Hadits Tematik Tema Jual Beli
Hadits Tematik Tema Jual Beli
Pendahuluan
Jual beli merupakan salah satu aktifitas yang banyak dilakukan oleh ummat manusia, bahkan hampir tidak ada seorang pun di dunia ini yang terbebas dari aktifitas jual beli, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Jual beli tidak hanya merupakan salah satu cara untuk mencari nafkah dan keuntungan finansial, namun jual beli juga merupakan salah satu jenis usaha yang mendapatkan perhatian besar dalam Islam, baik karena merupakan salah satu aktivitas yang banyak dibutuhkan oleh manusia, profesi yang banyak dilakukan oleh para Nabi, dan beberapa keutamaan lainnya. Karena itu wajar jika dalam al-Qur’an, hadis nabi dan berbagai kajian fikih persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan yang cukup luas.
Dasar hukum disyari’atkannnya jual beli dapat dijumpai dalam beberapa ayat al-Qur’an, antara lain;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa : 29]
Ayat di atas menerangkan bahwa Islam membenarkan adanya jual beli. Begitupun dalam prakteknya (jual beli), manusia tidak boleh menzhalimi sesama manusia dengan cara memakan harta secara bathil. Kecuali jual beli tersebut dilaksanakan dengan merelakan antara keduanya baik secara lahir maupun bathin.
Imam As-Syafi’i mengatakan semua jenis jual beli yang dilakukan secara suka sama suka dari kedua belah pihak hukumnya boleh, selain jual beli yang diharamkan Rasulullah. Dengan demikian, apa yang dilarang oleh Rasulullah secara otomatis diharamkan dan masuk dalam makna yag dilarang.
Diperkuat Sabda Nabi Muhammad SAW berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ الْجَرْجَرَائِيُّ قَالَ مَرْوَانُ الْفَزَارِيُّ أَخْبَرَنَا عَنْ يَحْيَى بْنِ أَيُّوبَ قَالَ كَانَ أَبُو زُرْعَةَ إِذَا بَايَعَ رَجُلًا خَيَّرَهُ قَالَ ثُمَّ يَقُولُ خَيِّرْنِي وَيَقُولُ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَفْتَرِقَنَّ اثْنَانِ إِلَّا عَنْ تَرَاضٍ . (روه ابو داود و الترمذى)
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim Al Jarjarai, ia berkata; Marwan Al Fazari telah mengabarkan kepada kami, dari Yahya bin Ayyub, ia berkata; Abu Zur'ah apabila melakukan jual beli dengan seseorang maka ia memberinya kebebasan memilih. Kemudian ia berkata; berilah aku kebebasan memilih! Dan ia berkata; aku mendengar [Abu Hurairah] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah dua orang berpisah kecuali dengan saling rela."(Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi).
Hadits di atas membukti bahwa dalam melaksanakan jual beli keridhaan selalu dituntut. Dari dalil Al-Quran dan Hadits ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa jual beli hukumnya adalah boleh dengan ketentuan harus suka sama suka dan tidak saling menzhalimi. Disamping itu, Allah juga menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan adanya kelebihan-kelebihan dalam pembayaran. Kehalalan itu akan membuat profesi berdagang adalah pekerjaan yang paling baik. Namun sebaliknya, apabila kita melakukan transaksi yang haram (riba, penipuan, pemalsuan dan lain sebagainya), hal ini termasuk ke dalam kategori memakan harta manusia secara bathil
Pembahasan
Anjuran Berdagang
Dalam sebuah riwayat disebutkan, seorang sahabat Rasulullah bertanya kepada beliau tentang pekerjaan yang lebih baik. Dari pertanyaan tersebut, maka keluarlah hadis yang menganjurkan tentang berdagang. Hadis tentang berdagang tersebut diriwayatkan oleh Ahmad (Imam Hambali) dalam kitab Musnad Ahmad, barikut haditsnya :
يا رسول الله أىّ الْكَسْبِ أطْيَبُ؟ قَالَ "عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وكُلُّ بَيْع مَبْرُور"- رواه احمد-
Artinya:“Wahai Rasulullah, mata pencaharian apakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur (diberkahi).” (HR. Ahmad).
Dari hadis di atas dijelaskan, maksud pekerjaan yang lebih baik dengan tangan sendiri adalah tak lain dan tak bukan adalah berdagang. Selain hadis tentang berdagang tersebut, ada pula hadis lainnya yang kembali menekankan bahwa pekerjaan dari kerja keras tangan sendiri adalah yang paling baik. Hadis itu berbunyi sebagai berikut:
مَا أَكَلَ أَحَد طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَن يَأْكُلَ مِنْعَمَ لِيَدِهِ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَان يَأْكُلُ مِنْعَمَ لِيَدِهِ - رواه بخاري-
Artinya:“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu juga makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari).
Seperti pekerjaan halal lainnya, berdagang juga tentu bisa menjadi sebuah cara kita beribadah kepada Allah SWT apabila dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh sesuai dengan syariat Islam.
Rasulullah bersabda dalam hadis tentang berdagang sebagai berikut:
يُؤْتَى بِرَجُلٍ يَوْمَا لْقِيَامَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ : انْظُرُوا فِى عَمَلِهِ. فَيَقُولُ : رَبِّ مَا كُنْتُ أَعْمَلُ خَيْراً غَيْرَ أَنَّهُ كَانَ لِى مَالٌ وَكُنْتُ أُخَالِطُ النَّاسَ فَمَنْ كَانَ مُوسِراًيَسَّرْتُ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ مُعْسِراً أَنْظَرْتُهُ إِلَى مَيْسَرَةٍ . قَالَ اللَّهُ عَزَّوَجَلَّ : أَنَا أَحَقُّ مَنْ يَسَّرَ فَغَفَرَ لَهُ
Artinya: “Ada seseorang didatangkan pada hari kiamat. Allah berfirman (yang artinya), “Lihatlah amalannya!” Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Rabbku, aku tidak memiliki amalan kebaikan selain satu amalan. Dulu aku memiliki harta, lalu aku sering meminjamkannya pada orang-orang. Setiap orang yang sebenarnya mampu untuk melunasinya, aku beri kemudahan. Begitu pula setiap orang yang berada dalam kesulitan, aku selalu memberinya tenggang waktu sampai dia mampu melunasinya.” Lantas Allah pun berkata (yang artinya), “Aku lebih berhak memberi kemudahan”. Orang ini pun akhirnya diampuni.” (HR. Ahmad Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Keutamaan jual beli yang mabrur
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ } رَوَاهُ الْبَزَّارُ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ
Artinya : Dari Rifa’ah bin Rafi’, Nabi pernah ditanya mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Jawaban Nabi, “Kerja dengan tangan dan semua jual beli yang mabrur” [HR Bazzar dan dinilai shahih oleh al Hakim.
Banyak orang beranggapan bahwa istilah mabrur itu terkait erat dengan haji, padahal ternyata Nabi juga menggunakan istilah mabrur untuk transaksi jual beli. Mabrur artinya mengandung kebaikan yang banyak.
Mengenai transaksi jual beli yang mengandung kebaikan yang banyak atau mabrur penjelasannya bisa dijumpai dalam hadits yang lain, “Jika penjual dan pembeli jujur dan menjelaskan apa adanya maka transaksi jual beli yang dilakukan itu akan diberkahi” [HR Bukhari dan Muslim].
Jadi jual beli mabrur adalah jual beli yang mengandung dua unsur yaitu jujur dan menjelaskan. Jujur terkait keunggulan produk dan menjelaskan terkait kekurangan produk sehingga pedagang tidak mengatakan produk ini berkualitas bagus padahal jelek atau tahu ada cacat pada produknya namun ditutup-tutupi.
Di samping dua unsur di atas ada unsur ketiga yang harus dipenuhi agar transaksi jual beli yang terjadi tergolong mabrur yaitu sesuai dengan syariat. Jual beli yang melanggar syariat itu tidak tergolong mabrur meski sudah memenuhi kriteria jujur dan menjelaskan apa adanya. Seorang yang menjual produk yang haram diperdagangkan meski jujur dalam deskripsi barang dan menjelaskan apa adanya kekurangan barang tidak bisa disebut jual beli mabrur.
Rasulullah saw menjelaskan tentang penting dan keutamaan persoalan ini, antara lain dalam hadis berikut:
عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: التَّاجِرُالصَّدُوْقُ الأَمِيْنُ مَعَ النَّبِيِّيْن والصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ – رواه الترمذى
Artinya : “Dari Abi Sa’id, dari Nabi saw bersabda: Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para Nabi, orang-orang yang jujur dan syuhada’”. (HR. Tirmidzi)
Ketika penjual dan pembeli berselisih
وعن ابن مسعود رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: إذا اختلف المتبايعان ليس بينهما بينة، فالقول ما يقول رب السلعة أو يتتاركان. رواه الخمسة وصححه الحاكم
Artinya : “Jika kedua belah pihak dalam jual beli berselisih dan tidak ada bukti di antara mereka, maka perkataan berpihak kepada apa yang dikatakan oleh pemilik barang, atau mereka saling meninggalkan/ pergi).” (HR. lima ahli hadits dan disahkan oleh Hakim).
Jika kedua pihak yang bertransaksi berbeda baik dalam kekhususan barang, nilai, syarat-syarat, atau segala jenis perselisihan yang terjadi antara kedua belah pihak, maka perkataan berpihak kepada ucapan penjual, Karena dia adalah pemilik barang dan pemilik hak, dan pembeli tidak dapat mengambil barang darinya kecuali dengan persetujuan bersama.
Kaidah ini menjadi rujukan dalam kasus perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak pelaku akad muamalah, baik jual beli, sewa menyewa, gadai, atau selainnya. Jika terjadi perselisihan di antara mereka berkaitan dengan persyaratan, harga, atau hal-hal lainnya, maka pihak yang lebih kuat alasannya adalah pemilik barang.
Menetapkan harga adalah hak pedagang
عن أنس بن مالك رضي الله عنه مرفوعاً: قال الناسُ : يارسولَ الله ،غَلَا السِّعْرُ فسَعِّرْ لنا ،فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "إنَّ اللهَ هوالمُسَعِّرالقابضُ الباسطُ الرازقُ ، وإني لأرجو أن ألقى اللهَ وليس أحدٌ منكم يُطالِبُني بمظلمةٍ في دمٍ ولا مالٍ [صحيح]- رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وأحمد
Artinya: “Dari Anas bin Malik raḍiyallāhu 'anhu secara marfū', Orang-orang berkata, "Wahai Rasulullah, harga-harga menjadi mahal. Tetapkanlah harga untuk kami?" Rasulullah ṣallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah yang pantas menaikkan dan menurunkan harga, Dia-lah yang membatasi dan melapangkan rezeki. Aku harap dapat berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntutku soal kezaliman dalam darah (nyawa) dan harta. ”(Hadis sahih Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Mājah dan Ahmad)
Harga-harga barang naik pada masa Rasulullah SAW. Lantas orang-orang memohon kepada beliau untuk menetapkan harga-harga barang bagi mereka. Rasulullah bersabda kepada mereka, "Sesungguhnya Allah-lah yang pantas menetapkan harga, yang menahan dan melapangkan, lagi Maha pemberi rezeki". Yakni, Sesungguhnya Allah Ta'ālā adalah Zat yang menjadikan segala sesuatu murah dan mahal. Dia-lah yang menyempitkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan meluaskannya kepada siapa yang Dia kehendaki.
Yakni, siapa yang berusaha menetapkan harga, maka dia telah menentang Allah dan merebut apa yang Dia kehendaki, serta menghalangi para hamba dari hak-hak mereka yang telah diatur oleh Allah SWT. dalam harga yang mahal dan murah.
Selanjutnya Rasulullah ṣallallāhu 'alaihi wa sallam bersabda, "dan sesungguhnya aku berharap agar dapat berjumpa dengan Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku mengenai kezaliman dalam darah dan harta." Ini merupakan isyarat bahwa yang menjadi halangan adanya penetapan harga ialah kekhawatiran timbulnya kezaliman dalam harta mereka.
Sesungguhnya penetapan harga barang-barang merupakan bentuk tindakan memperlakukan barang orang lain tanpa seizin pemiliknya, itu adalah kezaliman. Tetapi apabila para penjual serempak berkomplot, contohnya para pedagang dan yang lainnya untuk menaikkan harga barang-barang mereka atas egoisme mereka, maka pemerintah (waliyul amri) harus menetapkan harga barang-barang yang dijual secara adil, demi menegakkan keadilan antara para penjual dan para pembeli dan berdasarkan kaidah umum, yaitu kaidah mengambil manfaat dan mencegah kerusakan.
Jika tidak terjadi kolusi dari mereka, tetapi kenaikan harga itu terjadi disebabkan banyaknya permintaan dan sedikitnya barang tanpa ada muslihat, maka pemerintah (waliyul amri) tidak berhak untuk menetapkan harga, tetapi ia harus membiarkan rakyat diberi rezeki oleh Allah, yang ini maupun yang lain. Berdasarkan hal ini, para pedagang tidak boleh menaikkan harga melebihi batasan normal dan tidak boleh menetapkan harga.
Bathilnya menjual sesuatu yang tidak ada di tangan
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو كُرَيْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ الضَّحَّاكِ بْنِ عُثْمَانَ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَشَجِّ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اشْتَرَى طَعَامًا فَلَا يَبِعْهُ حَتَّى يَكْتَالَهُ. وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ مَنْ ابْتَاعَ – رواه مسلم
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair serta Abu Kuraib mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab dari Adh Dahhak bin Utsman dari Bukair bin Abdillah bin Al Asyaj dari Sulaiman bin Yasar dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah Shallallu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membeli makanan, maka janganlah ia menjualnya sampai ia menakarnya terlebih dahulu." Sedangkan dalam riwayat Abu Bakar (menggunakan lafazh) "man ibtaa'a." (HR.Muslim).
Allah SWT. telah mengatur jual beli yang menjaga hak-hak manusia, menghindari konflik dan perselisihan, serta menjauhkan mereka dari bahaya. Dan dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berpesan kepada kita bahwa barangsiapa yang membeli makanan dan ingin menjualnya, “jangan menjualnya” sampai dia mengambilnya dengan takaran dan timbangan untuk kepemilikannya dan bahwa dia telah menjadi pembeli pada saat itu, dan bahwa dia mengetahui jumlahnya dengan pengetahuan yang menyangkal ketidak tahuan, dan inilah yang dijual oleh penjual. Dia harus mengukurnya terlebih dahulu sampai dia menerimanya secara lengkap, kemudian menjualnya setelah itu, dan tidak boleh dia menjualnya sebelum dia mengukurnya. Karena bisa jadi ada penambahan atau pengurangannya, dan ini akan menjadi tidak adil dan merugikan baik penjual maupun pembeli.
Semoga Bermanfaat jangan lupa untuk selalu terhubung dengan kami dengan follow blog kami saef-swordofgod