Biografi Ulama Gresik (Kiai Muhammad Ma'shum Ali) Al maskumambani
Biografi Ulama Ulama Gresik yang Terkenal.
Kiai Muhammad Ma'shum Ali Al Maskumambani
Kitab Amtsilah At-Tashrifiyah sangatlah masyhur dikalangan para santri, dikalangan pondok pesantren dan madrasah diniyah para santri biasa menyebut kitab ini dengan nama “Tasripan”. Namun jarang diantara mereka yang mengetahui riwayat hidup penulisnya, yaitu KH. Ma’shum bin Ali. Kesederhanaan beliau membuat banyak orang tidak mengenal kiyai alim yang satu ini.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya disebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratus Syekh sendiri
Beliau Benar benar Ulama' yang Hebat...
Kiai Muhammad Ma'shum Ali Al Maskumambani
Kitab Amtsilah At-Tashrifiyah sangatlah masyhur dikalangan para santri, dikalangan pondok pesantren dan madrasah diniyah para santri biasa menyebut kitab ini dengan nama “Tasripan”. Namun jarang diantara mereka yang mengetahui riwayat hidup penulisnya, yaitu KH. Ma’shum bin Ali. Kesederhanaan beliau membuat banyak orang tidak mengenal kiyai alim yang satu ini.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Ma’shum bin Ali bin Abdul Muhyi Al-Maskumambani. Lahir di Maskumambang Gersik, tepatnya disebuah pondok yang didirikan sang kakek.
Setelah belajar pada ayahnya, Ma’shum muda pergi menuntut ilmu di Pesantren Tebuireng Jombang. Ia termasuk salah satu santri Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari generasi awal. Dimana–saat itu–selain dituntut untuk belajar, para santri juga harus ikut berjuang melawan penjajah yang selalu mengganggu aktifitas mereka. Kedatangannya ke Tebuireng disusul oleh adik kandungnya, Adlan Ali –kelak atas inisiatif Hadratus Syekh, Kiai Adlan mendirikan pondok putri Wali Songo di pusat desa Cukir.
Bertahun-tahun lamanya beliau khidmah/mengabdi di Tebuireng. Kepintarannya dalam segala ilmu, terutama bidang hisab, falak, sharaf dan gramatika arab, membuat Hadratus Syekh kagum. Sehingga Kiai Ma’shum dinikahkah oleh Nyai. Khairiyah yang tak lain adalah putri Hadratus Syekh sendiri
Beliau Benar benar Ulama' yang Hebat...
Setidaknya ada empat kitab monumental karya beliau;
Pertama adalah al-Amtsilah at-Tashrifiyyah. Kitab ini menerangkan ilmu sharaf. Susunannya sistematis, sehingga mudah difaham dan dihafal. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik di Indonesia atau di luar negeri, banyak yang menjadikan kitab ini sebagai rujukan. Kitab ini bahkan menjadi menjadi pegangan wajib di setiap pesantren salaf. Ada yang menjulukinya kitab ”Tasrifan Jombang”.
Kitab yang terdiri dari 60 halaman ini, telah diterbitkan oleh banyak penerbit, diantaranya Penerbit Salim Nabhan Surabaya. Pada halaman pertamanya tertera sambutan berbahasa Arab dari (mantan) menteri Agama RI, KH Saifuddin Zuhri.
Kedua yakni Fathul Qadir. Konon, ini adalah kitab pertama di Nusantara yang menerangkan ukuran dan takaran Arab dalam bahasa Indonesia. Kitab ini diterbitkan Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1920-an, ketika Kiai Ma’shum masih hidup. Jumlah halamannya lumayan tipis tapi lengkap. Kitab ini juga tidak sulit ditemukan di pasaran.
Ad-Durus al-Falakiyah adalah karya beliau yang lain. Meskipun banyak orang yang beranggapan bahwa ilmu falak rumit, tetapi bagi yang mempelajari kitab ini akan berkesan ”mudah”, karena disusun secara sistematis dan konseptual. Di dalamnya termuat ilmu hitung, logaritma, almanak Masehi dan Hijriyah, posisi matahari, dan sebagainya. Kitab yang diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya tahun 1375 H ini, terdiri dari tiga juz. Setiap juz terdiri satu jilid dengan jumlah 109 halaman.
Kitab keempat adalah Badi’atul Mitsal. Kitab ini juga menerangkan perihal ilmu falak. Beliau berpatokan bahwa yang menjadi pusat peredaran alam semesta bukanlah matahari sebagaimana teori yang datang kemudian, melainkan bumi. Sedangkan matahari, planet dan bintang yang jumlahnya demikian banyak, berjalan mengelilingi bumi.
Sebagai kiai yang berilmu tinggi, Kiai Ma’shum dikenal sebagi sosok yang akrab dengan kalangan bawah. Saking akrabnya, banyak diantara masyarakat yang tidak mengetahui kalau sebetulnya beliau ulama besar. Dalam pandangannya, semua orang lebih pintar bila dibandingkan dengannya. Kiai Ma’shum pernah berguru kepada seorang nelayan di atas perahu, yakni selama dalam perjalanan haji. Beliau tidak merasa malu, meski orang lain menilainya aneh. Hasil dari perjalannya itu sehingga mampu merampungkan kitab kitab Badi’ah al-Mitsal.
Beliau juga dikenal sufi. Untuk menghindari sikap sombong, sesaat menjelang wafat fotonya dibakar. Padahal koleksi itu adalah satu-satunya foto yang dimiliki. Hal ini tidak lain karena beliau takut identitasnya diketahui banyak orang, yang nantinya akan menimbulkan penyakit hati seperti riya’, ujub, dan sombong.