Advertisement

Suka dan Dukamu

SUKA DAN DUKA SELALU ADA, BUKAN SALING MENIADA

Sobat Saef, Dalam bioritma kehidupan manusia senantiasa mengalami suka dan duka. Padahal semestinya suka dan duka  bukanlah dua hal yang berbeda, apalagi saling meniada. Keduanya bergandengan mesra, sebab karena dukalah suka menjadi begitu terasa dan karena sukalah duka jadi penuh makna.

Hidup tak pernah lepas dari cobaan, penuh dengan lika-liku permasalahan. Karenanya seorang Mukmin dituntut untuk menjadi pribadi yang penyabar. Sikap itu lahir dari pancaran keshalehan, buah dari kekuatan iman. Ibarat sebuah pohon yang subur, ia akan membagikan kelezatan buahnya kepada orang yang memetiknya.

Begitu pula halnya dengan seorang Mukmin. Akhlaknya mulia, tutur katanya santun, bijak, penampilannya sederhana dan segala tugasnya ia selesaikan sebaik-baiknya, hanya kepada Rabb-nya ia berharap semata. Mereka itulah yang layak merasakan indahnya surga, karena tidaklah jannah itu disiapkan, melainkan untuk mereka yang baik budi pekertinya. Malaikatpun menyapanya di gerbang keabadian,

وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَٰمٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَٱدْخُلُوهَا خَٰلِدِينَ

 “Kesejahteraan dilimpahkan atas kalian, berbahagialah! Maka masukilah surga ini, sedang kalian kekal di dalamnya.”(QS. Az Zumar: 73)

Saudaraku,Mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Azza wa Jalla tidaklah mudah, dan sabar adalah satu kuncinya. Sedangkan ridha merupakan implementasi dari sebuah kesabaran. Sabar dengan cobaan yang menimpa serta ridha atas segala yang telah ditetapkan-Nya. Ia gembira, karena yakin dengan sepenuh hati bahwa janji Allah Azza wa Jalla itu pasti dan limpahan pahala telah menanti dirinya. DR. Ahmad Farid dalam bukunya berjudul _mawaqif imaniyah,_ memberikan point-point dasar yang mendorong seseorang untuk memilik sifat sabar, di antaranya adalah dengan menghayati firman Allah Azza wa Jalla dan hadits Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang keutamaan orang yang bersabar. Allah Azza wa Jalla berfirman, 

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ


"Allah mencintai orang-orang yang sabar." (QS. Al Imran: 146)

Saudaraku, Mempelajari sikap seorang Mukmin dalam menghadapi cobaan, dan ridha atas segala ketentuan yang Allah Azza wa Jalla gariskan, seperti sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash. Ketika dirinya datang ke Makkah dalam keadaan buta, banyak orang mendatanginya untuk minta didoakan, karena Sa’ad termasuk dari hamba Allah Azza wa Jalla yang senantiasa diijabah doanya. Suatu ketika, seorang anak kecil bernama Abdullah bin As Sya’ib menghampirinya, ia lalu meminta: “Paman, dengan perantaramu doa orang lain senantiasa diijabah, cobalah berdoa untuk dirimu, agar cacat mata yang engkau derita disembuhkan oleh Allah?!” Sa'ad hanya tersenyum dan menjawab: “Wahai anak kecil, Allah telah membuat ketentuan ini padaku, namun aku memiliki suatu yang sangat berharga, lebih dari sekedar penglihatan.” 

Cinta Ilahi, itulah buah dari kesabaran. Tidaklah untaian doa itu diijabah kecuali setelah ada kesungguhan di dalamnya; mendekat ( taqarrub) dan cinta ( tahabub) kepada Allah Azza wa Jalla.

“Tidak henti-hentinya seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan yang disunnahkan hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, dan penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, dan tangannya yang dia julurkan, dan kakinya yang dia langkahkan. Maka, jika ia meminta kepada-Ku, sungguh Aku akan beri. Dan jika ia minta perlindungan kepada-Ku, sungguh Aku akan melindunginya.”(HR. Bukhari)

Tidak ada kehidupan yang tidak diwarnai oleh kesedihan. Diundang maupun tidak, ia akan senantiasa datang. Dalam banyak kejadian, baik melalui bencana, ditinggal oleh orang terkasih, kegagalan dan sebagainya. Bahkan terbukti, semakin ia dibenci dan ditakuti, semakin ia senang dan rajin berkunjung ke diri kita. Maka sengsaralah hidup mereka yang membenci kesedihan.

Saudaraku, Coba perhatikan lambang-lambang tawa dan bahagia. Piala kemenangan sebagai contoh. Bukankah ia melalui proses pembakaran dan pembentukan yang amat menyakitkan? Seruling penghibur telinga sebagai contoh lain. Bukankah ia dibuat dari bambu yang rela dirinya dipotong-potong dan dilubangi? Anak yang berhasil menjadi kebanggaan orang tua. Bukankah ia telah mengkonsumsi energi kekhawatiran dan kesabaran yang demikian lama dan melelahkan?

Tawa bahagia ternyata semuanya dibangun di atas pundi-pundi air mata kesedihan. Untuk menerima kebahagiaan, kita tidak memerlukan terlalu banyak kedewasaan. Akan tetapi, untuk berpelukan mesra dengan kesedihan, diperlukan kearifan dan kedewasaan yang mengagumkan...

Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa memeluk suka dan duka dengan kadar yang sama mesranya, sehingga dalam hidup kita tidak ada lagi siklus suka dan duka, yang ada hanyalah senantiasa syukur tiada tara untuk meraih ridha-Nya.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Advertisement

Advertisement