Advertisement

SPI Peradaban Islam Pra Kemerdekaan

PERADABAN ISLAM INDONESIA PRA KEMERDEKAAN dan PASCA KEMERDEKAAN


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peradaban Islam di Indonesia memiliki peran fundamental dalam pembentukan identitas, budaya, dan politik bangsa. Islam masuk ke Nusantara secara damai, berakulturasi dengan budaya lokal, dan kemudian melahirkan kerajaan-kerajaan besar yang mendominasi geopolitik regional. Periode pra-kemerdekaan mencakup masa awal kedatangan hingga masa perlawanan terhadap kolonialisme Barat.

Pada masa kolonial, agama Islam bertransformasi menjadi ideologi perlawanan dan pemersatu bangsa, menjadikannya kekuatan yang paling ditakuti dan diawasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Memahami dinamika peradaban Islam pada masa ini sangat penting untuk menelusuri akar nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

Apa saja teori-teori utama mengenai kedatangan Islam di Indonesia?

Bagaimana proses dan sejarah awal masuknya Islam di Indonesia hingga menjadi agama dominan?

Bagaimana peran agama Islam bertindak sebagai kekuatan politik dan perlawanan pada masa kolonialisme?

Bagaimana peran dan posisi Islam di Indonesia selama masa revolusi fisik (1945–1949)?

Apa kontribusi dan peran signifikan umat Islam dalam mencapai dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia?

Bagaimana dinamika hubungan peradaban Islam dengan ideologi Negara Pancasila dalam sejarah politik Indonesia?

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

Menganalisis dan membandingkan teori-teori kedatangan Islam ke Nusantara (Teori Gujarat, Mekah, Persia, dan China).

Mendeskripsikan tahapan sejarah awal masuknya Islam dan jalur-jalur penyebarannya.

Menganalisis kebijakan politik kolonial Belanda terhadap Islam dan peran Islam sebagai motor perlawanan politik.

Mendeskripsikan aktivitas dan gerakan umat Islam Indonesia selama masa revolusi.

Menganalisis dan mengidentifikasi kontribusi strategis umat Islam terhadap kemerdekaan.

Mengkaji pergulatan dan penerimaan Islam terhadap konsep Negara Pancasila sebagai ideologi bangsa.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Teori Kedatangan Islam di Indonesia

Ada empat teori utama yang mendominasi kajian tentang asal-usul, pembawa, dan waktu kedatangan Islam ke Nusantara:

1. Teori Gujarat (India)

Inti: Islam dibawa oleh pedagang Muslim dari Gujarat, India, sekitar abad ke-13 M.

Pendukung: Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel.

Bukti: Kemiripan corak nisan makam Sultan Malik As-Saleh (Raja Samudera Pasai) dengan nisan di Gujarat.

2. Teori Mekah (Arab)

Inti: Islam langsung datang dari Jazirah Arab (Timur Tengah) sejak abad ke-7 M oleh para pedagang Arab.

Pendukung: Buya Hamka dan T.W. Arnold.

Bukti: Sudah ada perkampungan Muslim Arab di Pantai Barat Sumatera (Barus) pada abad ke-7. Mayoritas Muslim Nusantara menganut Mazhab Syafi'i, yang merupakan mazhab dominan di Mekah dan Mesir.

3. Teori Persia (Iran)

Inti: Islam masuk melalui pedagang dan ulama dari Persia sekitar abad ke-13 M.

Pendukung: Hoesein Djajadiningrat.

Bukti: Kesamaan tradisi Tabot/Tabuik di Sumatera (mengenai perayaan 10 Muharram) yang identik dengan tradisi Syiah di Persia.

4. Teori China

Inti: Islam disebarkan melalui migrasi komunitas Muslim Tionghoa ke wilayah pesisir Nusantara, terutama sejak abad ke-15 M.

Bukti: Jejak arsitektur Tiongkok pada beberapa masjid kuno di Jawa dan peran tokoh Muslim Tionghoa seperti Laksamana Cheng Ho dalam diplomasi dan penyebaran Islam.

Kesimpulan Teori: Islamisasi Nusantara adalah proses multijalur, di mana Arab (abad ke-7) kemungkinan menjadi pembawa awal, dan Gujarat/Persia/China (abad ke-13 ke atas) berperan signifikan dalam perkembangannya menjadi kekuatan politik dan budaya.

2.2 Sejarah Awal Masuknya Islam di Indonesia

Proses Islamisasi di Indonesia bersifat inkulturatif (akulturasi damai) dan berlangsung melalui beberapa jalur utama:

1. Jalur Perdagangan

Sejak abad ke-7 M, pedagang Muslim Arab, Persia, dan India berinteraksi dengan penduduk lokal di pelabuhan-pelabuhan seperti Samudera Pasai, Malaka, dan Gresik. Mereka membentuk komunitas Muslim yang menjadi cikal bakal penyebaran Islam.

2. Jalur Pernikahan

Para saudagar Muslim yang kaya dan terpandang menikahi wanita pribumi, seringkali dari kalangan bangsawan atau keluarga raja. Syarat bagi wanita tersebut adalah memeluk Islam, yang kemudian diikuti oleh anggota keluarga dan kerabatnya, mempercepat penyebaran di kalangan elit.

3. Jalur Pendidikan

Para ulama dan dai mendirikan lembaga pendidikan seperti Pondok Pesantren. Tempat ini tidak hanya menjadi pusat pembelajaran agama tetapi juga pusat kegiatan sosial dan politik. Lulusan pesantren kemudian menyebarkan ajaran Islam ke daerah asal mereka.

4. Jalur Tasawuf dan Kesenian

Ajaran Tasawuf (mistisisme Islam) yang akomodatif terhadap tradisi lokal menjadi cara efektif untuk menarik masyarakat yang sebelumnya memeluk Hindu-Buddha. Di Jawa, Wali Songo menggunakan media kesenian (wayang, gamelan, dan sastra) untuk menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang mudah diterima dan diserap oleh budaya setempat.

5. Lahirnya Kekuatan Politik Islam

Puncak dari proses Islamisasi ditandai dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Islam:

Kerajaan Samudera Pasai (Aceh, akhir abad ke-13): Pusat studi dan perdagangan Islam pertama.

Kesultanan Malaka (abad ke-15): Pusat perdagangan internasional dan penyebaran Islam ke wilayah Timur.

Kesultanan Demak (Jawa, abad ke-15): Kerajaan Islam pertama di Jawa yang menjadi basis penyebaran Islam oleh Wali Songo.

2.3 Agama dan Kekuatan Politik Masa Kolonialisme

Ketika kekuatan Barat (Portugis dan kemudian Belanda) datang, Islam yang telah mengakar kuat menjadi musuh utama dan kekuatan perlawanan yang berkelanjutan.

1. Islam sebagai Ideologi Perlawanan

Konsep Jihad: Para ulama dan pemimpin lokal menggunakan konsep Jihad (perang suci) untuk menyatukan rakyat melawan penjajah yang dianggap kafir (non-Muslim). Hal ini memberikan legitimasi moral dan spiritual pada setiap perlawanan.

Peran Ulama: Para ulama seperti Tuanku Imam Bonjol (Perang Padri) dan Pangeran Diponegoro (Perang Jawa) menjadi sentral dalam memimpin gerakan perlawanan bersenjata, menunjukkan bahwa kepemimpinan agama dan politik menyatu dalam perjuangan.

2. Politik Islam Kolonial (Snouck Hurgronje)

Pemerintah kolonial Belanda merumuskan strategi untuk melumpuhkan potensi politik Islam melalui kebijakan yang dirancang oleh Christiaan Snouck Hurgronje, dikenal sebagai Politik Islam. Strategi ini membagi Islam menjadi tiga bidang:

Murni Agama (Ibadah/Ritual): Dibiarkan bebas.

Sosial-Budaya: Diawasi ketat.

Politik: Ditekan keras dan dilarang. Pemerintah kolonial menindak tegas setiap organisasi atau kegiatan yang dianggap menggunakan Islam sebagai alat politik untuk melawan kekuasaan mereka.

3. Politik Hukum dan Pendidikan

Teori Receptie: Pemerintah Kolonial menetapkan bahwa hukum adat lebih diutamakan daripada hukum Islam (kecuali yang direceptie atau diterima oleh adat), bertujuan untuk membatasi penerapan dan pengaruh syariat Islam dalam sistem hukum lokal.

Diskriminasi Pendidikan: Pemerintah Kolonial lebih mendukung pendidikan Barat dan menaruh curiga pada lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren), yang dianggap sebagai sarang fanatisme dan perlawanan.

4. Transformasi ke Gerakan Modern

Menghadapi tekanan kolonial, umat Islam bertransisi dari perlawanan fisik ke pergerakan modern pada awal abad ke-20:

Syarekat Islam (SI, 1912): Menjadi organisasi politik massa pertama yang besar, mengusung kepentingan ekonomi rakyat Muslim dan menentang kolonialisme.

Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (NU, 1926): Berfokus pada pembaruan pendidikan dan sosial-keagamaan, namun secara tidak langsung membangun kesadaran politik dan kemandirian umat sebagai modal penting bagi perjuangan nasional.

2.4 Islam Indonesia dalam Masa Revolusi

Masa revolusi fisik (1945–1949) merupakan periode perjuangan bersenjata dan diplomasi untuk mempertahankan proklamasi. Umat Islam terlibat secara total dalam periode ini, tidak hanya sebagai individu, tetapi juga melalui organisasi militan dan keagamaan.

1. Mobilisasi Massa Berbasis Agama

Kekuatan massa Islam menjadi tulang punggung pertahanan. Organisasi seperti Hizbullah (pasukan pemuda Muslim) dan Sabilillah (barisan ulama) dibentuk untuk menjadi sayap militer bagi perjuangan kemerdekaan. Kedua laskar ini beroperasi secara mandiri namun terkoordinasi dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR/TNI).

2. Resolusi Jihad

Peran paling menentukan adalah dikeluarkan nya Resolusi Jihad oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini mewajibkan setiap Muslim untuk berperang melawan Belanda dan sekutunya yang kembali datang menjajah.

Resolusi ini memberikan legitimasi agama pada perjuangan fisik, menjadikan perlawanan sebagai fardhu 'ain (kewajiban individual) bagi Muslim yang berada dalam jarak 90 km dari pertempuran.

Dampak langsung Resolusi Jihad adalah pecahnya Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, di mana semangat jihad membangkitkan perlawanan rakyat yang luar biasa dan menjadi simbol nasionalisme Indonesia.

3. Peran Politik dan Diplomasi

Di tengah revolusi, partai politik Islam seperti Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) menjadi kekuatan politik terbesar pasca-kemerdekaan. Masyumi aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dan parlemen, memastikan bahwa aspirasi umat Islam terwakili dalam setiap perundingan dan kebijakan negara.

2.5 Peran Islam dalam Kemerdekaan

Kontribusi Islam terhadap kemerdekaan Indonesia tidak terbatas pada aspek militer, tetapi juga mencakup aspek ideologis dan konsolidasi.

1. Kontribusi Ideologis dan Konstitusional

Peran tokoh-tokoh Islam sangat menonjol dalam proses perumusan dasar negara di Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Piagam Jakarta: Umat Islam memperjuangkan dimasukkannya Tujuh Kata di Piagam Jakarta ("...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya...") yang mencerminkan aspirasi untuk menjadikan Islam sebagai landasan hukum.

Meskipun Tujuh Kata dihapus demi menjaga persatuan bangsa menjelang Proklamasi, kontribusi mereka menunjukkan komitmen terhadap etika dan moral Islam dalam bingkai negara baru.

2. Pembentukan Jati Diri Kebangsaan

Islam berfungsi sebagai perekat identitas nasional yang melintasi batas-batas kesukuan. Konsep ummat memberikan rasa persatuan yang kuat terhadap entitas "Indonesia" yang baru merdeka, menentang federalisme atau separatisme yang didorong oleh Belanda. Melalui jaringan ulama dan organisasi, semangat nasionalisme religius ini disebarkan hingga ke pelosok daerah.

3. Konsolidasi Sosial

Organisasi sosial keagamaan (seperti NU dan Muhammadiyah) berperan vital dalam mengisi kekosongan pasca-kolonial di sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, membantu konsolidasi sosial masyarakat yang baru merdeka dan menghadapi kesulitan ekonomi akibat perang.

2.6 Peradaban Islam dan Negara Pancasila

Pasca pengakuan kedaulatan (1949), peradaban Islam dihadapkan pada tantangan terbesar: merumuskan hubungan ideal antara Islam sebagai way of life dengan Negara Pancasila sebagai ideologi resmi.

1. Pergulatan Ideologi: Islam vs. Pancasila

Pada tahun 1950-an, khususnya dalam Dewan Konstituante (1956–1959), terjadi perdebatan sengit antara Kelompok Nasionalis-Sekuler dan Kelompok Islam mengenai dasar negara.

Kelompok Islam (diwakili Masyumi, NU, PSII) memperjuangkan Negara Islam atau setidaknya negara dengan landasan Islam yang kuat (kembalinya Piagam Jakarta).

Kelompok Nasionalis (diwakili PNI dan PKI) memperjuangkan Negara Pancasila murni.

Kegagalan Konstituante dalam mencapai mufakat berujung pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang secara definitif menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi.

2. Kompromi dan Penerimaan

Meskipun ide Negara Islam tidak terwujud, para pemimpin Muslim kemudian menerima Pancasila sebagai kompromi final dan titik temu (kalimatun sawa) antara Islam dan kebangsaan.

Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, dianggap tidak bertentangan dengan tauhid Islam, bahkan memberikan ruang bagi umat Muslim untuk menjalankan ajaran agamanya.

Tokoh dan ormas Islam arus utama (NU dan Muhammadiyah) kemudian menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa, sembari tetap menjaga nilai-nilai peradaban Islam melalui jalur kultural dan pendidikan.

3. Peran Kontemporer

Di era kontemporer, peradaban Islam di Indonesia diwujudkan melalui Demokrasi Islam (partai politik) dan Islam Nusantara (konsep kultural yang damai dan akomodatif). Islam menjadi pilar moral dan etika dalam pembangunan negara, menegaskan bahwa peradaban Islam adalah bagian integral yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peradaban Islam Indonesia Pra Kemerdekaan adalah sejarah kompleks tentang masuknya agama secara damai dan perkembangannya menjadi kekuatan sentral. Proses ini melibatkan multijalur (perdagangan, pernikahan, pendidikan, kesenian) yang didukung oleh berbagai pihak (Arab, Gujarat, Persia, China). Puncaknya, Islam berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan yang mengakhiri dominasi Hindu-Buddha.

Pada masa kolonialisme, Islam bertransformasi menjadi ideologi perlawanan yang paling ditakuti penjajah. Politik kolonial berusaha memisahkan Islam dari politik (Politik Islam Hurgronje), namun upaya ini justru mendorong lahirnya organisasi-organisasi pergerakan Islam modern yang menjadi tulang punggung perjuangan kemerdekaan. Dengan demikian, peradaban Islam meletakkan fondasi bagi berdirinya negara Indonesia.

Peradaban Islam Indonesia pasca kemerdekaan memainkan tiga peran sentral:

Masa Revolusi: Islam adalah kekuatan militer dan spiritual utama melalui Resolusi Jihad, Laskar Hizbullah, dan Sabilillah, yang memberikan energi perlawanan rakyat (terutama pada Peristiwa 10 November 1945).

Peran Kemerdekaan: Islam memberikan kontribusi ideologis melalui BPUPKI dan Konstituante, serta bertindak sebagai perekat persatuan yang mengonsolidasi bangsa baru di tengah keragaman.

Negara Pancasila: Meskipun terjadi pergulatan ideologi, umat Islam arus utama menerima Pancasila sebagai dasar negara final. Hubungan Islam dan negara bersifat simbiotik, di mana nilai-nilai peradaban Islam menjadi sumber moralitas dan etika yang mengisi makna dari sila-sila Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. (1998). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana.

Hamka. (1965). Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional.

Hurgronje, Christiaan Snouck. (1994). Politik Belanda terhadap Islam di Jawa. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Feith, Herbert. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Noer, Deliar. (1987). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942. Jakarta: LP3ES.

Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200–2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Subhan, A. (2018). Resolusi Jihad: Perang Suci dan Pembentukan Negara Bangsa. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Wahid, Abdurrahman. (1984). Islam dan Negara: Memperbincangkan Kembali Hubungan Agama dan Ideologi Bangsa. Jakarta: Gramedia.

Suryanegara, Ahmad Mansur. (2009). Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.

Zahroh, A. (2004). Tradisi Intelektual Islam di Indonesia. Malang: UIN Maliki Press.


Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Advertisement

Advertisement