Jual Beli Terlarang dalam Syariat Islam
Hadits Tematik dengan Tema : JUAL BELI TERLARANG
jual beli dalam Islam masuk ke
dalam kajian fiqih muamalah. Kajian ini membahas tentang hukum dan aturan Allah
untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dan pergaulan
sosial.
Mengutip buku Fiqh
Muamalah oleh Ainul Yaqin M.A., Imam
Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab menyebutkan bahwa jual beli
adalah kegiatan tukar menukar harta dengan harta secara kepemilikan. Hukum jual
beli dalam Islam telah banyak disebutkan dalam Alquran dan hadist, salah
satunya Surat Al-Baqarah ayat 275.
اَلَّذِيۡنَ يَاۡكُلُوۡنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوۡمُوۡنَ
اِلَّا كَمَا يَقُوۡمُ الَّذِىۡ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيۡطٰنُ مِنَ الۡمَسِّؕ ذٰ
لِكَ بِاَنَّهُمۡ قَالُوۡۤا اِنَّمَا الۡبَيۡعُ مِثۡلُ الرِّبٰوا ۘ وَاَحَلَّ
اللّٰهُ الۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ؕ فَمَنۡ جَآءَهٗ مَوۡعِظَةٌ مِّنۡ
رَّبِّهٖ فَانۡتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَؕ وَاَمۡرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِؕ وَمَنۡ عَادَ
فَاُولٰٓٮِٕكَ اَصۡحٰبُ النَّارِۚ هُمۡ فِيۡهَا خٰلِدُوۡنَ
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat
peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya
dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah.”
Agar lebih memahaminya,
berikut penjelasan jual beli dalam Islam lengkap dengan syarat dan rukunnya.
Rukun dan Syarat Jual Beli dalam Islam
Rukun jual beli dalam Islam
ada empat, yaitu:
1. Aqid (subjek jual beli), yakni penjual dan pembeli.
2.Ma'qud
'alaih (Objek jual beli), yakni harga
dan barang.
3.Mahal
al-'Aqdi (shighat / pernyataan jual
beli), yakni ijab dan qabul.
4.Maudhu
'al-' Aqdi (tujuan jual beli), yakni
untuk saling memenuhi kebutuhan antar manusia.
Mengenai syarat jual beli dalam Islam
seperti yang dikutip dari buku Fiqh Muamalah.
1. Penjual
(subjek jual beli)
Penjual dan pembeli harus berakal, baligh,
dan rusyd. Adapun Anak kecil yang sudah mumayiz hukumnya adalah sah.
2. Barang
(objek jual beli)
·
Barang ada
wujudnya ketika transaksi (akad). Jika barang tersebut tidak ada ketika akad,
namun pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu
(misalnya di gudang).
·
Barang
tersebut bermanfaat bagi manusia.
·
Barang
yang diperjualbelikan sudah dimiliki.
·
Barang
dapat diserahkan ketika akad.
3. Harga
(objek jual beli)
·
Harga yang
disepakati kedua pihak (pembeli dan penjual) harus jelas jumlah nominalnya.
·
Transaksi
bisa diserahkan ketika akad, baik dengan uang tunai, cek, ataupun kartu kredit.
·
Jika jual
beli dilakukan dengan cara barter (tukar menukar sesama barang), maka bisa
disesuaikan dengan barang yang memiliki nilai harga, kuantitas dan kualitas
yang sama.
4.Ijab qabul
(pernyataan jual beli)
·
Ungkapan
ijab qabul harus dibaca dengan jelas antara kedua belah pihak (pembeli dan
penjual).
·
Ijab dan
qabul dilakukan dalam satu majelis, artinya pembeli dan penjual harus dalam
satu tempat yang sama.
· Ungkapan ijab qabul boleh dilakukan secara lisan, tulisan, dan isyarat.
Jual Beli yang Syarat dan Rukunya tidak terpenuhi
Adapun jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya maka
hukumnya tdk sah .Dan disini akan dijelaskan tentang jual beli terlarang dan
simak penjelasanya. Jual beli Terlarang adalah Jual beli yang
memiliki dampak negatif baik kepada penjual,pembeli maupun orang lain.
Dikutip dari Minhajul Muslim, berikut 15 Macam jual-beli
yang dilarang. Jual beli seorang muslim dari muslim yang lainnya
1)
jual beli yang belum
diterima
2)
jual beli musslim dengan muslim lain
3)
Jual beli najasy ialah menawar suatu barang dengan harga
yang lebih tinggi tapi tidak bermaksud membelinya namun agar para penawar
tertarik membelinya
4)
Jual beli barang yang haram dan najis
5)
Jual beli gharar (ketidakjelasan) seperti menjual ikan
di air
6)
Jual beli dua barang dalam satu aqad
7)
Jual beli nurbun (uang muka ) yaitu seseorang membeli
sesuatu atau menyewa, kemudian berkata kepada penjual : "Engkau aku beri
uang satu dinar dengan syarat jika aku) membatalkan jual beli atau sewa maka
aku tidak memberimu uang sisanya”. (Imam Malik)
8)
Menjual sesuatu yang belum ada pada penjual.
9)
Jual beli hutang dengan hutang
10)
Jual beli innah = yaitu seseorang menjual sesuatu kepada
orang lain denga kredit kemudian ia membelinya lagi dengan harga yang lebih
murah. Ini adalah intisari dari Riba Nasiah
11)
Jual beli orang kota dengan orang desa
12)
Jual beli musarrah yaitu menahan susu kambing atau unta
beberapa hari sehingga manusia tertarik membelinya
13)
Jual beli pada adzan kedua pada hari jumat dan khotib
sudah naik mimbar
14)
Jual beli muzabanah dan muhaqalah
15)
Jual beli pengecualian misalnya seorang muslim menjual
kebun, maka ia tidak boleh mengecualikan satu pohon kurma atau satu pohon yang
tidak Diketahui.
Berikut penjelasan macam-macam jual beli
terlarang:
1. Menjual di atas jua
lan saudaranya
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِعِ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى
خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan
saudaranya. Janganlah pula seseorang khitbah (melamar) di atas khitbah
saudaranya kecuali jika ia mendapat izin akan hal itu” (HR. Muslim no.
1412)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَبِيعُ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ
“Janganlah seseorang di antara kalian menjual di
atas jualan saudaranya” (HR. Bukhari no. 2139).
Yang dimaksud menjual di atas jualan
saudaranya semisal seseorang yang telah membeli sesuatu dan masih dalam
tenggang khiyar (bisa memutuskan melanjutkan transaksi atau
membatalkannya), lantas transaksi ini dibatalkan. Si penjual kedua
mengiming-imingi, “Mending kamu batalkan saja transaksimu dengan penjual
pertama tadi. Saya jual barang ini padamu (sama dengan barang penjual pertama
tadi), namun dengan harga lebih murah.” Si penjual intinya mengiming-imingi
dengan harga lebih menggiurkan atau semisal itu sehingga pembeli pertama
membatalkan transaksi. Jual beli semacam ini jelas haramnya berdasarkan
dalil-dalil di atas karena di dalamnya ada tindakan memudhorotkan saudara
muslim lainnya.
Begitu pula diharamkan membeli di atas belian
saudaranya. Contohnya si pembeli kedua berkata pada si penjual yang masih
berada dalam tenggang khiyar dengan pembeli pertama, “Mending
kamu batalkan saja transaksimu dengan pembeli pertama tadi. Saya bisa beli
dengan harga lebih tinggi dari yang ia beli.” Si pembeli dalam kondisi ini
berani membayar dengan harga lebih tinggi sehingga penjual berani membatalkan
transaksi dengan pembeli pertama.
Dua macam transaksi di atas adalah
transaksi yang haram karena menimbulkan mudhorot dan kerusakan
bagi kaum muslimin lainnya. Ibnu Hajar katakan bahwa dua macam transaksi di
atas haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
”Menjual di atas jualan orang lain, begitu pula membeli di atas belian orang
lain, hukumnya haram. Bentuknya adalah seperti seseorang membeli suatu barang
dari pembeli pertema dan masih pada masa khiyar, lalu penjual kedua mengatakan,
“Batalkan saja transaksimu tadi, ini saya jual dengan harga lebih murah.” Atau
bentuknya adalah seorang pembeli mengatakan pada penjual, “Batalkan saja
transaksimu dengan pembeli pertama tadi, saya bisa beli lebih dari yang ia
tawarkan. Jual beli semacam ini haram dan disepakati oleh para ulama”.
Ada juga bentuk serupa yang terlarang
yang diistilahkan dengan “saum”. Bentuknya adalah ada dua orang yang
tawar menawar, penjual menawarkan barangnya dengan harga tertentu dan pembeli
pertama sudah ridho dengan harga tersebut kemudian datanglah pembeli kedua, ia
pun melakukan tawaran. Akhirnya, pembeli kedua yang diberi barang dengan harga
lebih atau dengan harga yang sama seperti pembeli pertama. Lantas kenapa
pembeli kedua yang diberi? Karena pembeli kedua adalah orang terpandang.
Sehingga ini yang membuat si penjual menjualkan barangnya pada pembeli kedua
karena ia lebih terpandang.
Dalam keterangan lain dari Imam Nawawi rahimahullah, “Melakukan
saum di atas saum saudaranya, bentuknya adalah penjual dan
pembeli telah sepakat dan sudah penjual sudah mau menjual barangnya, namun
belum terjadi akad, kemudian datanglah pembeli lainnya dengan berkata, “Saya
beli barang itu yah.” An Nawawi mengatakan bahwa tindakan seperti
ini haram karena sudah ditetapkan harga saat itu. Adapun penawaran terhadap
barang yang telah dijual dengan sistem lelang, maka itu tidaklah haram”. Dalam
keterangan An Nawawi ini menunjukkan bahwa si penjual fix melakukan akad dengan
pembeli yang tidak mesti orang terpandang, artinya di sini lebih umum pada
siapa saja.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَسُمِ الْمُسْلِمُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ وَلاَ يَخْطُبْ عَلَى
خِطْبَتِهِ
“Janganlah melakukan saum (penawaran) di atas saum
(penawaran) saudaranya. Jangan pula melakukan khitbah di atas khitbah
saudaranya” (HR. Muslim no. 1413).
2. Jual
beli najesy
Yang dimaksud adalah seseorang sengaja
membuat harga barang naik padahal ia tidak bermaksud membeli dan dia mendorong
yang lain untuk membelinya, akhirnya pun membeli atau ia memuji barang yang
dijual sehingga orang lain membeli padahal tidak sesuai kenyataan.
Dalil terlarangnya jual beli semacam ini
disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ يَبْتَاعُ الْمَرْءُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ ، وَلاَ تَنَاجَشُوا ،
وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
“Janganlah seseorang menjual di atas jualan
saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo
untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari no. 2160 dan Muslim no.
1515).
Najesy berdasarkan hadits di atas
dihukumi haram, demikian pendapat jumhur. Ulama Hambali berpendapat bahwa jika dalam jual beli najesy terdapat ghoban
(beda harga yang amat jauh dengan harga normal), maka pembeli punya hak khiyar
(pilihan) untuk membatalkan jual beli.
Sedangkan jual beli pada sistem lelang
(dikenal dengan istilah “muzayadah”), itu dibolehkan. Jual beli lelang setiap
yang menawar ingin membeli, beda halnya dengan najesy yang cenderung merugikan
pihak lain karena tidak punya niatan untuk membeli.
3. Talaqqil jalab atau talaqqi
rukban
Yang dimaksud dengan jalab adalah barang
yang diimpor dari tempat lain. Sedangkan rukban yang dimaksud adalah pedagang
dengan menaiki tunggangan. Adapun yang dimaksud talaqqil jalab atau talaqqi
rukban adalah sebagian pedagang menyongsong kedatangan barang dari
tempat lain dari orang yang ingin berjualan di negerinya, lalu ia menawarkan
harga yang lebih rendah atau jauh dari harga di pasar sehingga barang para
pedagang luar itu dibeli sebelum masuk ke pasar dan sebelum mereka mengetahui
harga sebenarnya.
Jual beli seperti ini diharamkan menurut
jumhur (mayoritas ulama) karena adanya pengelabuan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُتَلَقَّى
الْجَلَبُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
dari talaqqil jalab” (HR. Muslim no. 1519).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata,
كُنَّا نَتَلَقَّى الرُّكْبَانَ فَنَشْتَرِى مِنْهُمُ الطَّعَامَ ،
فَنَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى يُبْلَغَ
بِهِ سُوقُ الطَّعَامِ
“Dulu kami pernah menyambut para pedagang dari luar,
lalu kami membeli makanan milik mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas melarang kami untuk melakukan jual beli semacam itu dan membiarkan
mereka sampai di pasar makanan dan berjualan di sana” (HR. Bukhari no.
2166).
Jika orang luar yang diberi barangnya
sebelum masuk pasar dan ia ketahui bahwasanya ia menderita kerugian besar
karena harga yang ditawarkan jauh dengan harga normal jika ia berjualan di
pasar itu sendiri, maka ia punya hak khiyar untuk membatalkan jual beli. Dalam
hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلَقَّوُا الْجَلَبَ.فَمَنْ تَلَقَّاهُ فَاشْتَرَى مِنْهُ
فَإِذَا أَتَى سَيِّدُهُ السُّوقَ فَهُوَ بِالْخِيَارِ
“Janganlah menyambut para pedagang luar.
Barangsiapa yang menyambutnya lalu membeli barang darinya lantas pedagang luar
tersebut masuk pasar (dan tahu ia tertipu dengan penawaran harga yang terlalu
rendah), maka ia punya hak khiyar (pilihan untuk membatalkan jual beli)”
(HR. Muslim no. 1519).
Jika jual beli semacam ini tidak
mengandung dhoror (bahaya) atau tidak ada tindak penipuan atau pengelabuan,
maka jual beli tersebut sah-sah saja. Karena hukum itu berkisar antara ada atau
tidak adanya ‘illah (sebab pelarangan).
4. Jual beli hadir lil baad,
menjadi calo untuk orang desa (pedalaman)
Yang dimaksud bai’ hadir lil baad adalah
orang kota yang menjadi calo untuk orang pedalaman atau bisa jadi bagi sesama
orang kota. Calo ini mengatakan, “Engkau tidak perlu menjual barang-barangmu
sendiri. Biarkan saya saja yang jualkan barang-barangmu, nanti engkau akan
mendapatkan harga yang lebih tinggi”.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
«
لاَ تَلَقَّوُا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ » . قَالَ فَقُلْتُ
لاِبْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لاَ يَكُونُ
لَهُ سِمْسَارًا
“Janganlah menyambut para pedagang dari luar
(talaqqi rukban) dan jangan pula menjadi calo untuk menjualkan barang orang
desa”. Ayah Thowus lantas berkata pada Ibnu ‘Abbas, “Apa maksudnya dengan
larangan jual beli hadir li baad?” Ia berkata, “Yaitu ia tidak boleh menjadi
calo”. (HR. Bukhari nol. 2158).
Menurut jumhur, jual beli ini haram,
namun tetap sah. Namun ada beberapa syarat yang ditetapkan oleh para ulama yang
menyebabkan jual beli ini menjadi terlarang, yaitu:
a.
Barang
yang ia tawarkan untuk dijual adalah barang yang umumnya dibutuhkan oleh orang
banyak, baik berupa makanan atau yang lainnya. Jika barang yang dijual jarang
dibutuhkan, maka tidak termasuk dalam larangan.
b. Jual beli yang dimaksud adalah untuk harga saat itu.
Sedangkan jika harganya dibayar secara diangsur, maka tidaklah masalah.
c.
Orang desa
tidak mengetahui harga barang yang dijual ketika sampai di kota. Jika ia tahu,
maka tidaklah masalah.
5. Menimbun Barang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ يَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ
“Tidak boleh menimbun barang, jika tidak, maka ia
termasuk orang yang berdosa” (HR. Muslim no. 1605).
Imam Nawawi berkata, “Hikmah terlarangnya menimbun
barang karena dapat menimbulkan mudhorot bagi khalayak ramai.” (Syarh Shahih
Muslim, 11: 43).
Jadi, larangan memonopoli atau yang
disebut ihtikar, maksudnya ialah membeli barang dengan tujuan untuk
mempengaruhi pergerakan pasar. Dengan demikian ia membeli barang dalam jumlah
besar, sehingga mengakibatkan stok barang di pasaran menipis atau langka.
Akibatnya masyarakat terpaksa memperebutkan barang tersebut dengan cara
menaikkan penawaran atau terpaksa membeli dengan harga tersebut karena butuh.
Al Qodhi Iyadh rahimahullah berkata,
“Alasan larangan penimbunan adalah untuk menghindarkan segala hal yang
menyusahkan umat Islam secara luas. Segala hal yang menyusahkan mereka wajib
dicegah. Dengan demikian, bila pembelian suatu barang di suatu negeri
menyebabkan harga barang menjadi mahal dan menyusahkan masyarakat luas, maka
itu wajib dicegah, demi menjaga kepentingan umat Islam. Pendek kata, kaedah
‘menghindarkan segala hal yang menyusahkan’ adalah pedoman dalam masalah
penimbunan barang.”
Adapun jika menimbun barang sebagai stok
untuk beberapa bulan ke depan seperti yang dilakukan oleh beberapa pihak
grosir, maka itu dibolehkan jika tidak memudhorotkan orang banyak.
6. Jual beli dengan penipuan atau
pengelabuan
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ
طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ « مَا
هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ يَرَاهُ النَّاسُ
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya,
kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya,
“Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut
terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak
meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah,
barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim no.
102). Jika dikatakan tidak termasuk golongan kami, maka itu menunjukkan
perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا، وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي
النَّارِ.
“Barangsiapa yang menipu, maka ia tidak termasuk
golongan kami. Orang yang berbuat makar dan pengelabuan, tempatnya di neraka”
(HR. Ibnu Hibban 2: 326. Hadits ini shahih sebagaimana kata
Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1058).
Jual beli yang mengandung penipuan ini di
antaranya adalah jual beli najesy yang sudah dibahas di atas. Contoh bentuk
jual beli ini adalah jual beli yang dilakukan dengan mendiskripsikan barang
melalui gambar, audio atau tulisan dan digambarkan seolah-olah barang tersebut
memiliki harga yang tinggi dan menarik, padahal ini hanyalah trik untuk
mengelabui pembeli. Termasuk pula adalah jual beli dengan menyembunyikan ‘aib
barang dan mengatakan barang tersebut bagus dan masih baru, padahal sudah rusak
dan sudah sering jatuh berulang kali. Intinya, setiap tindak penipuan dalam
jual beli menjadi terlarang.