Makalah Perjanjian dalam Pernikahan
Makalah
Perjanjian dalam Pernikahan
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan
kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan
hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul perjanjian perkawinan.
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas fikih munakahah dan jinayah yang diampuh oleh bapak
H. M. Saifullah, Lc., M.Pd.I pada Mahasiswa Semester III di STAI Ihyaul Ulum.
Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang segala hal mengenai perjanjian perkawinan.
Kami
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada bapak H. M. Saifullah, Lc.,
M.Pd.I selaku dosen Mata Kuliah fikih munakahah dan jinayah. Tugas yang telah
diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kepada kami sendiri dan
juga kepada para pembaca. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
Dukun, 12 NOvember 2021
Moh Sabila Rosyadi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN....................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. RumusanMasalah............................................................................................... 2
C. Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 3
A. Bentuk dan isi perjanjian perkawinan dalam hukum
islam............................... 3
B. Harta
kekayaan suami istri dalam perkawinan…………………………………4
BAB III
KESIMPULAN ....................................................................................... 8
A. Kesimpulan......................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 9
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perkawinan
adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa agar kehidupan di alam
dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia, tetapi
juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah
makhluk ciptaannya yang berakal, maka perkawinan adalah salah satu budaya yang
beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan
masyarakat.
Aturan tata tertib
perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan
anggota-anggota masyarakat dan pemuka masyarakat adat atau para pemuka agama.
Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itun sudah ada sejak zaman kuno,
dari sebelum merdeka sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan
itu sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut
warga Negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.
Dalam menjalani segala
perkara khususnya perkawinan pasti akan ditemukan suatu hambatan atau masalah,
untuk bersiap-siap dalam menyelesiakan atau mencegah suatu masalah tersebut maka sepasang suami
istri dapat membuat suatu perjanjian pernikahan, yang mana perjanjian tersebut
mereka buat atas kesepakatan bersama pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan oleh kedua belah pihak, selama
perjanjian perkawinan tersebut tidak menyimpang dari ajaran-ajaran agama dan
juga hukum atau undang-undang Negara. Perjanjian perkawinan yang sering terjadi
untuk mengatasi atau mengatur kekayaan pribadi masing-masing suami istri pada
dasarnya dicampur menjadi satu kesatuan yang bulat.
Dengan diadakannya
perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah, maka terdapat kepastian hukum
terhadap apa yang diperjanjikan mereka untukn melakukan suatu perbuatan hukum
terhadap apa yang diperjanjikan.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana bentuk dan isi perjanjian perkawinan dalam hukum
islam?
2. Bagaimana harta
kekayaan suami istri dalam perkawinan?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui bentuk dan isi perjanjian perkawinan dalam hukum islam.
2.
Untuk mengetahui harta kekayaan suami istri dalam perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk
dan isi perjanjian perkawinan dalam hukum islam
Perjanjian
perkawinan diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 (“Putusan MK 69/2015”).
Pada
waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Perjanjian
dapat dibuat baik sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial agreement)
maupun selama dalam ikatan perkawinan (postnuptial agreement).
Selain
itu, perjanjian perkawinan diatur pula dalam Pasal 45 sampai Pasal 52 Lampiran
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam (“KHI”).
a.
Bentuk perjanjian
perkawinan
Terdapat
dua bentuk perjanjian perkawinan yang dimungkinkan dalam Islam, yaitu taklik
talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
1.
Taklik talak
Menurut Pasal 1 huruf e KHI, yang
dimaksud dengan Taklik talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai
pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak
yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa
yang akan datang.
Dalam hal taklik talak,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
·
Isi taklik talak tidak
boleh bertentangan dengan hukum Islam.
·
Apabila keadaan yang
terdapat dalam taklik talak terjadi, maka bukan berarti talak jatuh dengan
sendirinya. Istri harus mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menjatuhkan talak
tersebut.
·
Perjanjian taklik talak
bukan hal yang wajib diadakan.
·
Apabila suami telah
membuat taklik talak, maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.
2.
Perjanjian lain yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam
Pasal
47 ayat (1) KHI mendeskripsikan frasa ‘perjanjian lain yang tidak bertentangan
dengan hukum Islam’ sebagai berikut:
·
Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian
tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam
perkawinan.
b.
Isi Perjanjian
Perkawinan dalam Hukum Islam
Isi perjanjian perkawinan dapat berupa:
1.
Percampuran harta pribadi
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 47 ayat (1) dan (2) KHI yang mengatur sebagai berikut:
·
Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis
yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
·
Perjanjian tersebut
dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.
Pada dasarnya, perkawinan tidak menimbulkan
adanya percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam hukum Islam
bersifat individual. Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 86 ayat (1)
KHI:
·
Pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Namun,
apabila kedua pihak ingin melakukan pencampuran harta pribadi maka hal tersebut
dibolehkan. Dengan catatan, apa yang diatur di dalam perjanjian tersebut tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
2.
Pemisahan harta
pencaharian
Merujuk pada Pasal 47 ayat (2) di atas,
kedua pihak juga dapat mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian
masing-masing selama dalam ikatan perkawinan.
Menurut
Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 83), yang dimaksud
dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah
mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau
usaha salah seorang dari mereka.
Dalam
hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Hal ini sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 48 ayat (1) KHI:
·
Apabila dibuat
perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat,
maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk
memenuhi kebutuhan rumah tangga.
3.
Kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta
bersama
Selain itu, kedua pihak juga dapat
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 47 ayat (3) KHI.
·
Di samping ketentuan
dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan
kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan
harta bersama atau harta syarikat.
B. Harta
kekayaan suami istri dalam perkawinan
Harta
kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik
sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan
berlangsung, selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapapun.
Ketika dalam
menjalin perkawinan seorang suami istri dihadapkan dengan suatu masalah atau problem yang karena masalah atau problem
tersebut berakibat fatal sehingga mengganggu status perkawinannya atau
berakibat perceraian.
Suatu
perceraian akan membawa berbagai akibat hukum, salah satunya adalah berkaitan
dengan harta bersama dalam perkawinan. Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang
perkawinan mengatur tentang harta bersama antara lain:
Pasal 35
ayat 1 menyatakan harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta
bersama. Ayat 2 bawaaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan
masing-masing suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bersama.
Pasal 37
bilaman perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Dalam penjelasannya pasal 37 ditegaskan hukum
masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya yang
bersangkutan dengan harta bersama tersebut.
Selain
Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di Indonesia juga berlaku
Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian harta bersama
sebagaimana diatur dalam pasal 96 dan pasal 97 KHI tersebut, yang menyebutkan
bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup atau cerai mati, masing-masing
mendapat setengah dari harta bersama tersebut, selengkapnya pasal 96 KHI
berbunyi:
·
Apabila terjadi cerai mati maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
·
Pembagian harta bersama bagi seorang
suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar
putusan pengadilan agama.
Sedangkan
pasal 97 KHI menyatakan “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian
perkawinan”
harta kekayaan
perkawinan atau yang disebut harta bersama yang mana jika sebelum perkawinan
telah dibuat perjanjian kawin yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan
harta perolehan antara suami istri tersebut, maka ketika perceraian terjadi,
masing-masing suami atau istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar
atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah
awamnya “harta gono gini”.
Namun, apabila di antara suami istri tersebut tidak pernah dibuat Perjanjian Kawin, maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terhitung sejak perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta di antara keduanya (jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UU Perkawinan”). Akibatnya harta istri menjadi harta suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Terhadap harta bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama mereka masih terikat dalam perkawinan
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Perjanjian perkawinan adalah salah
satu bentuk dari perjanjian yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Terdapat
dua bentuk perjanjian perkawinan yang dimungkinkan dalam Islam, yaitu taklik
talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Isi
perjanjian perkawinan dapat berupa: 1. Percampuran harta pribadi. 2. Pemisahan
harta pencaharian. 3. Kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik
atas harta pribadi dan harta bersama.
Undang-undang
No 1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur tentang harta bersama antara lain:
·
Pasal 35 ayat 1 menyatakan harta
benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama. Ayat 2 bawaaan
dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing suami dan
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bersama.
·
Pasal 37 bilaman perkawinan putus
karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Dalam penjelasannya pasal 37 ditegaskan hukum masing-masing ialah hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lainnya yang bersangkutan dengan harta bersama
tersebut.
Selain
Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, di Indonesia juga berlaku
Kompilasi Hukum Islam, yang berkaitan dengan pembagian harta bersama
sebagaimana diatur dalam pasal 96 dan pasal 97 KHI tersebut, yang menyebutkan
bahwa pembagian harta bersama baik cerai hidup atau cerai mati, masing-masing
mendapat setengah dari harta bersama tersebut, selengkapnya pasal 96 KHI
berbunyi:
·
Apabila terjadi cerai mati maka
separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
·
Pembagian harta bersama bagi seorang
suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai
adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar
putusan pengadilan agama.
Sedangkan
pasal 97 KHI menyatakan “janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak
seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian
perkawinan”
DAFTAR PUSTAKA
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ef9b31bddfd7/kedudukan-perjanjian-perkawinan-menurut-hukum-islam-/
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt53b65a5e2cfef/pembagian-harta-bersama-jika-terjadi-perceraian