklusif.
Dalam menghadapi konstelasi global dan peradaban baru yang terbentuk atas paradigma teknologi industrial, peran dan eksistensi pendidikan terus dituntut mengadakan perubahan dan pembahasan. Fungsi pendidikan pun selalu berubah, sejalan dengan beralihnya kekuasaan pengontrolannya. Pendidikan kini tak lagi mengutamakan upaya memanusiakan manusia (agar tak kasar dan primitive) melainkan sudah terasah dan terarah menjadi makhluk yang etis dan estetis, berbudi dan berbudaya. Kini pendidikan yang harus sudah mengutamakan terciptanya manusia baru yang produktif, terlihat dari sosoknya sebagai homo-economicus yang rasional, lugas, efektif, dan efisien.
Tak pelak lagi idealisme manusia sebagai manusia yang berkepribadian untuh dalam keseimbangan akal, emosi, dan keyakinan yang tak layak lagi tersisih sebagai arahan dan dalam materi pendidikan. Pragmatisme ekonomi dan rasionalitas teknis teknologi, banyak merebut porsi besar dalam materi pendidikan. Bermaterikan demikian, dengan berbagai ragam kemasan dan bumbuh-bumbu rakitan yang mengesankan, pendidikan menjadi bagian dari sistem produksi, atau kalau tidak demikian, sekurang-kurangnya pendidikan akan di-link and match-kan yang bermakna disubordinatkan kebutuhan industri.
Fungsi pendidikan sebagai education for the heart untuk membangun kepekaan evaluatif, etis, dan estetik akan mundur dan akan digantikan model education for the brain guna mengembangkan teknis aplikatif. Maka jadilah pendidikan hanya menggeluti hal-hal teknik sesaat dan akhirnya pendidikan itu sendiri tak ubahnya sebagai training for the hands.
Dalam kaitannya dengan hal-hal di atas bagaimana peran, visi, dan antisipasi pendidikan Islam? Akankah ikut arus tanpa melakukan selective borrowing yang berlandaskan fundamental dan filosofis? Sudahkah pendidikan Islam berpikir dan diarahkan ke sana? Mampukah pendidikan Islam eksis dan kompetitif dalam jaringan global itu? Apa pula variabel dan teori pendidikan yang harus dikembangkan?
Sebutan “pendidikan Islam” tidak hanya sekedar ciri khas dari ragam pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Tetapi lebih merupakan pemahaman “pendidikan Islam” menceriterakan karakteristik berikut: Pertama, dasar filosofis. Penyelenggaraan dan pendirian pendidikan Islam didorong oleh hasrat dan semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai dan misi keislaman. Di sini Islam dijadikan sebagai sumber-sumber nilai dan spirit filosofis yang akan diwujukan dalam selurh kegiatan pendidikannya. Kedua, program pendidikan. Pendidikan akan memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam berbagai pengetahuan untuk materi pengajaran, obyek kajian, dan diperlakukan sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Ketiga, penggagas dan pemrakarsa. Adalah orang-orang Islam yang memiliki kepedulian besar terhadap kelangsungan dan kebenaran Islam. Agar ajaran dan nilai Islam dapat diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya, maka perlu didirikan institusi pendidikan yang bernuansa Islam sebagai wahana mentransmisikan nilai-nilai dan budaya Islam. Keempat, segi institutisonal atau kelembagaan. Biasanya nama kelembagaan selalu memakai simbol-simbol keislaman baik secara formal “Islam” dipakai untuk lembaga atau mengambil tokoh-tokoh ilmuwan, ulama atau pejuang Islam, atau mengambil nama organisasi Islam sebagai nama lembaga.
Dari beberapa kemungkinan di atas, yang jelas pendidikan Islam mengemban misi dan tanggung jawab yang berat, karena sebuah institusi keislaman yang bergerak di bidang pendidikan, di samping dituntut untuk menjaga, mentransmisikan dan mengaktualkan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam kondisi demikian, bagaimana profil pendidikan Islam selama ini? Sudah mampukah dengan tuntutan idealisme di atas?
Sebagai ilustratif saja, sejauh ini pendidikan Islam seringkali diklaim kurang mampu dan lamban mengantisipasi tantangan, perubahan, dan tuntutan masyarakat. Sehingga produknya kurang memiliki kesiapan riil baik untuk mensuplai tenaga kerja siap pakai atau ready for used and marketable maupun untuk pengembang profesi dan keilmuan bagi disiplinnya. (sebagai pemikir dan ilmuwan).
Dari alur pikiran dan analisis di atas, beberapa statemen hipotesa dapat diturunkan sebagai berikut: Pertama, lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, dan sekolah Islam, program pendidikannya belum relevan dengan sasaran yang hendak dicapai. Baik untuk sasaran profesional seperti menjadi dai penyebar agama Islam dan membina perilaku umat secara Islami. Maupun untuk sasaran akademik, menjadi ahli dalam salah satu atau beberapa bidang studi “ilmu-ilmu agama”.
Kedua, lembaga pendidikan umum yang melaksanakan pendidikan Islam, termasuk “sekolah Islam” tidak memberikan dasar-dasar ilmu pengetahuan yang kuat untuk memberikan kemampuan bersaing dan dapat mengikuti tingkat pendidikan yang lebih tinggi serta mencapai hasil yang secara kompetitif diakui memiliki kemampuan profesional, sebagai tenaga terampil yang mampu mengaplikasikan kemampuan teknologisnya atau sebagai insan akademis yang menunukkan kepakaran di bidang disiplin ilmu.
Ketiga, tradisi ilmiah yang semata-mata pembuktian kebenaran hanya didasarkan kepada bukti-bukti kuantitatif empirik dan melahirkan lulusannya yang terbelah (dikotomis), tidak mampu mengintegrasikan nilai dan fungsi ke dalam satu kesatuan bangunan epistemology ilmu dan implikasi di dalam tugas-tugas pembangunan umat Islam dan bangsanya.
Keempat, sikap dan kerangka pemikiran dikotomik tersebut, membutuhkan terobosan baru dengan menggunakan pendekatan integralistik dalam mengkolaborasi kebenaran, yaitu memadukan antara lain dan fungsi dengan struktur dan metodologi ilmu.
Kelima, melakukan pembenahan dalam menetapkan tujuan dan teori, penjabaran dan sasaran pendidikan, substansi, struktur organisasi, metodologi, manajemen, pengelolaannya, kompartementalisai kurikulum, desain mutasi dan spesialisasi programnya.
Keenam, melaksanakan sistem pengadaan, rekruitmen, dan pengembanan tenaga pendidik (guru/dosen) yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan tuntutan baru dengan dunia pendidikan secara rasional dan obyektif.
Hipotesa persoalan di atas, akan semakin rumit apabila dihadapkan pada tantangan pendidikan Islam pada masa kini dalam percaturan dunia global. Pada satu sisi, pendidikan Islam dituntut untuk tetap mempertahankan dan mentransmisikan nilai-nilai, moral, dan etika Islam kepada anak didik. Pada sisi yang lain, pendidikan Islam semakin dituntut aktualitas dan daya antisipatifnya dalam wacana dunia global.
Dalam khazanah historis kejayaan Islam klasik, terdapat beragam saluran atau lembaga pendidikan Islam. Pertama, sistem pendidikan maktab (pendidikan dasar). Orientasi pendidikan ini mempunyai keunggulan dalam membentuk kepribadian, jiwa, intelek, dan spiritual anak didik. Pada lembaga ini anak-anak diajarkan prinsip-prinsip agama, menghormati guru, menyenangi subyek yang diajarkan, dan sebagai ajang persiapan studi lebih lanjut di mana sains diajarkan dan dikembangkan.
Kedua, sistem pendidikan madrasah. Madrasah merupakan institusi pendidikan formal yang berkembang pada masa awal sejarah Islam, lalu menjadi sistem akademi dan universitas, dan mencapai puncaknya pada zaman kerajaan Utsmani di mana sistem tersebut dikembangkan secara sistematis, dipelihara, dan ditunjang oleh pejabat “Syaikh Islam” dengan kecakapan dan efisiensi administrasi yang tinggi. Madrasah-madrasah dalam bentuk universitas yang besar, misalnya Universitas Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk, seorang wazir (perdana menteri) Dinasti Seljuk, dan Universitas al-Azhar di Kairo. Dalam madrasah-madrasah ini, dari jenjang yang bawah diajarkan pengetahuan agama, seperti ilmu tauhid, ushul al-din, syariah, dan semacamnya sampai tingkat tinggi (universitas) diajarkan baik sains-sains aqli maupun naqli dengan pembahasan tingkat tinggi.
Ketiga, di pusat-pusat sufi, seperti zawiyah dan khanqah, juga berlangsung aktivitas pendidikan. Di pusat-pusat ini, terutama diajarkan sains-sains tertinggi, seperti pengetahuan Ilahi (marifat atau irfan) atau bisa juga disebut scientia sacra. Keempat, di luar lembaga-lembaga di atas, juga berkembang, apa yang disebut “halaqah” (majelis), yang dipimpin oleh seorang profesor (syaikh, hakim atau ustadz) di forum ini didiskusikan dan dibahas berbagai sains yang religius maupun filosofis.
Dengan sistem dan model pendidikan di atas, ternyata mampu melahirkan ulama, ilmuwan, filosofi, sufi, sastrawan, dan penyair-penyair terkenal sampai sekarang. Melihat kenyataan historis semacam ini, bagaimana kita dapat merekonstrukti dan mereformulasikan ke dalam sistem pendidikan Islam sekarang?
Membangun sistem pendidikan Islam yang tepat untuk zaman sekarang memang bukanlah pekerjaan yang sederhana. Karena memerlukan adanya pemikiran dan perencanan yang terpadu dan menyeluruh. Pendekatan yang digunakan juga tidak sekedar pendekatan tambal sulam (scissor and paste approach), tapi harus menggunakan pendekatan integralistik (integralistical approach).
Untuk menuju kepada pendekatan integralistik, dan dalam upaya memadukan keunggulan warisan klasik Islam dengan kemajuan sistem modern, maka langkah-langkah berikut perlu dipikirkan kembali.
Arti dan Makna Pendidikan
Pendidikan, dalam konsep Islam, mengimplikasikan bukan sekedar pengajaran dan menyampaikan pengetahuan (talim), tetapi juga pelatihan seluruh diri anak didik (tarbiyah). Guru atau pendidik, bukan sekedar seorang mualim (penyampai pengetahuan) tetapi juga sekaligus seorang murabbi (pelatihan jiwa dan kepribadian).
Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan Islam, tidak pernah memisahkan pelatihan pikiran dari pelatihan jiwa dan keseluruhan pribadi secara utuh. Pendidikan Islam tidak pernah memandang alih pengetahuan (transfer of knowledge) dan cara memperolehnya absah tanpa dibarengi dengan kualitas-kualitas moral dan spiritual (transfer of moral and spiritual). Dengan sistem seperti ini, pendidikan Islam akan melahirkan insan-insan yang memiliki kualitas intelektual dan kualitas spiritual. Antara pengembangan fakultas pikir dan fakultas dzikir dapat berjalan secara serasi dan seimbang.
Jenjang Pendidikan
Kapan pendidikan harus dimulai dan di institusi pendidikan seperti apa yang harus dipilih? Islam memberikan konsep tentang jenjang-jenjang pendidikan tersebut sebagai berikut:
Pertama, pendidikan pre-natal (sebelum individu dilahirkan). Pendidikan ini bisa berwujud dalam dua bentuk: 1) Sewaktu seorang lelaki atau perempuan memilih calon pasangannya; agama, moral, kepribadian, keturunan, dan intelektualnya atau dalam istilah Jawa disebut bibit, bebet, dan bobot, akan mempengaruhi anak yang akan dilahirkannya; 2) Sewaktu anak masih dalam kandungan, apa yang diperbuat oleh orangtuanya akan berpengaruh secara psikologis pada anak tersebut.
Kedua, pendidikan post-natal (mulai anak dilahirkan), yang merupakan fase awal atau pendidikan primer. Pendidikan ini harus diperoleh anak dalam keluarga. Peranan orang tua sangat dominan dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Kepada anak harus diajarkan agama dan sekaligus pengalamannya di bawah kontrol langsung orang tua. Di samping itu, orang tua perlu memperkenalkan budaya dan adat-istiadat masyarakat sekelilingnya.
Ketiga, fase pendidikan dasar: Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SLTP). Pada fase-fase ini, anak harus dimasukkan ke sekolah-sekolah agama. Sekolah agama yang paling awal tidak saja memperkenalkan anak didik dengan dasar keagamaan bagi kehidupannya, masyarakat, dan peradaban, tetapi juga berfungsi sebagai pengantar ke arah penguasaan bahasa, sebagai persiapan untuk menerima pengetahuan yang lebih tinggi dan luas.
Keempat, fase sekolah menengah atas. Pada fase ini anak didik mulai dilatih penalaran dan diperkenalkan pada berbagai macam ilmu pengetahuan. Kelima, fase jamiah atau perguruan tinggi. Di tingkat ini, mahasiswa diajarkan berbagai macam sains dan filsafat dengan pendekatan dialogis, ilmiah, rasional, dan filosofis.
Restrukturisasi Kurikulum
Kurikulum dipandang penting dalam proses pendidikan, karena ia akan memberikan arahan dan patokan keahlian apa yang harus dipunyai oleh anak didik. Dalam persoalan ini, para ilmuwan muslim mengklasifikasikan gradasi sains. Pertama, sains keagamaan (sains naqli), dan Ilahi (syariah), prinsip-prinsipnya (ushul), dan jurisprudensi (fiqh). Kedua, sains-sains intelektual (sains aqli) yang meliputi, misalnya matematika dan sains kealaman lainnya, filsafat, logika, dan semacamnya.
Pengajaran kedua jenis sains tersebut haru integral, tidak boleh persial. Pengajaran sains aqli tidak terlepas dari keterikatannya dengan agama. Bahkan di puncak sains-sains aqli berdiri filsafat atau kebijaksanaan Ilahi (al-hikmah al-ilahiyah).
Kurikulum pendidikan Islam, sampai pada saat ini, masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan dengan subyek-subyek sekuler, dan pada sisi yang lain, dengan subyek-subyek keagamaan. Subyek-subyek sekuler biasanya terdiri dari jenis keilmuan umum seperti matematika, fisika, biologi, kedokteran, sosiologi, ekonomi, politik, botani, zoology, dan sebagainya. Sementara, subyek-subyek keagamaan terdiri dari jenis sains wahyu seperti al-Qur'an, al-Hadits, fiqh, teologi, tasawuf, tauhid, dan semacamnya.
Dari dikotomi di atas, kurikulum pendidikan Islam masih banyak didominasi oleh sains jenis kedua, sementara pengkajian terhadap jenis sains-sains alam masih kurang. Padahal, menurut terminologi filsafat Islam, Tuhan menurunkan Qur'an-Nya dalam dua bentuk: al-Qur'an yang tertulis (recorded Quran), yaitu wahyu yang terulis dalam lembaran buku yang dibaca oleh umat Islam setiap hari; dan Al-Qur'an yang terhampar (created Qur'an), yaitu alam semesta, jagat raya atau kosmologi ini.
Mengkaji dan meneliti kedua jenis sains tersebut sama pentingnya. Memang harus ada prioritas mana yang harus didahulukan, karena mempelajari keduanya secara bersamaan akan dirasakan berat. Menurut para ahli pendidikan Islam, sebelum mendalami sains-sains sekuler, anak didik harus dibekali sikap religiusitas yang kuat sejak mulai pendidikan dasar seperti shalat, membaca al-Qur'an, tafsir, Hadits, bahasa Arab, puasa, dan ilmu ketauhidan. Dengan demikian, ketiga mereka mengambil spesialisasi sains-sains sekuler sudah memiliki landasan agama yang kokoh, sehingga diharapkan mampu menahan godaan subyek-subyek sekuler pada tingkat tinggi. Dengan dasar agama yang kokoh dan penguasaan sains-sains alam yang mendalam, maka anak didik akan dapat menjelaskan term-term ajaran Islam dalam bahasa dan logika sains modern.
Kategori sains-sains di atas, apabila dibuat skema kira-kira sebagai berikut:
Skema 1: Segitiga Sai
Ketiga kutub tersebut merupakan satu kesatuan, dan dari padanya diharapkan dapat diperoleh pengertian, penghayatan, dan pengamalan ke arah terbentuknya intektualisme muslim. Yakni, pribadi yang utuh, yang pemikirannya bisa menyatukan ketiga kutub ilmu tersebut.
Lembaga pendidikan Islam baik yang masih tradisional maupun yang sudah modern perlu mengintegrasikan antara subyek-subyek keagamaan dengan subyek-subyek sekuler dalam satu paket pembelajaran. Dengan terintegrasinya ketiga paradigma ilmu tersebut, maka untuk terciptanya kualitas anak didik yang mempunyai kemampuan 3H, yaitu head (aspek kognitif dan kecerdasan otak), heart (aspek afektif dan kecerdasan emosi dan spiritual), dan hand (aspek psikomotorik dan kecakapan teknis), dapat diwujudkan.
Berangkat dari pola pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akhirat, maka pendidikan umum pada hakekatnya adalah pendidikan agama juga; begitu sebaliknya, pendidikan agama adalah juga pendidikan umum. Idealnya, tidak perlu terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. A.M. Saefuddin (1991) mengajukan formula pemikiran kreatif untuk dapat mengintegrasikan secara padu. Perpaduan itu harus terjadi sebagai proses pelarutan, dan bukan sekedar proses percampuran biasa. Perbedaan antara proses pelarutan dan proses pencampuran secara sederhana dapat dilihat sebagai berikut:
Skema 2: Integrasi Kurikulum
A = materi pendidikan agama
U = materi pendidikan umum
X = hasil perpaduan A dan U, berbeda secara substantif maupun formatif dengan A maupun U.
Y = hasil percampuran antara A dan U, secara substantif maupun formatif tidak ada perbedaan antara A & U semula dengan A & U dalam Y.
Skema 3: Integralisasi Ilmu dalam Islam
Pemikiran ini mengandaikan penemuan suatu bentuk perpaduan materi-materi pendidikan agama dengan umum yang barangkali akan merupakan konsep ilmu Islami. Disebut ilmu Islami, karena nilai-nilai al-Qur'an dapat diaktualisasikan tidak dalam perwujudan rancangan sistem pendidikan saja, tetapi dalam langkah-langkah operasionalisasinya mesti pula berpedoman pada kaidah-kaidah Qurani, sesuai dengan kesatuan tiga serangkai perangkat tindak, yakni motivasi — cara — tujuan.
Dengan adanya penyatuan ilmu/sains dengan nilai-nilai ajaran Islam, persoalan dikotomi akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tetapi akan dibedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah (ayat-ayat yang tersurat dalam al-Qur'an/Hadits dan ilmu tentang ayat-ayat kauniyah (ilmu/pengetahuan tentang kealaman).
Kurikulum pendidikan Islam selanjutnya dapat disusun berdasarkan wawasan ilmu pengetahuan yang telah terintegrasi tersebut. Hal ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap struktur, tujuan, pendekatan, materi, dan institusi pendidikan yang dipersiapkan.
Teori dan Metode Pembelajaran
Teori pendidikan akan memberi arahan, antara lain dalam hal: Macam-macam kewajiban manusia kepada Tuhan-nya dan bagaimana tata cara beribadah manusia untuk bisa dekat kepada-Nya (aspek transcendental), tugas dan tujuan hidup manusia di dunia, menentukan macam-macam tujuan pendidikan, konsep-konsep tentang pembawaan dan pengaruh lingkungan dalam pendidikan, kurikulum yang dijadikan standar, cara mengembangkan kurikulum sesuai dengan konsep yang diputuskan, metodologi mendidik dan mengajar untuk merealisasikan konsep itu, berbagai penunjang proses belajar-mengajar, lingkungan dan iklim pendidikan yang cocok, model-model evaluasi, perbedaan konsep antara jalur sekolah dengan jalur sekolah.
Berpijak dari filsafat dan teori pendidikan yang telah dirumuskan itu, target pendidikan yang diidealkan akan mudah tercapai. Dengan demikian, tanpa mengesampingkan sasaran-sasaran yang bersifat teknis dan jangka pendek, filsafat dan teori pendidikan akan mengantarkan pada cakupan yang lebih komplet yang menyeluruh.
Dalam rangka transformasi ilmu kepada anak didik, selain memakai metode-metode yang telah berjalan dengan baik, seperti Sorogan, Wekson, Cerita, dan lain-lain para pendidik perlu mencoba mengadopsi metode pembelajaran yang baru negtren, di antaranya:
Quantum Learning dan Quantum Teaching
Quantum learning berakar dari sebuah kondisi sugesti (suggestology/ suggestopedia) yang berprinsip bahwa, setiap sugesti dapat mempengaruhi situasi belajar, baik secara linear maupun siklikal. Ini artinya sekecil dan sedetail apapun dapat menjadi sebuah sugesti, baik positif ataupun negatif. Hampir sama dengan suggestology adalah apa yang disebut dengan accelerated learning, yaitu suatu proses percepatan belajar yang memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang impresif, dalma situasi dan kondisi serta usaha yang normal yang dibarengi dengan perasaan gembira dan senang. Cara ini dimaksudkan untuk menyatukan unsur-unsur yang secara sekilas tampak tidak mempunyai persamaan; seperti, hiburan, warna, berpikir positif, fasilitas fisik, dan kesehatan emosional. Unsur-unsur tersebut dimodifikasi dan dibentuk menjadi sebuah lingkungan yang asri dan menyenangkan, sehingga dapat memicu sugesti subyek yang negatif menjadi suasana yang tenang, nyaman dan comfortable.
Quantum learning didefinisikan sebagai interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Ini berangkat dari teori Einstein yang mengatakan semua kehidupan adalah energi. Tubuh kita secara fisik dalam materi. Sebagai pelajar tujuan utamanya adalah meraih dan mendapatkan sebanyak mungkin cahaya, dengan cara berinteraksi, hubungan inspirasi agar menghasilkan energi cahaya. Di dunia pendidikan apapun yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan merupakan sebuah energi pembelajaran. Kehidupan individu subyek, kemampuan subyek, kecerdasan subyek merupakan entitas yang berbeda-beda. Justru dari perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi sebuah ruang inkubasi pendidikan yang pada waktu tertentu akan berubah menjadi illuminasi penyadaran anak didik. Formulasi dari fisika quantum adalah massa x kecepatan cahaya kuadrat atau E = Mc2.
Gambaran quantum learning, dapat kita analogikan dengan sebuah orkestra yang terdiri dari berbagai ragam alat musik. Setiap spesifikasi alat musk tersebut merupakan satuan energi yang berbeda, baik dari sisi bentuk, fungsi dan alunan suaranya. Satuan energi yang berbeda tersebut kemudian digabungkan oleh seorang composer dengan nada yang telah didesain sehingga menghasilkan kelompok energi yang indah, bagus dan menyenangkan. Begitu juga dengan pebelajar, mereka terdiri dari individu, latar belakang, kemampuan, kecenderungan dan kesukaan yang berbeda. Tugas pendidikan adalah bagaimana memaksimalkan potensi energi yang berbeda tersebut menjadi sebuah energi besar yang dapat menjadi cahaya bagi setiap peserta didik.
Skema 4: Quantum
Open Learning
Dalam pengajaran dan pembelajaran, prinsip-prinsip performativitas tampaknya tidak dapat ditawar-tawar lagi dalam melaksanakan program pendidikan tinggi, baik hal itu menyangkut tentang tapa yang dipelajari dan bagaimana pelajaran tersebut didapatkan. Dalam situasi seperti itu, pendidik secara perlahan diganti oleh mesin dan komputer, dari pada sebuah proses transmisi pengetahuan dari guru kepada murid-muridnya. Oleh sebab itu sudah saatnya kita menerapkan pembelajaran terbuka (open learning), di mana tugas dan fungsi guru tidak lagi sebagai transmitor ilmu pengetahuan yang hanya dapat menyampaikan isi dan esensi dari suatu materi, namun pendidik mempunyai fungsi sebagai penasehat, pembimbing atau pelindung peserta didik, untuk mengarahkan pada proses pembelajaran yang relevan; dan memberikan mereka keahlian tertentu guna mencapai proses pembelajaran yang lebih sukses. Dengan kata lain, belajar bagaimana untuk belajar adalah tujuan dari pendidikan tinggi.
Model pembelajaran terbuka memungkinkan siswa untuk mengekspresikan kebebasannya dalam belajar serta dapat mengakses materi-materi yang dia sukai. Hal ini membawa penilaian bahwa pembelajaran terbuka sangat berpengaruh bagi efisiensi mekanisme sosial yang telah diatur oleh pembuat kebijakan. Oleh sebab itu pendidik yang terlibat dalam open learning harusnya lebih mempunyai kesadaran bahwa mereka tidak boleh secara ambigu melegistimasi retorika-retorika pembelajaran tertentu. Meskipun terdapat fragmentasi ilmu pengetahuan, tetapi pada akhirnya nanti harus ada integrasi bagian-bagian materi tersebut dengan para peserta didik.
Pembelajaran Eksperiensial Post Modernisme
Pendidikan post-modernisme mempunyai keinginan untuk mengembangkan hasrat peserta didik melalui pengalaman, sebagai respon atas kondisi ekonomi dan fragmentasi sosial yang diinspirasikan oleh dasar ilmu pengetahuan yang tidak menentu, serta membatasi teknik rasional dan sebagai media antisipatif dari konsekuensi kegagalan proyek modernisme pendidikan. Dalam konteks ini, pembelajaran eksperimen — baik secara teori maupun praktis — adalah untuk mengubah situasi dari pengembangan teologis dan nalar kepada pengembangan yang lebih terbuka; dengan kata lain dari modern ke postmodern. Pengembangan ini lebih diarahkan untuk menciptakan kelompok kapitalis baru, menumbuhkan kebenaran baru, membentuk kelas menengah baru serta mewujudkan perubahan-perubahan sosial, seperti feminisme dan anti-rasisme. Ada tiga alasan mengapa pembelajaran eksperimensial sangat penting dalam konteks post-modernisme. Pertama, bahwa model pembelajaran ini ternyata mempunyai bentuk yang paling valid dibanding dengan model pembelajaran yang lainnya. Kedua, adanya eksplorasi bagaimana seseorang belajar dari pengalaman-pengalamannya. Ketiga, dalam proses persiapan model pembelajaran ini lebih dapat mewujudkan transformasi gerakan sosial baru, memberikan keleluasaan kepada setiap person untuk membentuk kelas menengah baru dan secara praktis dapat menemukan kebenaran baru yang didukung dengan langkah-langkah eksplorasi.
Skema 5: Pembelajaran Eksperiensial Post-Modernisme
Tujuan dan Tugas Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah menyempurnakan dan mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki anak didik untuk mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki anak didik untuk mencapai pengetahuan tertinggi tentang Tuhan yang merupakan tujuan hidup manusia. Tugas pendidikan adalah untuk mempersiapkan manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia, sedangkan tujuan ultimate-nya adalah tercapainya kebahagiaan hidup yang permanen di alam baka (al-akhirat).
Melihat komparasi dan pemikiran baru di atas, maka dapat diambil sebuah formulasi — sintesis, bahwa sistem pendidikan Islam klasik yang selama berabad-abad menghasilkan banyak filosof, ilmuwan, yuris-yuris, teolog, sastrawan, dan para pakar di berbagai bidang ilmuwan, harus dijadikan contoh model bagi pengembangan pemikiran pendidikan sekarang, agar pendidikan tidak kehilangan daya mobilitasnya, baik mobilitas vertikal maupun horisontal dalam menghadapi perkembangan zaman. Institusi-institusi pendidikan Islam, selain menjadi khazanah budaya, adalah juga paling signifikan untuk tercapainya perjumpaan kemegahan Islam klasik dan modernisme.
Dari kajian dan pemaparan di atas, bagaimana pendidikan Islam dapat berperan dalam kancah kompetisi global tersebut? Agar umat Islam dapat berkiprah dalam masyarakat global, maka pendidikan Islam diharapkan tampil dengan nuasanya sebagai berikut:
Pertama, menampilkan Islam yang lebih ramah dan sejuk, sekaligus menjadi pelipur lara bagi kegerahan hidup manusia modern. Tawaran ini mengharuskan umat Islam menghayati nilai-nilai universal yang diajarkan Islam dan teologi inklusif yang diperankan oleh Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, tawaran ini akan menghapus kehampaan spiritual dan kekosongan batin manusia modern sebagai gaya hidup Firaunis akibat hiruk pikuk kehidupan global yang hedonistic dan materialistic.
Kedua, Islam yang toleran terhadap manusia secara keseluruhan agama apapun dianutnya, sebab Islam adalah agama rahmatan lil-alamin, mendatangkan kebaikan dan kedamaian untuk semua. Dengan sikap ini, Islam mengakui tentang pluralisme, baik dalam keragaman pendapat, pemahaman, ideologi, etnis maupun agama.
Ketiga, menampilkan visi Islam yang dinamis, kreatif, dan inovatif, sehingga bisa membebaskan umat Islam dari belenggu-belenggu dan penjara taqlid, status quo, menyukai kemapanan, dan alergi terhadap pembaruan, harus ditinggalkan. Karena sikap-sikap tersebut menyebabkan kreatifitas dan dinamisnya sebagai manusia menjadi hilang.
Keempat, menampilkan Islam yang mampu mengembangkan etos kerja, etos politik, etos ekonomi, etos ilmu pengetahuan, dan etos pembangunan. Karena sepanjang sejarah, kelima etos itulah yang dapat mendatangkan kejayaan umat Islam.
Kelima, menampilkan revivalitas Islam, dalam bentuk intensifikasi keislaman lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), yakni membangun kesalahan intrinsik dan esoteris, dari pada intensifikasi ke luar (outward oriented) yang bersifat ekstrinsik dan eksoteris, yakni kesalehan formalitas. Orientasi pemahaman intrinsik dan esoteris ini menjadi penting, karena akhir-akhir ini banyak bermunculan pemahaman yang lebih mementingkan simbol dan bentuk luar, dari pada susbtansi ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman seperti ini akan mencegah lahirnya bentuk-bentuk fundamentalisme dan radikalisme agama yang justru menimbulkan citra negatif bagi Islam dan umat Islam.
KESIMPULAN
Dari serangkaian analisis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa konstruksi pemikiran pendidikan Islam berwawasan masa depan perlu diarahkan pada:
Peningkatan daya jawabnya terhadap problema kehidupan kontemporer, dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran al-Qur'an dan al-Sunnah.
Kepekaan menangkap perkembangan terkini menjadikan pendidikan Islam reposif terhadap kemajuan, sementara dengan tetap berpegang teguh pada kedua sumber otentik Islam tersebut, maka pendidikan Islam akan mempunyai ruh dan kekuatan moral menghadapi setiap perubahan yang ditimbulkan oleh arus globalisasi.
Nilai-nilai dan kandungan moral al-Qur'an dan al-Sunnah harus dapat ditransformasikan kepada anak didik dalam menghadapi kehidupan modern masyarakatnya.
Setiap persoalan kemodernan harus dipecahkan dengan bingkai dan spirit al-Qur'an dan al-Sunnah. Inilah peran strategis pendidikan Islam. Strategisnya tidak saja terletak pada kemampuannya dalam merespon perubahan global, tetapi yang lebih penting adalah kemampuannya membingkai setiap perubahan dalam sinaran moral al-Qur'an dan al-Sunnah dan sekaligus mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan anak didik. Dengan demikian, output pendidikan Islam nantinya akan peka terhadap perubahan (kalau bisa justru mempeloporinya) dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ajaran agamanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 1982. Educational Theory: Quranic Outlook. Mekkah: Ummu al-Qura Univerity.
Ahmed, Akbar S. 1994. Islam in the Age of Postmodernity, An Article in Islam, Globalization, and Postmodernity. London: Routledge.
Al-Attas, Syed Naquib. 1979. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdul Aziz University.
Al-Jamaly, M. Fahil. 1986. Filsafat Pendidikan dalam al-Qur'an. Surabaya: Bina Ilmu.
Al-Nahlawi. 1979. Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa Asalibuha. Beirut: Darul Fikr.
Al-Toumy, Oemar M,. 1979. Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Arifin. 1991. Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum. Jakarta: Bumi Aksara.
Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Firdaus.
Azra, Azyumardi. 1998. Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Baumer, Franklin F. 1977. Modern European Thought: Continuity and Chang in Ideas 1600-1950. New York: Macmillan Publishing Co.Inc.
Budaiman, Arief. 1994. Setelah Pasca Modernisme Apa? Dalam Ulumul Qur'an. No.1, Vol. V.
Carrel, Alexis. 1967. Man, The Unknown. New York: Harper and Row Publisher.
Cox, Harvey. 1984. Religion in the Secular City: Toward a Post Modern Theology. New York: Simon Schuster.
Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emosional, Mengapa EI lebih penting dari pada IQ. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Harahap, Syahrin. 1997. Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-Nilai Ajaran al-Qur'an dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Harjono, Anwar. 1996. Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Hoesen, Oemar Amin. 1961. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Maksum. 1997. Madrasah: Sejarah & Perkembangannya. Jakarta: Logos.
Maksun, Ali, Lulu Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: Ircisod.
Muhaimin, et.al. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta, PSAPM Surabaya & Pustaka Pelajar.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.
Naisbitt, John and Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000. London: Sidgwick.
Naisbitt, John and Patricia Aburdene. 1996. Megatrends Asia: Eight Megatrends That Are Reshaping Our World. New York: Simon & Schuster
Nasr, Seyyed Hossein. 1968. Science and Civilization in Islam. Cambridge — Massachusett: Harvard University Press.
Nasution, Harun. 1975. Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1983. Manusia Menurut Konsep Islam, dalam Islam dan Pendidikan Nasional. Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Jakarta.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam, Terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Saefuddin, AM.. 1991. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.
Sukidi. 2000. Spiritual Intelligence, Menggeser Intelligence Quotient dan Emotional Intelligence, KATALIS Indonesia, Vol. I, No.1.
Sumardi, Mulyanto. 1977. Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975. Jakarta: LPIAK Balitbang Depag.
Surakhmad, Winarno, et.al. 2003. Mengurai Benang Kusut Pendidikan: Gagasan Para Pakar Pendidikan. Yogyakarta: Transformasi UNJ dan Pustaka Pelajar.
Syahrin Harahap (Ed.). 1998. Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana & IAIN SU.
Tadjab. 1987. Posisi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional, thesis. Yogyakarta: Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Tampubolon, Daulat P. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Semarang: Aneka Ilmu, 1992.
Usher, Robin and Richard Edwards. 1994. Postmodernism and Education. London & New York: Routledge.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2001 SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Terj. oleh Rahmani Astuti, dkk. Bandung: Mizan.