Mengenal lebih jauh imam Syafi'i
IJTIHAD IMAM SHĀFI’I
Dalam Persektif Sosio Kultural dan Politik
Pendahuluan
Imam Shafi’i hidup pada masa kekuasaan dinasti Abbasiyah. Ketika Shafi’i dilahirkan pemerintahan berada
ditangan al-Mansur (136-158 H), dan saat ia meninggal dunia, pemerintahan
berada di tangan al-Makmun (198-218). Sebagai seorang yang suka berpetualang
beliau telah mengelilingi beberapa negara untuk mencari ilmu, beliau pernah
tinggal dibeberapa pusat perkembangan ilmu
yang pada saat itu ada di Makkah, Madinah, Irak, dan Mesir.
Sebagai seorang mujtahid beliau,
telah mengeluarkan fatwa-fatwanya baik yang berupa qaul Qadim dan qaul
Jadid, dan dalam mengelurkan fatwa-fatwanya beliau tidak lepas dari
pengaruh sosio kultural dan kondisi politik pada saat itu.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai dimensi sosial politik dan
budaya yang melatar belakangi munculnya qaul
qadim dan qaul jadid Imam Shāfi’i, meliputi kondisi politik,
kemasyarakatan, perekonomian, dan keilmuan, serta produk hukumnya.
A. Biografi Imam Shafi’i
Imam Shāfi’i yang mempunyai nama
lengkap Muhammad Abu ‘Abdallah Ibn Idris Ibn Al-Abbas Ibn Uthman Ibn Shāfi’i
Ibn Al-Sa’ib Ibn ‘Abd Manaf.[1]
Sedangkan ibunya adalah Sayyidah Fatimah
Binti Abdallah Ibn al-Hasan Ibn Husain Ibn Ali Ibn Abi Talib.[2]
Imam
Shāfi’i lahir di Gazah pada bulan Rajab tahun 150 H. Bertepatan dengan tahun
767 M. Tahun dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia. Ghazah sebenarnya bukan
tanah leluhur Imam Shāfi’i, akan tetapi pada waktu itu ayah imam Shafi’i sedang
melakukan perjalanan ke Ghazah dan meninggl dunia disana.[3]
Ayah
imam Shāfi’i, Idris Ibn al-Abbas adalah keturunan Quraish, dan nasabnya bertemu
dengan nasab nabi Muhammad saw. Pada Abd. Manaf. Hasyim, kakek imam Shāfi’i
bukanlah Hashim kakek nabi Muhammad, akan tetapi keponakan dari Hashim kakek
nabi.[4]
Pada usia dua tahun Imam Shafi’i sudah dibawa oleh ibunya ke Makkah untuk
menetap di sana, karena Makkah adlah
tempat kelahiran Ayah dan kakeknya, dan disana juga tempat berkumoulnya ulama
dan fuqaha, para penyair dan sastrawan.
Di Makkah, Imam Shafi’i mempelajari al-Qur’an sebelum mempelajari
ilmu-ilmu yang lain . dan beliau telah
menghatamkan dan menghafalkan Al-Qur’an ketika usianya belum genap tujuh tahun,
beliau belajar al-Qur’an kepada Isma’il Ibn Qistintin seorang syaikh di Makkah
pada waktu itu. Kemudian imam shafi’i mulai mempelajari Hadis dan berbagai ilmu
yang lain, dan untuk memperdalam ilmu hadith dan fiqh, beliau pergi menemui
imam Malik di Madinah.
B. Kondisi Politik
Kondisi
politik pada masa imam Shāfi’i tidak jauh berbeda dengan imam-imam yang lain,
dan kondisi perpolitikan ini dipengaruhi oleh faktor politik baik dari dalam
maupun luar negeri,[5]
faktor dalam negeri menjadi salah satu pengaruh, karena latar belakang beliau
tidak luput dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Imam Shāfi’i hidup pada masa
kekuasaan bani Abbas tidak jauh berbeda dengan penguasa sebelumnya yaitu
dinasti Umayyah, yang mana pemilihan khalifah pada masa dinasti abbasiah
didasarkan pada keturunan yaitu keturunan al-Abbas paman nabi Muhammad saw.[6]
Jabatan-jabatan
dalam pemerintahan banyak di dominasi oleh bangsa persia, terlebih oleh kelompok khurasan,
sebab mereka mempunyai jasa yang sangat besar dalam membantu pendiri dinasti
Abbasiah untuk meruntuhkan dinasti Umayyah. Mereka menduduki jabatan-jabatan
penting baik dalam pemerintahan maupun militer.[7]
Diantaranya adalah Yahya Ibn Khalid Al-Barmaki (perna menjabat menteri) dan
kedua anaknya yaitu Fadl dan Ja’far.[8]
Pengaruh
orang-orang persia ini sangat kuat sehingga mempengaruhi sistem pemerintahan
yang diterapkan oleh al-Mansur. Mereka berkeyakinan bahwa kehalifahan adalah
hak kerajaan yang suci, sehingga orang yang tidak hubungan nasab dan raja tidak berhak menduduki
jabatan tersebut, karena itu jabatan khalifah merupakan ketentuan Allah dan
bukan atas ketentuan manusia. Keyakinan ini mempengaruhi pola pikiran para khalifah, mereka mengaku
sebagai pewaris keluarga Nabi saw. [9]
Diantara salah satu penguasa yang
ada pada masa Abbasiah adalah Abu Abbas al-Safah (132-136 H) membagi wilayah
kekuasaannnya menjadi beberapa propinsi yang dipimpin oleh seorang gubernur
atau wali. Mereka ini diangkat oleh khalifah dari kalangan istana dan pejabat
teras. Sistem pemerintahan yang dipakai adalah sentralisasi, para gubernur dan
pegawai daerah merupakan pegawai kerajaan, sehingga khalifah tetap memiliki
kekuasaan mutlak.
Dalam bidang peradilan, khalifah
mengangkat qadhi untuk menetapkan suatu keputusan hukum, mereka tidak perlu
melakukan ijtihad, tetapi cukup mengikuti salah satu dari madhab yang ada. Di
Iraq saat itu madhab yang dipakai adalah madhab Hanafi, di Shām adalah
madhab Maliki, sementara madhab Shāfi’ī lebih banyak digunakan di Mesir.
Khalifah sangat mempengarui
keputusan yang diambil para qadhi, sehingga banyak fuqaha’ yang menolak jabatan
tersebut karena khawatir terbawa oleh keinginan atau kehendak khalifah yang
bertentangan dengan ajaran agama, sebagaimana yang dilakukan oleh imam Abu
Hanifah yang menolak jabatan tersebut pada masa al-Mansur, sehingga beliau dipenjarakan.
Sedangkan faktor luar negeri,
dipengarui oleh adanya sedikitnya
perkembangan politik pada masa daulah Abbasiah pada masa imam Shāfi’ī, bahkan
beberapa wilayah kekuasaan Abbasiah yang jauh dari pusat pemerintahan terlepas
karena dirampas oleh pihak luar. Diantara bukti-bukti tersebut adalah
berdirinya daulah Al-Adārisah
di maroko pada tahun 172 H.[10]
Dan berdirinya daulah al-Aghālibah di Tunis pada tahun 184 H.[11]
Begitu juga pengaruh dari imbas peperangan yang terjadi antara bangsa Arab dengan Bizantium pada
masa tersebut, mempengarui kekuasaan pemerintahan dan merosotnya perekonomian
negara karena banyak jiwa dan materi yang melayang.
C. Kondisi Kemasyarakatan
Masyarakat
tempat imam Shāfi’ī hidup terdiri dari empat
kelompok, yaitu Arab Muslim, mawalli, non muslim, dan kelompok budak. Mawalli
adalah masyarakat non Arab yang telah memeluk agama Islam, sementara itu budak
banyak dimiliki oleh orang-orang kaya, dan diantaranya mereka hidup di Istana,
mereka bertugas sebagai penyanyi, penari, pelayan dan istri simpanan khalifah.[12]
Mereka tidak dianggap hina, karena penjualan budak-budak pada saat itu tidak
seperti penjualan-budak-budak yang dikenal sebelumnya.
D. Kondisi Perekonomian
Pada
masa Imam Shāfi’i perekonomian tumbuh dengan pesat, khususnya setelah al-Mansur
digantikan oleh al-Mahdi. Karena perhatian al-Mansur terfokus pada pada
perluasan wilayah dan menjaga stabilitas wilayah kekuasaannya. Masyarakat
memiliki profesi yang beragam, masyarakat kelas atas terdiri dari pejabat,
pengarang, pendidik, seminan, pedagang, dan ahli tehnik. Sedangkan kelas
menengah ke bawah terdiri dari petani, dan pengembala ternak.
Dalam
bidang Industri juga telah berkembang dengan baik, penambangan biji besi,
tembaga, dan emas mulai dikembangkan dan banyak didirikan pakrik-pabrik di kota
Baghdad. Bersamaan dengan itu pada tahun 161 H, al-Mahdi memerintahkan agar di
tempat-tempat yang dekat dengan sumber air didirikan pabrik-pabrik.[13]
Begitu
juga dalam bidang perdagangan, Baghdad
ketika itu telah menjadi pusat perdagangan baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga kota Baghdad
menjadi negara yang maju karena letaknya yang trategis.
E. Dasar-dasar Ijtihad Imam Shafi’i
Pada dasarnya imam Shafi’i mennggunakan sumber
hukum empat yang sudah disepakati oleh fuqaha’ yaitu pertama, al-Qur’an, kedua,
al-Sunnah, ketiga, Ijma’, keempat, Qiyas.[14]
Begitu juga terhadap sumber hukum al-Mukhtalaf fi ha, beliau menjadikan
hujjah jika tidak terdapat dalam empat sumber hukum yang muttafaq.
Kecuali terhadap Istihsan, Maslahah Mursalah, beliau tidak menggunakannya
sebagai hujjah. Adapun terhadap Aqwal al-Sahabah al-Shafi’i membagi dalam tiga
macam: a) aqwal al-sahabah yang sudah disepakati, dan ini yang dipakai hujjah olehnya
karena merupakan ijma’ sahabat, b) aqwal al-sahabah yang masih diperselisihkan,
maka dilakukan pentarjihan dan yang arjah digunakan sebagai hujjah, c) terhadap
qaul al-sahabah yang ahad, jika tidak didapati dalam al-Qur’an, Al-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas, maka digunakan qaul ahad tersebut, apalagi jika dalam masalah
tersebut tidak terdapat ruang ijtihad. [15]
F. Ijtihad Imam Shāfi’i dan kondisi sosio kultural yang melatarbelakangi
Setelah membahas tentang keadaan
sosio kultural dan politik pada masa Shafi’i, maka dalam hal ini akan diulas
beberapa contoh pemikiran Shafi’i baik yang terdapat dalam qaul qadim
maupun qaul jadid, dan
mengkaitkan dengan kondisi sosio kultural pada masa itu sehingga bisa
dilihat pengaruh unsur sosio kultural pada saat itu dalam ijtihadnya.
a. Talak yang Dilakukan Orang Yang Tidak Sadar
Talak
hukumnya sah apabila dilakukan oleh seorang suami yang baligh (dewasa) dan
berakal. Dan talak hukumnya tidak sah jika dilakukan oleh orang yang belum
dewasa atau orang yang hilang akalnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak
disengaja seperti tidur, gila, sakit atau meminum obat-obatan yang
mengakibatkan hilangnya kal karena ada seatu kebutuhan.[16]
Penetapan
hukum orang-orang yang hilang akalnya (tidak sadar) tersebut berdasarkan Qiyas
kepada orang gila dan orang yang sedang tidur. Berdasarkan hadis nabi saw. :
رفع القلم
عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ, وعن المبتلى حتى يبرء, وعن الصبي حتى يكبر (رواه
أبو داود)
Artinya Pena, (pencatatan amal
baik dan buruk) itu tidak ada dari tiga kelompok, yaitu; orang yang tidur
hingga bangun, orang gila hingga sadar, dan anak-anak hingga dewasa.[17]
Namun apabila hilangnya akal
tersebut disebabkan oleh sesuatu yang disengaja, seperti minum arak, atau minum
obat-obatan secara sengaja tanpa ada kebutuhan, ex. Minum pil ekstesi,
maka dalam hal ini imam Shāfi’i mempunyai dua pendapat dalam qaul qadim:
- Talak tersebut dianggap tidak sah karena orang yang mabuk itu hilang akalnya sehingga ia menyamai orang gila. Dalam hal tersebut orang mabuk diqiyaskan dengan orang gila,[18] dan orang gila tidak terkena pembebanan hukum, sehingga apapun yang dilakukannya dianggap tidak sah. Pendapat ini diikuti oleh Rabi’ah, al-Laith, Daud, Abu Thaur, dan al-Muzanni.
- Talak tersebut dianggap sah. Adapun alasan yang digunakan adalah firman Allah SAW. Surat al-Nisa ayat: 43.
يا أيها الذين أمنوا لاتقربوا الصلاة وأنتم
سكارى حتى تعلموا ما تقولون ولا جنبا الا عابري سبيل حتى تغتسلوا. ( النساء : 43)
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melaksanakan salat sedangkan
kamu dalam keadaan mabuk.” ( Q.S. Al-Nisa: 43).
Firman Allah disini ditujukan kepada orang yang sedang mabuk supaya
tidak melaksanakan salat sampai ia sadar. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang
dalam keadaan mabuk mendapatkan pembebanan hukum atau mukallaf.
Alasan lain yang dikemukakan
adalah pendapat sahabat nabi, yaitu ketika Umar meminta pendapat para sahabat
tentang orang yang mabuk, Ali menjawab: engkau melihat orang-orang bila mabuk
ia akan mengigau atau berbicara ngelantur, dan jika ia mengigau ia akan
berdusta, dan bagi orang yang berdusta adalah hukuman cambuk 80 kali. Jawaban
Ali ini tidak disangkal oleh sahabat yang lain yaitu: Uthman, abdurrahman,
Talhah, dan Zubair.[19]
Dalam
hal ini orang yang mabuk dengan sengaja disamakan dengan orang yang sadar,
sehingga perbuatan apapun yang dilakukannya tetap dicatat oleh Allah baik
perbuatan itu terpuji atau tercela.[20]
Pendapat
ini juga dikemukakan oleh Abū Bakr al-Khalāl, Sa’īd Ibn Musayyab, Mujahīd
al-Husain, Ibn Sirīn, Al-Shābi, al-Nakhā’ī, Maimūn Ibn Mahrām, al-Hakām, Malik,
al-Thauri, dan al-Auzā’i, serta Abu Hanīfah.[21]
Pendapat kedua ini tetap dipertahankan dalam qaul jadīdnya.
Dasar
hukum yang dipakai imam Shāfi’i dalam qaul qadīm yang menganggap tidak
sah talak tersebut adalah qiyas, sedangkan dalam qaul jadid dasar hukum
yang digunakan adalah ayat al-Qur’an dan ijma’ sahabat. Ayat-ayat al-Quran dan Ijma’
tersebut tentunya sudah diketahui sejak Shāfi’i menfatwakan qaul qadīmnya,
akan tetapi dalam qaul qadim ia justru mempergunakan qiyas,
padahal kalau dilihat dari metode istinbat Shāfi’i, qiyās dipakai jika
suatu masalah tidak ditemukan dalam nas atau Ijma’.
Dalam
menggunakan qiyas ini Shafi’i menentukan bahwa illat al-hukm
(penyebabnya) adalah hilangnya akal, akan tetapi dalam qaul jadid, illat al-hukum dibatalkan dengan beralih pada pengertian
umum firman Allah surat al-Nisa’ ayat
43. perubahan pendapat imam Shafi’i ini sangat dipengarui oleh pemahamannya
terhadap kondisi sosial pada saat ayat tersebut diturunkan dan kondisi sosial
pada masa sahabat, yang mana pada saat
itu minuman keras menjadi tradisi masyarakat.[22]
Apabila
dilihat dari kondisi masyarakat pada masa Shāfi’i ketika memasuki Baghdad
(tahun 184 H), minuman keras sudah menjadi kebiasaan masyarakat, dan khalifah
tidak memberikan larangan yang tegas terhadap peminum minuman keras, bahkan
minuman keras menjadi tradisi di istana, khususnya setelah al-Mansur (136-158)
digantikan oleh al-Mahdi (158-169 H).[23]
Tradisi ini juga berkembang dalam di masyarakat, dan banyak transaksi yang
dilakukan dalam keadaan mabuk sebab meminum minuman keras. Kondisi yang
demikian mempengaruhi pemikiran Shāfi’i, sehingga ia menerapkan hukum secara
tegas kepada orang yang minum minuman keras atau khamr dan menganggapnya
sebagai orang sadar. Perubahan fatwa ini dilakukan dengan merubah ijtihadnya dari penggunaan qiyās kepada orang gila
pada kandungan umum al-Qur’an dan Ijma’. Perubahan ijtihad Shāfi’i
dengan kembali kepada kandungan umum Al-Qur’an dan Ijma’ ini sesuai
dengan hirarki sumber hukum Islam dalam pandangannya. Disamping itu juga karena
adanya kesamaan kondisi sosial pada masa
tersebut dengan kondisi sosial pada masa nabi Muhammad saw. Dan masa sahabat.
b. Penjualan Barang Yang Tidak ada di Hadapan Pembeli
penjualan
barang ghaib atau yang tidak ada dihadapan penjual dan pembeli tidak diperbolehkan jika tidak
diketahui jenis dan macamnya.[24]
Larangan ini dikarenakan adanya unsur gharar atau penipuan, sehingga
dapat merugikan salah satu pihak atau khususnya pembeli dikemudian hari. Hal ini berdasarkan hadis
nabi Muhammad saw riwayat Abu Hurairah ra tentang larangan jual beli yang
didalamnya terdapat unsur gharar atau penipuan.[25]
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال نهى رسول الله صلى الله عليه
وسلم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر ( رواه مسلم)
Apabila barang tersebut
telah diketahui jenis dan macamnya, maka
dalam pandangan imam Shāfi’i terdapat dua pendapat, yaitu;
1. menurut qaul
qadim, jual beli tersebut sah dan pembeli diperbolehkan memilih untuk
meneruskan jual beli tersebut atau membatalkan (khiyar) jika sudah
melihat barang yang dijual.
Dasar hukum yang dipakai Shāfi’i
adalah pendapat sahabat yang diriwayatkan
oleh Ibn Abi Mulaikah bahwa Uthman ra. Membeli sebidang tanah yang
terletak di Madinah dari Talhah, dan menggantinya dengan sebidang tanah yang
terletak di Kufah, padahal Uthman belum mengetahui tanah yang hendak dibelinya,
lalu mereka mengajukan masalah itu kepada Jubair Ibn Muth’im, ia memutuskan
bahwa jual beli tersebut sah.[26]
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh imam Malik, imam Abu Hanifah, imam
Ahmad Ibn Hambal, Ibn Mundhir, dan Mayoritas Ulama’ sahabat.[27]
2. menurut qaul jadid,
jual beli tersebut tidak sah karena didalamnya terdapat unsur gharar
atau penipuan, dan jika pembeli mengetahui ciri-ciri barang yang dijual
tersebut maka jual beli dianggab sah. Dalam masalah ini imam Shāfi’i berpedoman
pada hadis riwayat Abu Hurairah tentang larangan jual beli yang di dalamnya
terdapat unsur penipuan.[28]
Hadis Abu Hurairah yang dijadikan dasar
hukum Shāfi’i pada qaul jadid adalah hadis sahih, sedangkan pendapat
sahabat yang dijadikan dasar hukum qaul qadim mempunyai sanad hasan dan
di dalamnya terdapat seorang rawi atau pembawa berita yang tidak dikenal atau majhul,
sehingga kehujjahannya diperselisihkan. Jika dilihat dari urutan sumber istinbat
al-Hukm menurut Shāfi’i maka hadis Abu Hurairah lebih kuat untuk dijadikan
dasar hukum.
Hadis Abi Hurairah yang dijadikan
dasar dalam qaul jadid sebenarnya sudah diketahui oleh Shāfi’i sejak
awal, bahkan hadis ini digunakan untuk menolak jual beli barang yang tidak ada
dihadapan penjual dan pembeli yang tidak diketahui sama sekali sifat, macam,
dan jenisnya. Akan tetapi dalam qaul qadim, imam Shāfi’i justru
berpegang pada pendapat sahabat
tersebut. Padahal kalau dilihat dari kualitas keshahihannya, hadis Abu Hurairah
lebih kuat, disini dapat dilihat besarnya
pengaruh pendapat imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam qaul qadim
imam Shāfi’i. Padahal kondisi pada masa
imam abu Hanifah dan Imam Malik di madinah telah berbeda dengan kondisi di
Baghdad pada masa Imam Shāfi’i.
Dengan demikian perubahan
pendapat imam Shāfi’i ini tidak hanya disebabkan adanya hadis Abu Hurairah saja
tetapi juga disebabkan oleh faktor kondisi perdagangan yang ada saat itu,
sehingga mendorong untuk mempergunakan hadis riwayat Abu Hurairah sebagai landasan maslahah.
Perubahan pendapat al-Shafi’i mengalami kemajuan yang sangat pesat. Praktek
jual beli barang yang tidak ada dihadapan pembeli berlaku di masyarakat. Pada
masa itu imam Shāfi’i melihat bahwa praktek tersebut kemungkinan besar akan
menimbulkan penipuan. Apalagi jika para pedagang tidak saling mengenal dan
tidak mengetahui sifat masing-masing karena mereka berdatangan dari beberapa
negeri yang berbeda, dengan watak yang berbeda pula. Mereka membawa barang yang
namanya sama namun jenisnya bermacam-macam.
Akan tetapi karena pendapat yang
berkembang saat itu adalah madhab Maliki dan Hanafi yang memperbolehkan jual
beli semacam itu, maka imam Shāfi’i untuk sementara mengikuti pendapat
tersebut, padahal keadaan perdagangan pada masa imam Abu Hanifah dan Imam Malik
berbeda dengan kondisi pada masa imam Shāfi’i.
Imam Abu Hanifah disamping
sebagai seorang ulama juga seorang pedagang. Kehidupan sehari-hari berada
dipasar dan ia terjun langsung dalam dunia perdagangan dengan menjual kain
sutera.[29]
Maka sangat wajar bagi Abu Hanifah memilih cara yang praktis dengan
memperbolehkan jual beli barang yang tidak ada dihadapan pembeli, dan
memberikan kesempatan kepada pembeli untuk melakukan khiyar, hal ini
berbeda dengan Shāfi’i, ia adalah seorang ulama yang tidak terjun secara
langsung dengan dunia perdagangan. Dengan kondisi yang demikian ini dan melihat
perkembangan pedagang pada saat itu yang semakin maju, maka dalam qaul jadid
Shāfi’i lebih cenderung bersifat hati-hati atau ikhtiyat. Dalam qaul
jadid Shāfi’i tidak mempergunakan hadis untuk membatalkan pendapat yang
pertama, tetapi menggunakan maslahah yang bertujuan untuk menghindari adanya
unsur penipuan yang dapat merugikan salah satu pihak. Jelas bahwa imam Shāfi’i juga menggunakan maslahah, meskipun
maslahah itu tidak disebutkan dalam nas.
Dan pertimbangan untuk memberlakukan qaul jadid ini tentu
sangat berkaitan dengan kondisi perdagangan yang ada dimasyarakat saat itu yang
sudah semakin heterogen, tidak seperti pada masa imam Abu Hanifah ketika di
Iraq dan imam Malik ketika di Madinah.
Meskipun demikian fatwa-fatwa imam Shāfi’i ini baru dikemukakan ketika ia
berada di Mesir, walaupun pertimbangan-pertimbangan yang dipakai adalah kondisi
saat ia berada di Baghdad.
Sebenarnya maslahah bukan hanya
disebabkan oleh dalil naqli, tetapi juga aqli, dan akal lebih
dominan, khususnya dalam kondisi perdagangan pada saat itu, sedang faktor naqli
hanya menjadi pedomam umum yang pada dasarnya sudah dikenal sejak ia
menfatwakan qaul qadim. Bahkan seringkali dalil naqli dalam qaul qadim dan jadid sama, tetapi
penafsiran yang digunakan berbeda. Ini merupakan suatu bukti bahwa faktor
lingkunagn mempengruhi penafsiran imam Shāfi’i terhadap suatu dalil naqli.
Faktor sosio kultural yang mempengarui ijtihad imam Shafi’i bukanlah
faktor sosio kultural pada saat ia berada di Mesir saja, tetapi faktor-faktor
itu banyak ditemukan ketika masih berada di Baghdad. Namun ia tidak segera melakukan
perubahan terhadap fatwa-fatwa hukumnya, dari sini dapat dilihat bahwa
perkembangan hukum dan perubahan sosial tidak selalu berjalan bersama-sama.
Penutup
Ijtihad
Imam Shafi’i yang hidup pada masa Abbasiah, baik dalam qaul qadim dan jadid
banyak dipengarui oleh faktor sosio kultural, politik, dan masyarakat yang berkembang pada
masa itu, dan tidak hanya
dipengarui oleh faktor sosio kultural di Baghdad saja akan tetapi juga dari
negara-negara lain dimana Imam Shafi’i pernah belajar, sehingga walaupun beliau
pernah berguru kepada imam Malik dan Imam Abu Hanifah, namun dalam berijtihad
imam Shafi’i juga memperhatikan kondisi lingkungan pada masanya yang mana
permasalahan yang muncul dan berkembang tidak sama dengan permasalahan yang ada
pada masa Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, dengan bukti adanya qaul qadim
dan qaul jadidnya. Dan ketika imam Syafi’i di Baghdad beliau tidak
langsung mengganti qaul qadimnya dengan qaul jadid, namun beliau
mengemukakannya ketika berada di Mesir, karena pada waktu itu masyarakat
Baghdad masih memegang dan mengikuti
imam Abu Hanifah.
BIBLIOGRAPHY
Ibrahim Hasan, Hasan, Tarīkh al-Islām, Jild.2, Kairo:
Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1976.
Zahra, Abū, Tarīkh al-Mazāhib al-Fiqhiyyah, Kairo: Matba’āt
al-Madāni, tt
Fikri, Ali, Ahsan al-Qasas, Jil. 4, Bairut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.
Al-Sais, Moh. Ali , Tarīkh Fiqh al-Islāmi, Bairut:
Dār al-Fikr al-Mu’āsir, 1999
Shalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, jld. 3, ter., Moh.
Labib Ahmad, Jakarta: Al-Hasna Dhikra,
1997.
Ali, K., Sejarah Islam, ter. Gufran A. Masudi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997.
al-Azīm, Abū al-Thayyīb Muhammad Shams al-Dīn al-Haq, Aun al-Ma’būd. Jld. 17 Bairut : Dār al-Fikr, 1979.
Al-Nawāwi, Abū Zakariyyah Muhy Al-Dīn Ibn Sharāfan, Al-Majmū’
Jild. 17, Bairut: Dār al-Fikr, tt.
Al-Shairāzi, Al-Muhazzab, Jld. 3,
Bairut : Dār al-Fikr, tt.
Philip K. Hitti, History of The Arabs, tt: The Macmillan Press,
LTD, 1970.
Amin, Ahmad, Dhuhā al-Islām,
Jld 1, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1974.
Qudamah, Ibn, Al-Mughni,
Jild 8, Bairut; Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.
Rushd, Ibn, Bidāyah
al-Mujtahīd Wa Nihāyah al-Muqtasīd, Jild. 2 Bairut : Dār al-Fikr, tt.
Al-Hudhāri, Moh., Tarīkh al-Tashrī’ al-Islāmi, Kairo: Matba’at
Dār ihyā’ al-Kutub al-‘Arābiyah, 1981.
Salām, Ahmad Nahrāwi Abd., Imām
Shāfi’I Fi Madhabihi al-Qadīm Wa al-Jadīd, Kairo: Maktabah al-Shabāb, 1988
[5] Ahmad Nahrāwi Abd. Salām,
Imām Shāfi’I Fi Madhabihi al-Qadīm Wa al-Jadīd, (Kairo: Maktabah al-Shabāb,
1988), 90.
[6] Ahmad Shalabi, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, jld. 3, ter., Moh. Labib Ahmad, (Jakarta Al-Hasna
Dzikra, 1997), 1.
[8] K. Ali, Sejarah Islam, ter. Gufran A.
Masudi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), 253. Mas’ud al-Hasan, History
of Islam, Vol. I, (Delhi; Adam Publishers and Distributors, 1995), 208.
[10] Daulah al-Adārisah berdiri dibawah pimpinan Idris Ibn Abd. Malik Ibn al-Hasan ibn Ali yang
lari dari dari peristiwa Fakh yang terjadi pada masa al-Hadi (169 H). Ahmad Nahrāwi
Abd. Salām, Imām Shāfi’I Fi Madhabihi al-Qadīm Wa al-Jadīd, (Kairo:
Maktabah al-Shabāb, 1988), 95. lihat juga Hasan Ibrahim, Tarīkh al-Islām,
Jld. 2, 221-222.
[11] Daulah al-Aghālibah berdiri
di Tunis di bawah kepemimpinan
Ibrahim Ibn Aghlab, murid dari al-Laith
Ibn Sa’id seorang Imam di Mesir dalam bidang Fiqh dan Hadis. Hasan
Ibrahim, Tarīkh al-Islām, Jld. 2, 209-210.
[12] Philip K. Hitti, History of The Arabs,
(tt: The Macmillan Press, LTD, 1970), 341.
Ahmad Amīn, Dhuhā al-Islām, Jld 1,
(Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1974),
9.
[15] Ahmad Nahrawi Abd. Al-Salam, 423.
[17] Abū al-Thayyīb Muhammad Shams al-Dīn al-Haq al-Azīm , Aun al-Ma’būd. Jld. 17 (Bairut : Dar al-Fikr, 1979), 72-73.
[18] Abū Zakariyyah Muhyi
Al-Dīn Ibn Sharafan Al-Nawāwi, Al-Majmū’ Jild. 17( Bairut: Dār al-Fikr, tt), 62.
[19] Al-Nawāwi, Al-Majmū’ ‘Ala Sarh al-Muhazzab,
Jild. 17, 56-62, Al-Shirazi, al-Muhazzab Jild 3, 3-4.
[22] Ibn Rushd, Bidāyah al-Mujtahid Wa
Nihāyah
al-Muqtasid, Jild. 2 (Bairut : Dār al-Fikr, tt), 332.
[25] Al-Muslim, Shahih Muslim, jil. 1, ter., ( Bandung: Syarikat al-Ma’arif li
al-Ta’lif wa al-Nasr, tt), 658.
[26] Al-Shairazi, Al-Muhazzab, Jld. 2, 14
[27] Al-Nawawi, al-majmu ‘’Ala Sarh al-Muhaddab,
Jil. 9, 301.
[28] Al-Syirazi, al-muhazzab Jil.2. 15.
[29] Moh. Al-Hudhāri, Tarīkh al-Tashrī’ al-Islāmī, (Kairo:
Matba’at Dar ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1981), 231.