Kedudukan hadits dalam Hukum Islam
KEDUDUKAN HADITS DALAM HUKUM ISLAM
Kedudukan
Hadits
Hadits sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadits dalam revitalisasi
syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam
konteks ini perlu ditegaskan dua hal:
Pertama, kehujjahan hadits sebagai sumber hukum syariah. Yang dimaksud dengan
kehujjahan al-hadits (hujjiyah al-hadits), adalah keadaan hadits yang
wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama
dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.
Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul al-Fiqh al-Islami, orang
yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar ijma’. adalah Imam
Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm. Dalil-dalil tersebut
ada yang menunjukkan bahwa hadits adalah wahyu sebagaimana al-Qur’an, dan ada
yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadits atau As-Sunnah.
Kedua,
kedudukan (al-manzilah) dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Pada
prinsipnya, fungsi hadits adalah sebagai penjelasan (al-bayyan) dari
al-Qur’an. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan As-Sunnah qadhiyah ‘ala
Al-Kitab, yang terkenal di kalangan ulama seperti disebut Imam Asy-Syatibi
dalam kitabnya Al-Muwafaqat juz IV/4. ungkapan itu berarti
As-Sunnah/hadits itu menjadi pemutus atau penentu makna al-Qur’an. Sebab suatu
ayat al-Qur’an dapat mengandung dua kemungkinan makna atau lebih, maka
hadits-lah yang kemudian menentukan satu makna di antara sekian makna yang ada.
Fungsi hadits sebagai penjelasan al-Qur’an didasarkan pada firman Allah swt
(artinya):
‘Dan Kami
turunkan kepadamu [Muhammad] al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).
Tiada syari’ah tanpa hadits sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat strategis
bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-hukum syariah
bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits banyak menjadi dalil bagi berbagai
hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan
penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, struktur
pemerintahan, pengangkatan para gubernur (wali) dan hakim (qadhi),
dan sebagainya. Dan juga berpegang pada hadits atau sunnah rasul saw. terhadap
hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an sebagai landasan syari’ah.
Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci
al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadits Nabi mendapat perhatian yang
paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada larangan Nabi supaya
jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti akan kita terangkan,
untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan kitab suci al-Qur’an itu,
tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada beberapa sahabat yang cukup
berhati-hati untuk mencatatkan hadits-hadits itu.
Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya
wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an,
lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnya sejak turunnya wahyu pertama yang
ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti
dalam kasus hadits, yang mendapat perlakuan berbeda.
Pentingnya hadits dan perananya dalam berbagai masalah politik dan sosial telah
menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya.
Kepekaan ini mengakibatkan tertundanya usaha penulisan hadits, meskipun ada
perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan penyebarluasan hadits. Sayangnya,
penundaan ini menciptakan kerumitan bagi generasi berikutnya dalam melakukan
penilaian hadits.
Sudah banyak komentar mengenai Hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non
Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya.
Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang
hadits ini.
Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan dan
aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadits-hadits Nabi sebagai
dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadits sebagai pedoman dalam
melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang berkenaan dengan aspek
ibadah maupun mu’amalah dan akhlak. Karena Hadits yang berupa
perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw.itu secara rinci telah
menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara
individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah mengemukakan pendapatnya,
yang juga dinukil kembali oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-madkhal,
“Sesungguhnya Allah swt. telah menerapkan kedudukan Rasulullah saw.didalam
agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah swt.menjelaskan pula kedudukan
Rasulullah saw. itu terhadap agaman islam, sehingga diketahui kewajiban
menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya. Demikian juga allah swt. telah
menjelaskan dengan karunia-Nya, dengan mengiringi iman kepada Rasul-Nya dengan
iman kepada-Nya”. Firman Allah swt (Artinya),
“Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu
mengatakan, ‘Tuhan itu tiga’, berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik
bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai
anak”. (Q.S.
an-Nisa’: 171).
Hadits adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya.
Hadits itu merupakan salah satu sendi atau pokok dari Syari’at Islam. Banyak
ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits ini merupakan salah satu
pokok dari Syari’at Islam. Oleh karenanya hadits itu wajib diikuti sebagiamana
mengikuti al-Qur’an. Demikian pula Allah telah memerintahkan kita untuk
mentaati Rasul sebagaiman mentaati Allah sendiri, baik terhadap
perintah-perintahnya maupun larangannya (Artinya).
“Katakanlah
olehmu Muhammad: Kalau kamu sekalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku,
niscaya Allah akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”.
Dari ayat-ayat tersebut diatas, jelas bahwa Hadits-hadits Nabi itu kedudukannya
dalam Syariat Islam sama dengan al-Qur’an, artinya wajib diikuti dan diamalkan
sebagaimana al-Qur’an. Dan merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an,
sebagai penjelas al-Qur’an yang menjadi hukum utamanya.
Sebagai sumber hukum Islam, hadits memegang peranan penting sebagai penjelas
atas apa yang ada didalam al-Qur’an. Umat Islam tidak akan pernah dapat
menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan atau
praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits-nya. Hadits
sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan al-Qur’an, karena hukum dan
kewajiban yang terdapat dalam al-Qur’an hanya bersifat umum dan global, tidak
rinci.
Rasul dalam
menyampaikan risalah Allah kepada umatnya telah diberikan Allah sifat-sifat
yang luhur dan ilmu yang tinggi, sehingga seluruh tingkah laku dan ucapannya
sesuai dengan kehendak Allah, tidak dengan hawa nafsunya. Sebagaimana firman
Allah swt (Artinya).
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (an-Najm: 3-4)
Kehujjahannya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, didalam surat an-Nahl dijelaskan
bahwa Rasulullah saw. diberi otoritas oleh Allah subhanahuwata’ala sebagai
mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an (Artinya).
“Dan
kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa
yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”. (an-Nahl: 44)
Kehujjahan sunnah berdasarkan Hadits Nabi, orang-orang Islam yang kuat imannya
tidak akan meragukan terhadap kehujjahan sunnah, dan orang yang menerima
al-Qur’an sebagai hujjah, secara otomatis menerima sunnah sebagi hujjah dalam
hukum-hukum Islam. Karena al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisahkan. Barang
siapa yang memisahkan al-Qur’an dengan hadits berarti dia memisahkan Allah dan
Rasul-Nya. Karena Allah swt. dalam al-Qur’an telah mewajibkan semua orang untuk
beriman kepada Rasul-Nya, mengikuti perilakunya, menaati semua perintahnya dan
meniggalkan semua larangannya.
Hadits perintah Rasulullah untuk menyampaikan hadits-haditsnya kepada orang
lain.
“Ya
Allah saksikanlah, maka hendaknya orang yang hadir menyapaikan kepada orang
yang tidak hadir, karena banyak orang yang tidak mendengar langsung lebih pandai
dari orang yang mendengar langsung”. (H.R. Muslim)
Golongan
Yang Menolak Hadits Sebagai Sumber Hukum
Menurut Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya “Al-Hadits Wal Muhadditsun”,
halaman 21 s/d 37, golongan yang menolak Hadits sebagai dasar pokok agama,
terbagi menjadi dua golongan:
- Golongan yang menolak Hadits seluruhnya.
- Golongan yang menolak Hadits Ahad saja.
Imam Syafi’I
dalam kitabnya “Al-Um” juz VII halaman 250 s/d 367, menerangkan golongan
yang menolak Hadits dengan panjang lebar, disertai dengan alasan-alasan mereka
dan kemudian Imam Syafi’i membantah pendapat mereka dengan alasan-alasan yang
kuat, serta menempatkan persoalannya pada proporsi yang sebenarnya.
Beliau
membagi golongan yang menentang Hadits tersebut menjadi tiga golongan:
- Golongan yang menolak Hadits seluruhnya, baik yang Mutawatir maupun yang ahad.
- Golongan yang menolak Hadits, kecuali jika Hadits tersebut ada persamaanya dengan al-Qur’an.
- Golongan yang menolak Hadits Ahad.
Selain dalam
kitab Al-Um, Imam Syafi’i juga menyinggung persoalan hadits ini di dalam
kitabnya “Ar-Risalah” dengan panjang lebar. Hanya bedanya, jika di dalam
kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i, menerangkan dalil-dalil untuk membela Sunnah
terhadap ketiga golongan tersebut, maka di dalam kitabnya Al-Umm beliau
menerangkan masalah tersebut dengan metode tanya jawab/mujadalah/munadharah
(berdebat/berdiskusi) antara beliau dengan ketiga golongan yang menolak Sunnah
sebagai Hujjah.
Golongan
yang menolak Hadits secara keseluruhan, alasan yang mereka pergunakan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
- Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab, yang sudah tentu menggunakan oleh bangsa Arab. Sehingga kalau seseorang telah mengenal style, uslub bahasa Arab, ia akan mampu memahami al-Qur’an tanpa memerlukan penjelasan Sunnah dan penjelasan lainnya.
- Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa al-Qur’an itu telah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala aspek kehidupannya. Tidak ada sesuatu pun yang tidak dicakup oleh Al-Qur’an atau dilalaikan. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 89, yang artinya:
“Kami
turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk petunjuk
dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang Islam”.
c.
Berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari Nabi sendiri, yaitu:
“Apa-apa
yang sampai kepadamu dari saya, maka cocokkanlah dengan kitab Allah, yakni
al-Qur’an. Jika sesuai dengan al-Qur’an, maka akulah benar telah mengatakannya.
Dan jika ia berbeda dengan al-Qur’an, maka aku tidak mengatakannya.
Bagaimanakah aku dapat berbeda dengan al-Qur’an, sedangkan dengan al-Qur’an itu
aku mendapat hidayah dari Tuhan”.
Bantahan Imam Syafi’i terhadap pendapat golongan pertama ini, adalah
sebagai berikut:
- Menurut kenyataan bahwa umat Islam di dalam mengamalkan firman Tuhan dalam al-Qura’an tidak lepas dari keterangan atau penjelasan dari hadits. Sebab banyak firman Allah yang bersifat global atau mujmal saja, dan sudah barang tentu memerlukan penjelasan untuk itu, Nabilah yang diberi tugas serta wewenang untuk menjelaskannya. Cobalah perhatika Surat an-Nahl ayat 44, sebagai berikut:
“Kami
turunkan kepdamu peringatan (al-Qur’an) untuk kamu jelaskan kepada manusia
apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
- Yang dimaksud dengan ayat 89 dari surat an-Nahl tersebut diatas, ialah bahwa Tuhan telah menjelaskan segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia di dunia ini, di dalam al-Qur’an secara global tidak terperinci. Penjelasan lebih lanjut atau perinciannya diserahkan kepada Nabi. Sedangkan yang dimaksud dalam surat al-An’am ayat 38, ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, terutama mengenai umur seseorang dan rezekinya itu sudah termaktub dan sudah ditetukan di dalam: al-Lauh al-Mahfudh.
- Bahwa yang dianggap Hadits oleh mereka, menurut penelitian para ahli Hadits, ternyata bukan Hadits Nabi, melainkan hanya Hadits yang dibuat-buat oleh golongan Zindiq. Atau Hadits palsu belaka.
al-Qur’an
tidak akan berubah mengikuti perubahan waktu dan tidak akan mengalami evolusi
karena perbedaan lingkungan dan adat istiadat manusia. Semua ini memungkinkan
al-Qur’an mamapu beradaptasi dengan perkembangan waktu dan tetap sesuai untuk
semua umat manusia dan sepanjang zaman, bagaimanapun lingkungan dan adat
istiadat itu. Di dalam al-Qur’an akan diketemukan sesuatu yang menjamin
terpenuhinya kebutuhan pembentukan hukum syara’ dalam rangka kebangkitan dan
mencapai kemajuan.
Sebagai
hukum yang terdapat dalam hadits sama dengan hukum yang terdapat dalam
al-Qur’an. Hadits menafsirkan yang mubham, memerinci yang mujmal,
membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, serta menjelaskan
hukum-hukum (al-Qur’an) dan sasarannya. Hadits juga mengemukakan hukum-hukum
yang belum ditegaskan oleh al-Qur’an. Dalam kenyataannya, as-sunnah/hadits
merupakan praktik nyata dari apa yang terdapat di dalam al-Qur’an, suatu
praktik yang muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada kalanya ia merupakan
perbuatan Rasulullah saw, ada kalanya merupakan ucapan beliau pada suatu
kesempatan, dan ada kalanya merupakan perbuatan atau ucapan para sahabat
beliau. Beliau melihat perbuatan atau mendengar ucapan itu, kemudian beliau
mengakui kebenarannya, tidak menyalahkan dan mengingkarinya. Bahkan, beliau
berdiam diri atau menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Maka, ini merupakan taqrir
‘izin’ dari beliau.
Meragukan
Hadits, keragu-raguan yang menyertai suatu berita tidak hanya yang berkaitan
dengan hal-hal gaib, tetapi juga dalam hal-hal yang berkaitan dengan
tugas-tugas keagamaan yang harus dikerjakan. Adanya keraguan atau kebingunan
yang dialami oleh seorang perawi tidaklah terlalu merugikan Islam. Kitab Allah ma’shum
(terjaga dari kekeliruan, penambahan atau pengurangan). Demikian pula sunnah
Nabi saw, pada umumnya, tetap utuh dan sehat. Kekeliruan seorang perawi
sebenarnya adalah wajar dan tidak mengherankan. Tetapi, yang mengherankan
adalah adanya usaha pembenaran terhadap kekeliruan ini, yang kemudian ditambah
lagi dengan pembelaan secara fanatik terhadapnya. Sikap seperti itu tidak
pernah ada pada diri para imam dan tidak pula menjadi kebiasaan para tokoh salaf
maupun khalf.
Referensi:
-M. Shiddiq
Al-Jawi, 2005. Al-Insan (Jurnal Kajian Islam) Hadits Nabi Otentisitas dan
Upaya Destruksinya, Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
-Zainal
Abidin Ahmad, 1975. Imam Bukhari pemuncak ilmu hadits, Jakarta, Bulan
Bintang.
-Muhibbin,
1996. Hadis-hadis Politik, Yogyakrta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan
Lesiska’
-Jalaluddin
As-suyuthy, 1997. Argumentasi As-Sunnah kontra atas penyimpangan sumber
hukum orisinal; terj. Saifullah, Surabaya, risalah Gusti.
-Masjfuk
Zuhdi, 1993.Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya, PT Bina Ilmu.
-Muhammad
Ajaj al Khatib, 1999. Hadits Nabi Sebelum di Bukukan, Beirut, Darul
Fikr.