Makalah Tafsir Tema Periode Pertengahan
Makalah Tafsir Tema Periode Pertengahan
Makalah, Kami Admin Saef-Swordofgod Akan senantiasa mengupdate Makalah Makalah Keislaman Baik Tafsir Alquran , Hadits, Fikih, sehajarah Islam dan lainya, semoga ini merupakan Ladang kebaikan bagi kami adapun Makalah kali ini adalah : Makalah Tafsir dengan Tema Periode Pertengahan
Yuuk Langsung Saja Cek....
KATA PENGANTAR ........................................................ |
i |
DAFTAR ISI ................................................................... |
ii |
BAB I PENDAHULUAN ............................................... |
1 |
1.1 .Latar Belakang
............................................. |
1 |
1.2 .Tujuan Penulisan Naskah
........................... |
1 |
1.3 .Rumusan Masalah
........................................ |
1 |
1.4 .Tujuan Pembahasan
.................................... |
1 |
BAB II PEMBAHASAN ............................................... |
2 |
2.1. Latar Belakang Sejarah Tafsir Era Pertengahan
......................... |
2 |
2.2. Karakteristik Tafsir Era Pertengahan
........................................... |
3 |
2.3. Corak tafsir era pertengahan
........................................................ |
4 |
2.4. Tokoh-tokoh tafsir era
pertengahan ............................................. |
6 |
2.5. Kitab-kitab era pertengahan
......................................................... |
7 |
BAB III PENUTUP ....................................................... |
8 |
3.1 .Kesimpulan
.................................................... |
8 |
3.2 .Saran ......................................................... |
8 |
DAFTAR PUSTAKA ...................................... |
9 |
BAB I PENDAHULUAN |
1.1. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan
pedoman hidup manusia mempunyai karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan.
Ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagai sisrespon
umat islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti
atau pun menoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran
zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab
dan corak dalam penafrsiran al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka
untuk ditafsirkan (multi interpretable), dan masing-masing mufassir ketika
menafsirkan al-Qur’an biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di
mana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang
melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek
kajiannya tunggal, yaitu teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an
tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib
al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Khazanah tafsir al-Qur’an dari masa keemasan selalu
mengalami perkembangan dan perubahan serta memiliki karakteristik dan corak
yang unik sehingga ada nuansa yang berbeda. Hal demikian tidak lepas dari
faktor sejarah, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
1.2. Tujuan Penulisan Naskah
Tujuan dari
ditulisnya makalah ini adalah ingin memberikan penjelasan tentang perkembangan
tafsir pada era pertengahan yang mana tentunya memiliki ciri khas tersendiri
dari era tafsir lainnya, sehingga diharapkan akan menambah pengetahuan pembaca
khususnya tentang perkembangan tafsir mulai dari era klasik, era pertengahan,
hingga era kontemporer.
1.3. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Tafsir Era Pertengahan?
2. Apa saja
corak serta bagaimana karakteristik penafsiran pada saat itu?
3. Siapa saja tokoh tafsir pada abad pertengahan dan
apa sajakah kitab-kitab yang berkembang pada masa tersebut?
1.4.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui dan memahami karakteristik tafsir pada masa pertengahan?
2.
Mengetahui dan memahami corak tafsir
pada masa pertengahan?
3.
Mengetahui tokoh-tokoh tafsir pada masa pertengahan?
4.
Mengetahui contoh kitab tafsir pada masa pertengahan?
PEMBAHASAN
2.1.
Latar Belakang Sejarah Tafsir Era Pertengahan
Perkembangan karya tafsir kali ini
memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-16
Hijriah, Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran
yang sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam
peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman
keemasan ilmu pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini
menjadi stimulus yang sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan
sendiri.[[1]]
Priode ini, salah satunya, ditandai dengan berkembang
pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang
filsafat, kalam, dan hadits. Hal ini mengundang adanya justifikasi kebenaran
dari masing-masing pihak, khususnya tentang Al-Qur’an. Inilah yang menurut
Abdul Mustaqim menjadi suatu “embrio” akan saratnya kepentingan subjektif yang
mewarnai produk tafsir pada masa ini. Terlebih lagi ketika pemerintah mendukung
madzhab atau aliran tertentu, karena kuatnya pengaruh pemerintah dalam perkembangan
ilmu pengetahuan.
Era pertengahan merupakan zaman keemasan dalam sejarah
peradaban Islam dimana ilmu pengetahuan berkembang pesat seiring dengan
masuknya cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari luar (baca : Yunani, Eropa)
seperti Filsafat dan cabang ilmu yang lain. Filsafat memberikan pengaruh yang
cukup besar terhadap tokoh-tokoh muslim sehingga bersentuhan dengan cabang ilmu
keislaman sendiri seperti fiqh, tasawuf, kalam baik dalam hal dinamika.
Pada pemerintahan Daulah Abbasiyah perkembangan
peradaban manusia khususnya ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang serius
oleh pemerintah. Perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
diwujudkan dengan penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah
ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal, maupun dibukakannya
forum-forum ilmiah terbuka yang dihadiri oleh seluruh ilmuwan.[[2]]
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan
yang mengantarkan pada perdebatan yang
berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok
mutakallimin adu argumentsi dengan
penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi
adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang
terjadi diantara ulama sunni mayoritas
dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)
minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan
kemarahan hingga terjadi luapan darah.[[3]]
Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan
dari pertumbuhan tafsir mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan
terhadap hadits Nabi Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa
dari penguasa (khalifah) yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti
Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyyah).
Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H,
geliat tafsir mengalami perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu
dengan hadits-hadits selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya
memuat riwayat-riwayat tafsir dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur’an. Ibn
Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui sebagai orang pertama yang melakukan
terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an.
Forum dialog antar ilmuwan memicu arogansi keilmuwan
yang mengantarkan pada perdebatan yang
berakhir dengan saling mendiskreditkan satu sama lain. Kelompok
mutakallimin adu argumentsi dengan
penggemar filsafat, antar ahli kalam dengan ahli hadits. Yang lebih tragis lagi
adalah perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan. Contoh Pereselisihan yang
terjadi diantara ulama sunni mayoritas
dengan kaum rasionalis (Ahl al-Ra’y)
minoritas memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan
kemarahan hingga terjadi luapan darah.[[4]]
Setiap kitab tafsir memiliki karakteristik
sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran dan pemahaman Mufassirnya. Pada abad
pertengahan sendiri, salah satu hal yang mendominasi penafsiran adalah
berdasarkan kepentingan. Implikasinya, al-Qur’an ditafsirkan untuk melegitimasi
pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun
karakteristik pada periode pertengahan adalah sebagai berikut :
a. Pemaksaan Gagasan Eksternal
al-Qur’an[[5]]
Maksud dari gagasan eksternal al-Qur’an adalah bahwa
pada zaman ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan didasarkan pada
kepentingan. Oleh sebab itu, hasil penafsirannya sesuai dengan kepentingan
subjektif sang mufassir. Contoh nyata karakteristik ini dapat dilihat pada
salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab Hanafi, al-Jashshash.
Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat harta temuan dalam
QS. Yusuf :26 yang berbunyi :
قَالَ هِيَ
رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِنْ أَهْلِهَا إِنْ كَانَ قَمِيصُهُ
قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Yusuf
berkata : ‘dia menggodaku untuk menundukkan diriku
(kepadanya)’, dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan
kesaksiannya : ‘jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar
dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta’.” (QS. Yusuf :26).[[6]]
Ayat diatas menceritakan pengalam
pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan. Akan
tetapi, oleh Jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan. Contoh
lainnya adalah penafsiran dari Ibnu Arabi, seorang teosof yang terkenal dengan
teori wahdah al-wujud. Dia membicarakan sosok Rasul sebagai penjelmaan Tuhan
karena kesatuan wujudnya ketika menafsirkan QS. Al-Nisa’ : 80 yang berbunyi :
مَنْ يُطِعِ
الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barang siapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara
bagi mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 80).[[7]]
b. Bersifat ideologis[[8]]
Karakteristik bersifat ideologis ini maksudnya adalah
kecenderungan cara berpikir yang berbasis pada ideology mazhab atau sekte
keagamaan, ataupun keilmuwan tertentu ketika menafsirkan ayat al-Qur’an. Salah
satu contohnya adalah Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi tentang
hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakr, justru
dalam surat al-Fatihah ayat 6-7 :
اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ
صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. al-Fatihah : 6-7).[[9]]
c. Bersifat repetitif [[10]]
Umumnya tafsir periode ini menganut system mushafi.
Artinya, penafsiran mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi
al-Qur’an. Ini merupakan konsekuensi dari penggunaan metode tahlili yang memang
popular pada saat itu. Contohnya dapat dilihat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib,
ketika diskusi tentang paham Jabriyah dan Qadariyah. Disana terdapat beberapa
pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga
terkesan berlebihan.
d. Bersifat parsial[[11]]
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung
sepotong-sepotong, tidak komplit sehingga kurang mendapatkan informasi yang
utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya
adalah tafsir karya ath-Thabarsi yang berasal dari teologi Syi’ah abad ke-6 H,
mencabut satu kata dalam ayat ke-28 dari surat Ali Imron, yakni kata tuqoh :
لا يَتَّخِذِ
الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ
تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman dekat,
pemimpin, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan
kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu.”
(QS. Ali Imron :28).[[12]]
2.3. Corak tafsir era pertengahan
Corak dalam literatur sejarah tafsir
biasanya digunakan sebagai terjemahan dari Bahasa Arab laun yang arti dasarnya
adalah warna. Corak tafsir yang dimaksud di sini adalah nuansa khusus atau
sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. sebagaimana sudah
dimaklumi, tafsir sebagai bentuk ekspresi intelektual mufassir dalam
menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan
manusiawinya tentu akan menggambarkan minat dan horison pengetahuan mufassirnya.
Dengan latar belakang seperti yang
diuraikan di muka, mudah ditebak kala tafsir yang muncul ke permukaan pada
periode ini akan didominasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu pula. Tafsir
Al qur’an sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan
ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran
al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik
dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi
yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah,
yakni; pertama, metode (misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits,
ayat dengan kisah israiliyyat), kedua, teknik penyajian (misalnya; teknik
runtut dan topical), dan ketiga, pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, shufi
dan lain-lain)[[13]]
Kemudian ada juga yang memetakannyaa
dengan dua bagian. Pertama, komponen eksternal yang terdiri dari dua bagian:
(1) jati diri al-Qur’an (sejarah al-Qur’an, sebab nuzul, qira’at, nasikh
mansukh, munasabah, dan lain-lain). (2) kepribadian mufassir (akidah yang
benar, ikhlas, netral, sadar, dan lain-lain). Selanjutnya bagian kedua,
komponen internal, yaitu unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses
penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur yang digunakan yaitu: metode
penafsiran, corak penafsiran, dan bentuk penafsiran.
M.Quraish Shihab [[14]],
mengatakan bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain (a)
corak sastra bahasa, (b) corak filsafat dan teologi, (c) corak penafsiran
ilmiah, (d) corak fiqih atau hukum, (e) corak tasawuf, (f) bermula pada masa
Syaikh Muhammad Abduh [1849-1905], corak-corak tersebut mulai berkembang dan
perhatian banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni suatu
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat. Dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah
didengar. Sebagai bandingan, Ahmad As, Shouwy, dkk., menyatakan bahwa secara
umum pendekatan yang sering dipakai oleh para mufassir adalah: (a) Bahasa, (b)
Konteks antara kata dan ayat, dan (c) Sifat penemuan ilmiah.
Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas
dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang
diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan
masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya.
Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran
yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.
Adapun beberapa corak tafsir adalah sebagai berikut:
a. Corak Tafsir Fikhi
Maksudnya adalah tafsir yang dibangun di atas wawasan
mufassirnya dalam bidang fikh sebagai basisnya atau dengan kata lain adalah
tafsir yang berada dibawah pengaruh ilmu fikh, karena fikh sudah menjadi minat
dasar mufassirnya sebelum melakukan usaha penafsiran.
Dalam bentuk yang ekstrim, tafsir dalam
model ini bahkan hampir menyerupai kumpulan disksi fikh menyangkut berbagai
persoalan, lengkap dengan sikap pro dan kontra daripada pelakunya.
Tafsir semacam ini seakan-akan melihat
Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi ketentuan-ketentuan perundang-undangan atau
menganggap Al-Qur’an sebagai kitab hukum.
Embrio dari tafsir fikhi sebenarnya
sudah kelihatan semenjak nabi meninggal dunia dan muncul beberapa kasus hukum
yang pada zaman nabi belum ada, sehingga belum mendapat pemecahan. Tentunya
untk mendapatkan pemecahan yang benar menurut syari’at, menyebabkan mereka
tertarik untuk mengkaji dasar-dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Kemudian hal-hal
seperti ini berlanjut sampai dengan munculnya berbagai madzhab hukum dan
fanatisme golongan yang sedemikian kuatnya menghegemoni alam pikiran
orang-orang yang menaruh minat atas studi hukum.
b. Corak linguistik
Tafsir corak linguistik (al-tafsir al-lughawi) adalah
tafsir yang dalam menjelaskan ayat-ayat al Qur’an lebih banyak menggunakan
aspek kebahasaan dari pada pesan pokok dari ayat yang ditafsirkan. Ciri-ciri
yang menonjol dalam tafsir linguistik ialah:
·
Banyak menggunakan aspek semantis atau makna sebuah kata.
·
Banyak menguraikan aspek sharaf (morfologi) dan isytiqaq (derivasi).
·
Banyak menjelaskan aspek i’rab atu kedudukan kata dan kalimat dengan
memanfaatkan teori nahwu atau gramatika bahasa arab.
·
Banyak menjelaskan aspek-aspek uslub (stilistika al qur’an).
·
Banyak menjelaskan aspek fonologi, termasuk perbedaan qiraat.
·
Banyak menjelaskan aspek majaz dan aspek lain yang bersangkutan dengan
teori-teori linguistik.
c. Corak Tafsir Teologis
Tafsir corak teologis adalah salah satu bentuk penafsiran Al-Qur’an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut pandang teologis tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesan-pesan pokok Al-Qur'an. Sebagaimana layaknya diskusi yang dikembangkan dalam literatur ilmu kalam. Tafsir ini sarat dengan muatan sekterian dan pembelaan-pembelaan terhadap paham-paham teologis tertentu yang menjadi referensi utama bagi mufassirnya. Ayat-ayat Al-Qur'an tertentu yang nampak memiliki konotasi bebeda satu sama lain, seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok teologis tertentu sebagai basis penafsirannya dan sebagai pembenar atas paham-paham tertentu.[[15]]
d. Corak Tafsir Sufistik
Berkembangnya sufisme dalam dunia Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentinan politis sepeninggal nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini diteorisasikan dan dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan, wihdatul wujud. Dengan demikian berkembanglah dua sayap sufisme dalam Islam yaitu praktisi yang lebih mengedepankan sikap praktis mendekati Allah, dan para teosof yang lebih mementingkan teori-teori mistiknya.[[16]]
e. Corak Tafsir Falsafi
Setelah kitab-kitab filsafat dari berbagai sumber di
dunia diterjemahkan kedalam bahasa Arab degan modifikasi-modifikasi tertentu,
akhirnya buku-buku terjemahan ini dapat dikonsumsi oleh kaum muslim kalangan
tertentu. Kemudian muncullah reaksi dan respon tertentu dari kamum muslimin.
Sebagian mereka menolak teori-teori filsafat tertentu lantaran mereka melihat
teori-teori ini bertentangan dengan keyakinan teologis mereka. Sementara
sebagian yang lain merasa kagum atas teori-teori ini dan mereka merasa mampu
untuk mengkompromikan antara hikmah dan akidah antara filsafat dan agama.
Untuk mengkompromikan ini pada gilirannya ditempuh dua cara. Pertama, dengan cara mentakwilkan teks-teks keagamaan sesuai dengan pandangan para filosof. Artinya menundukkan tes tadi kepada pandangan-pandangan ini sehingga sejalan. Kedua, dengan cara menjelaskan teks-teks keagamaan dengan menggunakan berbagai pandangan dan teori filsafat. Diantara corak tafsir falsafi adalah tafsair ibn sina, al farabi, al kindi, dan ikhwan al-shafa.[[17]]
f. Corak Tafsir ‘Ilmi
Tafsir ‘ilmi adalah tafsir yang menempatkan berbagai
terminologi ilmiah dalam ajaran-ajaran tertentu Al-Qur'an atau berusaha
mendeduksikan berbagai ilmu serta pandangan-pandangan filosofisnya dari
ayat-ayat Al-Qur'an. Tafsir ini dibangaun berdasarkan asumsi bahwa Al-Qur'an
mengandung berbagai macam ilmu baik yang sudah ditemukan maupun yang belum.
Munculnya tafsir ilmi ini juga sempat mengundan pro
dan kontra di kalangan para ulama. Sebagian yang tidak setju berpendapat bahwa
Al-Qur'an itu bukan buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk umat
manusia. Jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan
dengan ayat-ayat Al-Qur'an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori
yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan
bahkan seolah kebenaran ayat dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan.
Untuk itu tidak perlu melakukan tafsir ‘ilmi, jika hanya dimaksudkan untuk
melegetimasi teori-teori ilmu pengetahuan yang sifatnya relatif dan nisbi.
Dari pro dan kontra tersebut, sebenarnya dapat dicari
jalan tengah yang lebih moderat, yaitu bahwa Al-Qur'an memang bukan kitab ilmu
pengetahuan, namun tidak dapat disangka bahwa di dalamnya terdapat
isyarat-isyarat atau pesan-pesan moral akan pentingnya untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.[[18]
2.4. Tokoh-tokoh tafsir era pertengahan
Tafsir pada periode ini sangat
dipengaruhi oleh kepentingan mufasir yang mendukung disiplin ilmu tertentu.
Oleh karena itu, produk yang dihasilkan memiliki karakter khusus. Seperti Al
farra’ adalah seorang ahli dalam ilmu bahasa dan guru beberapa pangeran abbasiyah
pendukung mu’tazilah. Ibn Jarir Al Tabari seorang sejarahwan yang secara
teologis posisinya mirip Asy’ari yang cenderung mengambil jalan tengah antara
ahli hadis dan rasionalis mu’tazilah. Al Zamakhsyari adalah ahli bahasa dan
satra yang terlahir didaerah yang
berbasis mu’tazilah. Selain itu, ada Fakhruddin Ar-Razi seorang mutakallim
asy’ariah yang juga ahli dalam bidang filsafat. Kemudian ada al-Baidlawi yang
mencoba merespons capaian al-Zamakhsyari dan al-Razi.
Dalam bidang fikih, muncul Al Kiya’ Al Harasi dari
mazhab syafi’i, al Qurthubi, dan ibn Arabi. Dari kalangan syi’ah muncul mulla
muhsin al Rasyi, Abu Ali ath-Thabarsi, juga al Syaukani yang mewakili teologi
syi’ah zaidiyah. Dari para ahli kisah muncul Abdur Rahman al Tsa’alibi, Ibn
Kasir. Dalam ahli sastra ada Abu Hayyan, Jalaluddin al Mahali, al Nisaburi, al
Qadli Abdul Jabbar dan lain-lain.
2.5. Kitab-kitab era pertengahan
Kitab-kitab tafsir yang ada pada masa
pertengahan antara lain, tafsir jami’ al-bayan an ta’wil ay al-qur’an karya Ibn
Jarir al-Thabari (923 M), al-kasysyaf ‘an haqa’iq al-qur’an karya Abu Qasim
Mahmud Ibn Umar al-Zamakhsyari (1144 M) dengan corak ideologi mu’tazilah,
mafatih al-ghayb karya Fakhrudin al-Rrazi (1209 M) denga corak teologi
sunni-asy’ariah, tafsir jalalain karya Jalaluddin al-Mahali (1459 M) dan
Jalaluddin al-Suyuthi (1505 M) dengan corak filologi.
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Pada kesimpulan Makalah ini memang benar bahwa
Al-Qur’an sendiri memang sangat terbuka untuk ditafsirkan (multi
interpretable), dan masing-masing mufassir ketika menafsirkan al-Qur’an
biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana ia tinggal,
disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga
sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tunggal, yaitu
teks al-Qur’an, namun hasil penafsiran al-Qur’an tidaklah tunggal, melainkan
plural. Oleh karenanya, munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari
dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Adapun kemudian dari hal diatas kemudian muncullah
berbagai corak penafsiran yang berkembang pada era pertengahan seperti tafsir
corak fikhi, corak falsafi, corak linguistic atau kebahasaan, corak ‘ilmi, dan
masih banyak corak penafsiran yang lainnya.
3.2.
Saran
Kami sebagai penulis, menyadari bahwa
makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat jauh dari kesempurnaan.Tentunya,
penulis akan terus memperbaiki makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas
DAFTAR PUSTAKA
Bukhari, M. Ushu al-Hadits:
Studi Kritis Ilmu Hadis. Padang: Azka. 2009.Al-Kattani, Ja‟far. al-Risalah
al-Mustathrafah. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah. t.th.
Najwah, Nurun, “Al-Mustadrak
„Ala al-Shahihain al-Hakim” dalam Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras. 2003.
Al-Naisaburi, Al-Hakim.
al-Mustadrak „Ala al-Shahihain. Jilid. I. Sudan: Dar al-Haramian. 1997.
Al-Naisaburi, Al-Hakim.
al-Ma‟rifah fi „Ulum al-Hadits. Madinah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah. 1977.
Al-Thahhan, Mahmud. Ushul
al-Takhrij wa Dirasatu al-Asanid. Terj. Ridwan Nasir. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
1995.
[1] ] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi
Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah,….h.211-213.
[2] Dr. Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, (Yogyakarta:
Nun Pustaka, 2003), hlm. 68
[3] I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah
(Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.
[4] I. Goldziher, Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika
Salamullah (Yogyakarta: Elsaq Press eLSAQ Pres, 2006), hlm. 130.
[5] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an
(Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 100
[6] Al-Qur’an digital (Q.S. Yusuf: 26)
[7] Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Nisa’: 80)
[8] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an
(Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 101
[9] Al-Qur’an digital (Q.S. Al-Fatihah: 6-7)
[10] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an
(Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 106
[11] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an
(Yogyakarta: Adab Press, 2012), hlm. 109
[12] Al-Qur’an digital (Q.S. Ali Imran: 28)
[13] M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir
(Yogyakarta:TERAS, 2010), hlm. 12
[14] M. Quraish Shihab. Membumikan al-Qur’an. (Bandung:
Mizan. 1992). hlm. 72.
[15] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005), hlm. 71
[16] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005), hlm. 72
[17] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005), hlm. 73
[18] Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir, (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005), hlm. 74